***
Giana sudah siap untuk bertemu dengan Gama hari ini. Mereka berdua sudah janjian untuk melakukan sesi latihan agar rencana Gama semakin sukses. Lewat pesan chat, Giana mengabari Gama. Mereka sebaiknya berlatih di kantor Layanan Siap Bantu saja. Selain aman dari banyaknya mata, Giana juga tak perlu membuang ongkos transportasinya untuk menemui Gama. Sedangkan menurut Gama, tempat itu mungkin paling aman dari jangkauan mamanya.
"Nek, Gia berangkat dulu ya. Nenek nggak usah ngapa-ngapian, Gia udah masak buat Nenek. Nanti siang juga si Gufta udah balik, Nek," ucap Giana pada Rahma. Hari ini, Nek neneknya itu berada di rumah sendirian karena Gufta harus sekolah. Sementara dirinya harus bekerja.
Rahma mengangguk singkat. "Jangan khawatirkan Nenek, Gi. Kamu pergi aja, Nenek udah nggak apa-apa ini," balasnya. Rahma berharap ia tidak menambah beban pikiran Giana. Cucunya itu sudah cukup lelah berjuang sendirian.
"Kamu berangkat sana! Nanti Aya kelamaan nunggunya," jujur, sejak dulu Rahma tidak tahu apa pekerjaan cucunya. Giana tak pernah cerita, dan ketika ditanya ia hanya tersenyum singkat. Namun, Rahma percaya, pekerjaan Giana bukan susuatu yang bisa menjerumuskannya.
"Kalau gitu Gia pergi dulu ya, Nek. Kalau ada apa-apa cepat telepon Gia," pintanya.
Rahma mengangguk singkat, mengiyakan. "Hati-hati di jalan ya, Gi," ucapnya.
Giana pun ikut mengangguk. "Siap, Nek. Assalamualaikum," pamitnya.
"Wa'alaikumsalam," Giana tersenyum saat mendengar balasan dari neneknya. Setelah itu, Giana meninggalkan Rahma sendirian. Ia tidak tega sebenarnya, takut sesuatu terjadi saat dia ataupun Gufta meninggalkan Rahma sendirian di rumah seperti ini. Namun, Giana sadar ia harus bekerja. Jika dirinya berhenti melakukan ini, maka tak mungkin ia sanggup membayar biaya sekolah Gufta. Selama ini, mereka telah menahan diri untuk hidup dalam keterbatasan demi masa depan adiknya itu. Giana tidak ingin gagal untuk yang kedua kalinya.
Cukup masa depannya saja yang suram. Giana tidak akan membiarkan masa depan adiknya ikut hancur bersama kepergian orangtua mereka sepuluh tahun yang lalu. Giana yakin Gufta masih bisa meraih mimpinya karena Gufta masih memilikinya.
Semangat yang Giana miliki memang patut diacungi jempol. Sepuluh tahun telah berlalu, tapi sekalipun ia tak pernah mengeluh. Bahkan dalam ingatannya, terakhir kali ia menumpahkan airmata adalah ketika kedua orangtuanya dinyatakan telah meninggal dunia. Sejak saat itu, Giana benar-benar lupa rasanya menangis. Bukan tidak bisa sebenarnya, tetapi Giana menahan segalanya. Dia selalu meyakinkan diri bahwa semua akan baik-baik saja.
Gia yakin ketika ia berusaha, Tuhan akan membukakan jalan untuknya. Itulah kenapa, sampai detik ini, Giana masih diberi kekuatan untuk bertahan. Giana tidak akan menyianyiakan pengorbanan yang telah ia lakukan selama Sepuluh tahun terakhir ini.
"Akhirnya sampai," ucap Giana saat ia mendongakan kepala. Bilik di atas sana adalah kantor mereka. Milik Aya dan Farel, sahabatnya. Giana tersenyum tulus untuk mereka berdua yang telah mendirikan Layanan Siap Bantu sehingga Gia bisa mendapatkan penghasilan dari sana.
