2

2998 Words
Seolah mendengar apa yang kupikirkan, pria itu menggeliat dan perlahan matanya terbuka. Dan aku berani bersumpah kalau matanya memiliki warna paling biru yang pernah kulihat. Dia menyisirkan jemarinya yang panjang di rambut pirang madu itu dengan gerakan malas tapi terlihat sexy. Tidak. Ini tidak benar. Bagaimana bisa aku menghabiskan malam dengan pria asing yang mempesona ini? Aku harus segera pulang dan melupakan kejadian ini. “Kenapa kau sudah bangun?”gumamnya dengan suara serak dan dalam. DEG! Suara itu! Dia bahkan hanya perlu bicara satu kata dan setiap wanita akan jatuh berlutut di hadapannya_setiap wanita yang sudah mengerti arti kata mempesona. “Melihat reaksimu, sepertinya kau sudah melupakan apa yang terjadi, luv.”ujarnya lagi dengan suara serak dan dalam yang sangat menggoda itu. Aku mengangguk cepat. “A, aku tidak tahu siapa kau dan kenapa aku bisa berada di tempat ini. Kalau melihat keadaan, sepertinya tidak ada yang terjadi di antara kita.”ujarku pelan, berusaha untuk terlihat tenang walau sebenarnya saat ini aku sama sekali jauh dari kata tenang. Pria itu menatapku dengan wajah mengantuk dan kemudian turun dari ranjang. Mengabaikan kenyataan kalau dia tidak mengenakan apapun! Demi Tuhan, aku sudah pernah melihat tubuh pria telanjang, tapi apa yang ada dihadapanku saat ini lebih dari apa yang menjadi mimpi setiap wanita. Dengan santainya dia meraih jubah kamar yang tersampir di sandaran kursi dan mengenakannya. Pria itu mendekatiku dan berhenti tepat di sisi ranjang sebelum duduk di dekat kakiku. Bahkan dengan tubuh terbalut jubah mewah itu dia tetap tidak bisa menutupi pesona mematikan yang dimilikinya. “Kau benar. Tidak ada yang terjadi di antara kita. Itupun karena aku tidak pernah bercinta dengan wanita yang tidak sadar. Aku bukan n*********a. Dan sepertinya kau benar-benar lupa siapa aku. Kalau begitu mari kita berkenalan kembali. Kau bisa memanggilku Zac, luv.”ujarnya tenang. Zac.catatku dalam hati, yakin kalau kali ini aku tidak akan melupakan nama itu. “Dimana kita?” “Hotel. Aku menginap disini selama di Washington. Dan karena aku tidak tahu kau tinggal dimana, makanya aku membawamu kesini.”sahutnya terdengar jujur, walaupun nanti_lama setelah ini aku belajar kalau tidak ada hal yang tidak diketahui laki-laki tampan ini. Aku mengangguk paham. “Sepertinya tadi malam aku terlalu banyak minum dan membuat suatu masalah. Percayalah, aku tidak terbiasa minum banyak. Terima kasih sudah menolongku, aku akan segera berpakaian dan kembali ke rumah.”ucapku sambil beringsut untuk turun dari ranjang saat tangan Zac mencengkram pergelangan kakiku. “Tidak semudah itu, luv. Aku membutuhkan pertolonganmu.”ujarnya datar. “Apa?” Tiba-tiba dia bangkit dan berjalan menjauhiku menuju jendela. “Nanti. Aku akan mengatakannya padamu nanti. Saat ini lebih baik kau mandi dan berganti pakaian. Archard sudah menyiapkan pakaian ganti untukmu. Dan setelah kau sarapan, kita akan segera pergi.”ujarnya datar tapi tidak bisa menyembunyikan nada gelisah di dalamnya. “Aku tidak ingin pergi kemanapun. Aku hanya ingin kembali ke rumahku dan beristirahat.”bisikku pelan. “Kau tidak bisa kembali ke rumahmu saat ini. Aku tidak bisa membiarkanmu pergi. Dan untuk istirahat, percayalah, kau akan mendapatkannya.”ujarnya penuh misteri sebelum dia berjalan pergi dan keluar dari kamar menuju entah kemana. ~*~ Tepat satu jam kemudian setelah pria bernama Archard_pria berambut hitam yang sama yang juga mengantarkan sepatu untukku dimalam itu_mengantarkan pakaian ganti untukku, aku melangkah mondar-mandir dengan kesal dan frustasi di kamar. Aku berhasil mengingat apa yang terjadi tadi malam. Tapi semua ingatan itu semakin membuatku bingung. Apa yang sebenarnya diinginkan Zac dariku? Dia bahkan menempatkan orang untuk berjaga di depan kamar suitenya ini hingga aku tidak bisa keluar. Telepon yang ada di kamarpun tidak bisa digunakan. Aku benar-benar terkurung! Dan mau tidak mau aku berpikir siapa dia sebenarnya? Pintu kamar yang terbuka menyita perhatianku. Zac berdiri di ambang pintu Layaknya seorang dewa. Zac hanya perlu berdiri di ambang pintu dan aku sudah merasa kalau sosoknya memenuhi kamar yang luas ini. Dia mengenakan kemeja putih dengan celana hitam. Bahkan dengan pakaian sederhana itu dia terlihat sangat tampan. Zac menatap hidangan sarapan pagi di meja yang belum kusentuh sama sekali. Dengan perlahan dia menghampiriku dan menarikku lembut agar duduk dikursi dekat meja itu. “Makanlah. Aku tahu kau bingung dengan semua yang terjadi ini. Tapi aku mohon makanlah. Kau akan membutuhkan energi untuk marah, menangis, atau mencoba kabur.”ujarnya lembut lalu duduk di seberangku, seolah bertekad akan menunggu sampai aku menghabiskan makananku. “Katakan padaku sejujurnya. Apa yang kau inginkan dariku, Zac?”tanyaku cepat. “Dan aku mohon jangan berbohong. Aku sudah ingat apa yang terjadi tadi malam, dan itu semakin membuatku bingung dengan apa yang terjadi saat ini.” “Satu pertanyaan berharga satu jenis makanan.”ujarnya pelan. “Ha?” Apa hubungannya makanan dengan pertanyaan? Zac mencondongkan tubuhnya dan menatapku langsung. “Aku akan menjawab pertanyaanmu, Gabriella. Tapi setiap pertanyaan yang kau lontarkan berharga satu jenis makanan yang harus kau habiskan.”ujarnya tegas dan untuk pertama kalinya menyebut namaku. Caranya menyebut namaku benar-benar unik. Ada aksen aneh di dalam suaranya yang membuat penyebutan namaku terdengar seksi. Dan tiba-tiba saja aku memperhatikan ada banyak sekali makanan di meja itu. Sebaiknya aku hanya menanyakan hal yang benar-benar penting karena aku tidak terbiasa sarapan banyak. Oke, setidaknya aku tahu kalau dia seorang negosiator. “Siapa kau sebenarnya?”tanyaku cepat. “Zac. Aku sudah mengatakannya padamu. Tiga kali lebih tepatnya.”sahut Zac tenang. “Makan makananmu, luv.”ucap Zac sambil menatapku tajam, membuatku seolah sedang ditelanjangi. Aku menatap Zac tidak percaya. Hanya itukah jawabannya untuk pertanyaanku? Zac balas menatapku. Salah satu alisnya naik, menantangku untuk melanggar perjanjian kami. Dengan enggan aku meraih sebuah croissant dan mengunyahnya sebelum kembali mengajukan pertanyaan. “Kenapa kau membawaku ke tempat ini dan apa tujuanmu?” “Itu dua pertanyaan, luv. Aku tidak masalah harus menjawab keduanya, tapi kau harus memakan dua jenis makanan yang berbeda. Bagaimana?”tanya Zac ringan. Negosiator dan tukang manipulasi. Hanya itu yang bisa kupikirkan tentang pria yang duduk di hadapanku ini. Aku tidak akan mundur dari permainan ini. Aku akan makan sebanyak apapun asal aku bisa mendapatkan