Giana menghela napasnya. Ia mengeratkan pegangan pada tali tasnya, lalu matanya kembali menatap ke depan, tak lagi mendongak seperti beberapa saat lalu. "Semangat Gia!" serunya untuk diri sendiri.
Kaki-kakinya yang panjang melangkah pasti. Meninggalkan jejak pada terakhir kali ia berpijak cukup lama. Giana menuju kantor tercinta. "Assalamu'alaikum," sapanya untuk pertama kali setelah mengetuk pintu.
"Wa'alaikumsalam. Selama pagi Gianaku," balas Aya penuh semangat. Membuat Farel terkekeh mendengarnya. Apalagi saat melihat kedua gadis itu berpelukan.
Sementara itu, lelaki lain yang menjadi penghuni baru di pagi hari penuh semangat ini hanya mendengkus sebal melihat pemandangan berlebihan seperti itu. Tck. Gama menilai Giana adalah gadis yang kekanakan. Bagaimana tidak? Giana berbicara dengan Aya menggunakan bahasa asing yang nadanya terdengar manja di telinga Gama. Astaga! Itu sungguh mengganggunya.
"Ssttttttt, Aya, Gia sudah. Kita ada tamu!" peringat Farel saat melihat wajah masam Gama. Memang, teman yang hari ini menjadi klien mereka itu sudah datang sejak satu jam yang lalu.
Bukan salah mereka sebenarnya, Gama saja yang kepagian. Biasanya klien akan menunggu intruksi dulu sebelum bertindak, tetapi Gama tiba-tiba sudah menggedor pintu bahkan di saat Farel masih terlelap.
"Ohhh maaf," ucap Giana merasa tak enak. Pagi tadi dirinya sempat mengabari Gama untuk bertemu di jam sembilan saja, tetapi balasan yang dirinya dapat adalah Gama sudah menunggu di kantor mereka. Itulah kenapa Giana terburu-buru.
"Hemm."
Mendengar jawaban sesingkat itu membuat Giana dan Aya saling bertukar tatap. Mereka sedang membagi pikiran tanpa membuka mulut. Sepertinya sama-sama paham bahwa klien kali ini berbeda dari biasanya. Mulai dari permintaannya hingga sikapnya.
Biasanya, klien akan langsung cari perhatian pada Giana mengingat wajahnya yang cantik. Namun Gama? Alih-alih melakukan itu, bicaranya saja terdengar sangat irit.
Giana kembali mengalihkan tatapannya pada Gama saat lelaki itu beranjak dari duduknya. "Apa yang sedang kalian lakukan?" tanyanya sambil menatap satu persatu pemilik Layanan Siap Bantu. Jujur, Gama merasa kesal. Ia sudah menunggu terlalu lama. Gama tidak suka membuang-buang waktu seperti ini.
Baginya setiap detik yang tersia-siakan sama saja dengan ia membuang peluang untuk kesuksesannya di masa depan. Namun, tidakah Gama sadar, sikap menyebalkan yang ia tunjukan membuat ketiga orang di depannya itu merasa dongkol juga. Jika bukan karena kontrak sudah di tanda tangani, mungkin mereka akan membatalkan kerja sama.
"Cepat dimulai saja! Aku ada meeting siang nanti."
Rasanya, Giana ingin memutar bola mata andai tak ingat nominal yang Gama tawarkan untuk menjadi kakak perempuan pura-pura ini lumayan besar. "Ah iya kita mulai saja. Kita hanya perlu bersikap natural, tanpa ada kecanggungan," ucap Giana setelah ia menghampiri Gama.
"Emmm apa kamu canggung?" tanya Gia sambil tersenyum. Ia mencoba mencairkan suasana. Namun, tetap saja wajah Gama tampak masam dan tegang. Membuat Giana berpikir semua ini tidak akan mudah.