jawaban yang aku inginkan. “Jawab saja.”bisikku. “Kau pingsan di Gala, dan aku tidak berpikir apapun selain membawamu ke suatu tempat, hanya hotel tempatku menginap yang cukup dekat dengan tempat Gala. Saat itu hanya aku yang bersamamu. Sedangkan tujuanku yang kau tanyakan, bisakah kita memperjelasnya? Tujuan apa yang kau maksud?” “Kenapa kau mendekatiku?” “Sudah kukatakan, luv. Aku membutuhkan bantuanmu. Dan hanya kau yang bisa membantuku.”ujar pria itu serius. “Makan.”ujarnya kemudian. Aku meraih s**u coklat di gelas dan meneguknya sebelum meraih sebuah biskuit. “Apa tepatnya bantuan yang kau inginkan dariku?” “Aku pikir lebih baik kau makan dulu sebelum aku menjelaskan apa yang kuinginkan darimu.”ujarnya tenang. Aku menyipitkan mataku, mencari tanda-tanda dia akan membohongiku. Tapi wajahnya sama sekali tidak menunjukkan apapun. Dia terlalu pintar menyembunyikan ekspresinya_seolah dia bisa memprogram kapan ekspresi itu akan ON atau OFF. Aku melirik makanan yang tersisa di meja. Masih ada terlalu banyak makanan. Setelah menimbang beberapa alasan, aku pikir pertanyaan ini akan menjadi akhir dari pembicaraan kami, karena itu aku memilih sandwich dan mulai menggigitnya saat Zac bangkit dan berjalan menuju jendela. Walau hanya ada kami berdua di ruangan itu, tapi sosoknya yang jangkung membuat ruangan terasa dipenuhi oleh dirinya. “Aku ingin kau ikut denganku. Aku sudah menghubungi kantormu dan mengatakan kalau kau akan mengambil cuti setidaknya dua minggu sebelum kembali ke kantor. Selama itu kau akan tetap bersamaku. Kita akan melakukan perjalanan ke beberapa tempat. Kehadiranmulah yang bisa membantuku, luv. Ada banyak hal yang bergantung pada bantuanmu.” “Aku tidak mengerti. Kita bahkan baru bertemu. Bagaimana mungkin kehadiranku yang bisa menolongmu? Aku bahkan tidak tahu apa masalahmu dan aku bukan siapa-siapa.”tanyaku tanpa sadar. Lagipula, bagaimana tepatnya dia memintakan izin untukku? Lucius tidak akan semudah itu memberikan izin cuti apalagi dengan pemberitahuan mendadak seperti ini. “Habiskan makananmu dan aku akan menganggap ini bukan pertanyaan.”ujarnya tenang. “Kau mungkin baru mengenalku, tapi aku sudah lama mengenalmu. Kau akan ketakutan kalau kukatakan apa saja yang kuketahui tentangmu, luv, karena itu jangan tanyakan apapun lagi. Kau bisa memegang ucapanku, selama kau bersamaku, aku tidak akan menyakiti ataupun membahayakanmu. Kau bisa melakukan apapun asal tidak terlalu jauh dan bersedia ditemani oleh orangku.” “Aku bukan tawananmu, Zac. Kita baru bertemu tadi malam dan aku ingin sekali pulang saat ini.” “Tidak. Kau memang bukan tawananku. Aku lebih memilih kata tamu untuk menggambarkan situasimu saat ini. Kau akan menjadi tamuku, Gabriella Hudson. Dan selama itu keamananmu akan menjadi tanggung jawabku.”ujarnya tenang tanpa memperdulikan keinginanku untuk pulang ke rumahku sendiri. Memangnya apa yang bisa terjadi padaku? Tidak ada mafia yang mengejarku. Aku juga tidak memiliki hutang apapun. Satu-satunya hal yang luar biasa yang pernah terjadi dalam hidupku adalah mengetahui kalau aku punya tunangan yang sangat luar biasa tampan dan juga kaya. Dan apa yang terjadi padaku saat ini bisa dimasukkan kategori hal luar biasa lainnya yang terjadi dalam hidupku selama dua tahun terakhir. “Kau mengatakan kalau kita akan pergi. Kemana?” “Untuk saat ini kita akan ke Chicago.” Chicago? *** Tidak akan pernah ada yang menyangka kalau kehidupanku selama 24 tahun akan berubah drastis dalam dua tahun terakhir. Tepat seminggu setelah kedua orang tuaku meninggal karena kecelakaan mobil, seorang pria mendatangi rumahku, dan mengaku kalau dia adalah tunanganku. Bahkan saat itu aku berpikir kalau pria itu terlalu tampan untuk menjadi seorang penipu dan terlalu kaya untuk mencari uang dengan cara itu. Tapi dia menceritakan hal-hal yang luar biasa tidak bisa diterima oleh akal sehat. Aku mengusirnya dan kemudian pindah ke apartemen kecil didekat kantorku. Sebulan kemudian pria itu kembali muncul dan mengatakan hal yang sama. Bahwa dia adalah tunanganku. Dan kedua orang tua yang membesarkanku hingga saat ini bukanlah orang tua kandungku. Aku sudah tahu hal itu, hanya saja bagaimana dia tahu itulah yang menjadi pertanyaan untukku. Setelah hari itu, dia selalu datang setiap tiga bulan sekali di tanggal yang sama, menanyakan kapan aku siap untuk ikut dengannya. Dia tidak memaksaku, tapi sebenarnya dia juga memberikanku batas waktu. Dan akhir bulan ini dia akan datang kembali mengunjungiku, membawaku tidak peduli apapun pendapatku karena menurutnya aku sudah menunda hal ini selama 2 tahun! Dan sekarang, dengan semua hal yang terjadi padaku selama 2 tahun ini, seorang pria asing lainnya muncul dan mengatakan kalau dia membutuhkan bantuanku. Bedanya dia dengan tunanganku adalah, Zac bahkan tidak menunggu atau memberiku kesempatan untuk menolak apa yang dia inginkan. Dia membawaku dari satu situasi ke situasi lain seolah dia bisa menangani segalanya dengan kedipan mata. “Aku ingin keluar dari tempat ini, Zac.”ujarku saat menerobos masuk ruang kerja Zac di salah satu rumahnya di Gold Coast Chicago. Zac mengangkat kepalanya dan menatapku penuh selidik sebelum mengangguk. “Archard.”ujarnya pelan, dan aku sudah terlalu terbiasa dengan hal ini untuk mempertanyakan bagaimana cara Archard mengetahui kalau Zac memanggilnya dengan suara sekecil itu dan bisa datang hanya dalam hitungan detik seakan dia selalu berada di sisi Zac. Hanya butuh beberapa detik sebelum Archard muncul di belakangku dan mengangguk sopan saat melewatiku. “Master?” “Aku akan pergi dengan Gabriella keluar sebentar. Hubungi Wren dan katakan padanya kalau selama dua minggu mendatang aku tidak bisa mengurus Lursa, dia harus mencari penggantiku.”ujar Zac cepat yang membuatku terkejut. Bukan karena dia memerintah dengan cepat seperti tadi, tapi lebih kepada ucapannya di awal. Dia yang akan menemaniku jalan-jalan? Benarkah? Padahal sejak kami sampai di Chicago, dia bahkan tidak bicara denganku selain untuk memastikan kalau aku sudah makan. Dan sekarang? Dia menawarkan diri untuk menemaniku! Zac menghampiriku dan meraih sikuku sebelum menuntunku keluar dari ruang kerjanya. “Kemana kau ingin pergi?”tanya Zac pelan. Kemana aku ingin pergi? “Entahlah. Aku hanya ingin jalan-jalan. Kemanapun asal keluar dari tempat ini.”ujarku cepat. Zac mengangguk pelan, “Ganti pakaianmu. Kita akan makan siang di luar dan setelah itu berkeliling kemanapun yang kau inginkan.”ujarnya sambil menuntunku naik tangga menuju kamarku. Setengah jam kemudian aku sudah berada di dalam Chrysler Startech hitam metalik menembus jalanan Chicago. Aku mengenakan blus floral ringan dengan rok pendek berwarna biru lembut dipadukan dengan sandal bertali datar. Sejujurnya aku tidak membawa satupun pakaianku dari Washington dua hari yang lalu. Semua pakaian yang kumiliki saat ini baru dibeli oleh Zac saat kami tiba di Chicago dan hanya Tuhan yang tahu bagaimana dia bisa tahu ukuran tubuhku. Zac hanya diam selama perjalanan, bersandar di kursi belakang dan menyilangkan kakinya yang panjang. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan selain memperhatikannya. Dia terlalu menarik untuk diabaikan. Kali ini dia mengenakan kemeja kotak-kotak dengan celana hitam dan coat hitam berleher tinggi. Sekali lihat saja aku sudah tahu kalau pakaiannya bukan pakaian biasa yang bisa dibeli di butik eksklusif sekalipun. Pakaian itu dijahit khusus untuknya. Yang paling kusuAleandro dari cara berpakaiannya adalah kenyataan kalau Zac selalu mengenakan anting di telinga kirinya. Untuk seorang pengusaha, hal itu akan membuatnya terlihat liar, tapi untuk Zac, hal itu terlihat wajar. “Kau tidak harus menemaniku kalau kau tidak suka.”ujarku tiba-tiba memecah keheningan di dalam mobil. Zac menoleh dan menatapku bingung. “Apa maksudmu?”tanyanya pelan. “Kau bahkan hanya diam saja sejak kita keluar dari rumahmu.” Zac tiba-tiba mengubah posisi duduknya dan menghadapku kali ini. “Percayalah, kau akan takjub kalau mengetahui bahwa menemani seorang wanita adalah hal paling menyenangkan dalam hidupku dibandingkan harus duduk berkutat dengan angka-angka di hadapanmu. Dan aku minta maaf sudah mengabaikanmu selama disini.”ujarnya terdengar jujur. “Kalau kau tidak menyukainya, bagaimana bisa kau menjalankan sebuah perusahaan?” “Aku terpaksa, luv. Kau akan mengerti kalau kau sudah bertemu dengan temanku. Aku bisa saja menolak keinginannya, tapi yang jadi masalah adalah aku tidak biasa menolak permintaannya. Dan kembali ke pertanyaanmu yang pertama, aku pikir kau suka ketenangan, luv, karena itu aku tidak bicara apapun.” “Ya, kalau aku bisa menyukai batu. Tapi sayangnya aku tidak menyukai batu jadi tolong bersuaralah.”gumamku kesal. Zac tersenyum. Untuk pertama kalinya setelah beberapa hari ini dia tersenyum. “Ceritakan tentang dirimu. Aku ingin tahu.” “Tidak ada yang bisa kuceritakan. Aku hanyalah aku.” “Ceritakan tentang masa kecilmu hingga sekarang. Aku ingin tahu siapa orang yang membesarkanmu hingga kau menjadi wanita yang terlalu baik seperti ini?” “Aku pikir kau pasti tahu lebih banyak dari yang seharusnya mengingat kau mendekatiku untuk mendapatkan pertolonganku_apapun itu.” “Aku ingin mendengarnya langsung darimu, luv.”bisiknya dengan suara berat yang sangat khas itu, seolah dia tahu kalau suaranya itu membuatku tidak bisa menolak apapun yang dia inginkan. Aku menghela napas panjang. Tidak pernah ada yang bertanya tentang kehiduapnku sebelumnya, bahkan tunanganku itu sekalipun. Dia bersikap seolah tahu detail hidupku selama ini. Dan kali ini ada orang asing yang menanyakannya. “Tidak banyak, Zac. Aku hanya seorang anak perempuan saat pasangan Hudson mengadopsiku. Berbeda dengan keluarga lain, mereka memberitahuku fakta itu begitu aku dianggap sudah bisa menerima kenyataan. Walaupun begitu mereka sangat menyayangiku, dan aku juga menyayangi mereka. Mereka