"Tidak!" jawaban Gama semakin meyakinkan Giana bahwa lelaki di depannya ini sedang canggung.
Giana menganggukan singkat. "Kamu terbiasa ngomong kayak gitu ya sama kakakmu?" demi apa Giana benar-benar bicara dengan santai pada Gama. Hal ini semata-mata hanya karena agar mereka biaa dekat.
Kali ini Gama berdehem untuk melegakan tenggorokannya. Ia sedikit salah tingkah karena sikap Giana yang mendadak ramah. Apa ini bagian dari pekerjaannya? Tck. Memangnya apa lagi? Gama jadi bingung sendiri dengan pertanyaannya.
"Kita bisa bicara dengan santai," sahut Gama. Namun, Giana menggelengkan kepalanya. "Itu bukan santai, Gama, tapi tegang! Kamu nggak perlu anggap aku orang asing," ucapnya.
"Anggap aku kakakmu, seperti aku yang saat ini mulai anggap kamu sebagai adikku. Bisa?" tanya Giana dengan lembut. Berbeda sekali dengan sikap manja ketika ia menggunakan bahasa korea bersama Aya beberapa saat yang lalu. Giana terlihat lebih dewasa di mata Gama.
"Haloo Gama?" Giana melambaikan tangannya di depan wajah Gama saat melihat lelaki itu hanya terbengong. Gama yang ketahuan melamun buru-buru menyahuti. "Saya bisa!" ujarnya.
Giana menghela napas dengan berat. Dirinya bertanya-tanya, apakah memang Gama sekaku ini? Apakah seperti ini caranya bicara dengan sesama keluarga?
"Berapa umurmu?" tanya Giana secara tiba-tiba. Giana merasa Gama tampak segan, seolah usia mereka berbeda. Gama tidak bisa akrab dengannya. Jika seperti ini terus, maka Giana yakin mereka akan canggung melakukan sandiwara nanti.
"Kenapa bertanya?" Gama merasa heran.
"Karena itu penting." jawab Gia apa adanya.
Mendengar pernyataan penting dari mulut Giana, buru-buru Aya meminta data diri Gama pada Farel. "Ini, Gi!" ujarnya sambil memberikan map berisi selembar kertas data diri Gama.
Giana tersenyum setelah membaca berkas itu. "Thanks, Ay." Dia mengembalikan berkas itu pada Aya. Lalu kembali menatap Gama. "Tiga Puluh tahun," ucapnya.
"Belum cukup tua untuk terlalu kaku, Pak Gama," ejek Giana.
"Aku sudah Tiga Lima, cocok jadi kakakmu,"
Tak hanya Gama yang melotot, tetapi Farel dan Aya pun melakukan hal yang sama. Entah taktik seperti apa yang sedang Giana lakukan.
Gama mendengkus sebal. "Bohong!" ujarnya.
"Kamu pasti Dua Lima,"
Gelak tawa Giana terdengar. Ternyata ia ketahuan. Namun, satu hal yang Giana syukuri, ia berhasil membuat ekspresi di wajah Gama berubah meskipun itu hanya sesaat. Giana bisa melihat keterkejutan di wajah Gama, lalu senyum kecil disudut bibirnya sebelum ia mendengkus sebal.
"Jadi bisa bersaing sama aku yang masih Dua Lima ini, adik?" tanyanya sengaja menggoda.
Gama terdiam cukup lama. Ia meneliti penampilan Giana untuk membalas ejekannya. "Aku tidak yakin kau bisa menjadi kakakku dengan wajah dan usiamu itu," ucapnya.
Bukan ejekan itu yang membuat Giana memutar bola matanya, tetapi cara Gama bicara, caranya yang kaku yang membuat Giana kehilangan sopan santunnya. Entah bagaimana caranya agar sandiwara mereka terlihat natural nantinya.
.
.
Bersambung.
Haiii ketemu lagi. Mau infoin aja, mulai bulan depan aku akan rutin Up di sini setiap hari.