meninggal dua tahu lalu dalam kecelakaan mobil walaupun dia bilang kalau itu hanya kamuflase.” “Dia?”ulang Zac bingung. “Tunanganku. Dia bilang kalau kecelakaan itu hanya kamuflase untuk menutupi apa yang sebenarnya terjadi.” “Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah kedua orang tuamu dibunuh?” “Ya. Dan kau tidak akan pernah menyangka siapa yang membunuh mereka.” “Siapa?” “Vampir.”bisikku pelan tanpa menyadari perubahan sikap Zac. “Tapi siapa yang bisa percaya? Vampir? Bagaimana mungkin di dunia ini ada makhluk seperti mereka? Vampir hanya ada di dalam legenda. Aku pikir dia terlalu terobsesi pada makhluk penghisap darah itu.” “Kau tidak mempercayai apa yang tunanganmu katakan?”tanya Zac datar. “Tentu saja tidak. Vampir hanya ada di film dan novel, Zac. Dunia akan gempar kalau makhluk seperti mereka memang nyata. Dan aku tidak yakin kalau jumlah manusia akan sebanyak ini jika mereka memang nyata.”tukasku cepat. Zac hanya mengangguk pelan sebelum kembali diam. Aku mencoba mengajaknya bicara, tapi hasilnya sia-sia. Dia tetap diam, mengangguk atau menggeleng hanya saat diperlukan, hingga kami tiba di Brunswick Plaza. Sinar matahari menyinari tubuh Zac saat dia membukakan pintu untukku. Aku berani bersumpah kalau orang-orang yang ada disekitarku saat ini memandangku dengan tatapan iri karena pria sempurna ini bersamaku. Bahkan walau pada kenyataannya aku adalah tawanan Zac, tapi sejauh ini aku tidak merasa seperti tawanan kecuali fakta kalau aku diawasi dengan ketat. Baiklah, untuk saat ini aku akan menikmati rasa iri dari orang lain melihatku jalan dengan pria setampan Zac. Zac meletakkan tanganku di lengannya saat kami memasuki Brunswick Plaza menuju lift yang kemudian mengantarkan kami ke lantai 11, ke sebuah restoran mewah berada. Zac menggumamkan sesuatu pada resepsionis wanita dan wanita itu langsung tersenyum dan mengantarkan kami ke sebuah meja di sudut dengan pemandangan istimewa ke lalu lintas Washington St. “Ini menunya, Ma’am, Sir.”ujar seorang pelayan wanita sambil memberikan dua buah buku menu pada kami. Zac hanya meletakkan buku menunya dalam keadaan tertutup dan menatapku. “Pilihlah apapun yang kau inginkan.”ujarnya tenang sambil menatapku. Aku membaca daftar menu itu. Percayalah, aku dibesarkan dalam keluarga yang serba berkecukupan atau dengan kata lain keluarga yang cukup kaya. Tapi aku tidak pernah makan makanan dengan harga seperti ini. Bahkan tunangan yang kupercayai cukup kaya itu juga tidak pernah membawaku ke tempat semewah ini. Dan tiba-tiba saja aku memutuskan kalau Zac bisa saja membawaku ke tempat mewah lainnya membuatku akhirnya memilih beberapa hidangan dan minuman paling murah yang bisa kudapatkan. “Kau tidak memesan apapun?”tanyaku pada Zac setelah menyadari kalau pesanan yang diucapkan kembali oleh si pelayan hanyalah pesananku. “Aku tidak lapar.”ujarnya pelan lalu menyuruh pelayan segera pergi, tanpa menyadari kalau sejak awal pelayan itu mengagumi dirinya. Dan mungkin kalau Zac tidak segera menyuruhnya pergi, pelayan itu bisa saja bertindak bodoh dengan mengatakan jam kerjanya selesai atau mulai merayu Zac terang-terangan. “Terserahlah.”bisikku pasrah, tidak ingin memperdulikannya lagi apapun yang terjadi padanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD