bc

Melody of The Darkness

book_age0+
410
FOLLOW
2.9K
READ
second chance
arrogant
powerful
luna
heir/heiress
like
intro-logo
Blurb

Gabriella Hudson adalah seorang gadis biasa yang bekerja sebagai sekretaris di salah satu perusahaan multisektor Washington. Tapi dibalik semua hal normal dalam diri Gabby, gadis itu memiliki rahasia besar yang bahkan tidak diketahuinya. Apalagi Gabby memiliki seorang tunangan yang benar-benar tidak biasa dan mengetahui hal paling gelap dalam diri Gabby. Suatu malam saat dia menghadiri sebuah acara amal menggantikan atasannya, Gabby mengalami malam paling memalukan dalam hidupnya. Pingsan di hadapan para tamu undangan. Bukannya terbangun di rumah sakit atau rumahnya sendiri, Gabby malah mendapati dirinya terbangun di ranjang bersama seorang pria tampan berambut pirang. Dan hal pertama yang seharusnya dilakukan Gabby setelah tahu siapa pria itu adalah melarikan diri.

Zac, sang nosferatu sekaligus Anasso, bertugas mempertahankan kedamaian antara berbagai ras iblis dan makhluk non manusia lainnya. Awalnya dia sengaja mendekati Gabby dan bermaksud untuk menggunakan Gabby sebagai alat negosiasi dengan salah satu ras iblis pemberontak. Tapi setelah menghabiskan sehari bersama Gabby, Zac menyadari kalau menyerahkan gadis itu adalah hal yang tidak akan pernah dia lakukan. Zac menginginkan Gabby untuk dirinya sendiri. Di lain pihak, Gabby merasakan kalau dirinya nyaman dengan keberadaan dan perhatian Zac, tidak seperti saat dia bersama tunangannya.

Gabby membuat Zac mampu merasakan emosi, yang menjadi berkah sekaligus kutukan bagi sang vampir. Relakah Zac melepaskan Gabby yang ternyata membangkitkan mimpi masa lalunya? Apa yang harus dilakukan Zac, jika Gabby ternyata menjadi ancaman bagi perdamaian di dunia iblis? Sanggupkah Zac menghadapi masa lalu sekaligus mengorbankan hal yang selama ini menjadi tugasnya? Mengorbankan perdamaian antar ras iblis?

chap-preview
Free preview
1
*Zac POV* Kalau ada yang bertanya padanya apakah aku akan menjalani hidup seperti Wren dua tahun lalu, aku pasti akan menjawab tidak. Tidak mungkin membaur dengan manusia tanpa menginginkan darah mereka dimulutku. Tapi lihatlah apa yang terjadi padaku selama setahun terakhir? Sialan Wren dengan semua rencana-rencana brengseknya. Selama ini aku hidup mengasingkan diri dari sosialita dalam bentuk apapun. Selalu mengutus seseorang dari Klan Ursa untuk menanganinya dan menerima laporan atas semua perintahku. Tapi kali ini? Aku bahkan menjalani hidup ini hampir 2 tahun, waktu yang sangat lama bagi para manusia, dan cukup lama bagiku untuk terlalu terlibat dalam urusan manusia. Siapapun tidak akan ada yang percaya kalau selama dua tahun belakangan ini aku berhak dihadiahi penghargaan untuk semua kepura-puraan yang kulakukan. Tanyakan saja pada setiap anggota klanku apakah aku orang yang sering tersenyum atau tidak, dan bandingkan dengan yang kulakukan dalam dua tahun belakangan ini. Maka jawabannya hanya satu, aku lebih sering tersenyum selama 2 tahun ini bila dibandingkan hidupku selama ini dijadikan satu. Dan aku juga lebih sering menahan diri untuk tidak langsung menghabisi siapa saja yang bersikap kurang ajar di hadapanku. Tapi percayalah, kalau selama ini aku hidup hanya dalam kepura-puraan. Wren akan menceramahiku berhari-hari kalau aku tidak bisa membaur dalam sosialita manusia yang menurutnya penting kulakukan_yang membuatku terkadang berpikir siapa sang raja sebenarnya? “Zac?”panggil sebuah suara feminin tidak jauh dariku. Terlalu banyak manusia disini, dan aku mulai tidak bisa menahan diri. Lebih lama aku disini, maka akan semakin banyak korban berjatuhan dan butuh lebih dari sekedar hipnotis untuk menenangkan keadaan. Pesta adalah hal yang selama 2 tahun ini aku hindari. Aku akan menghadiri rapat apapun asal bukan menghadiri pesta atau keramaian seperti ini. Terlalu banyak aroma disini, seks, kedengkian, frustasi, pamer, kesombongan, dan lainnya. Manusia adalah makhluk paling rumit dan paling rakus di dunia, tidak pernah puas dengan apapun yang mereka miliki. Dengan sangat malas aku membalik tubuhku menatap seorang wanita cantik berambut hitam pekat di hadapanku ini. “Geraldine.”ucapku pelan, begitu saja menyebut nama wanita ini. Terkutuklah ingatanku yang terlalu baik ini karena selalu membuat siapa saja merasa aku memberikan perhatian khusus pada mereka. Padahal kalau boleh memilih, aku tidak ingin mengingat apapun tentang mereka. Wanita itu tersenyum. Aku yakin kalau wanita ini benar-benar cantik. Tapi kecantikannya bukan yang aku cari saat ini. Aku sudah terlalu lama berdiri di dalam ruangan penuh manusia, aku sudah tidak bisa menahan diriku untuk tidak menarik salah satu dari mereka ke ruang kosong dan menancapkan taring-taringku di leher mereka, dan sialnya aku belum mendapatkan apa yang kucari sejak pertama kali menginjakkan kaki di tempat ini! “Aku tidak mengira kau akan mengingat namaku.”ujar Geraldine ringan. Wanita itu mengenakan gaun perak lembut berlipit yang hanya ditahan dengan satu tali berjalin di lehernya. Belahan dadanya sangat rendah hingga mencapai perut dan ditutupi jaring transparan bertabur permata. Saat Geraldine berbalik sebelumnya aku bisa melihat kalau gaun itu sama sekali tidak memiliki penutup punggung dan hanya mengetat kembali di bagian pinggang. Gaun yang dibuat untuk menggoda pria manapun. Seksi, tapi tidak cukup untuk membuatku mengalihkan tujuan malam ini. “Kenapa tidak?”tanyaku skeptis. “Aku sudah memperhatikanmu sejak tadi, dan lebih dari selusin wanita memperkenalkan diri mereka padamu termasuk aku. Rasanya benar-benar bahagia menyadari kau mengingat namaku setelah semua itu.”ucap Geraldine lembut sambil mendekatkan tubuhnya pada tubuhku, menarik lenganku hingga menyentuh lekukan payudaranya. Oh sial. Dia ingin membangkitkan nafsuku, tapi yang terbangun adalah sisi liarku. Tenang Zac. Kau harus menahan diri untuk tidak menghisap darah siapapun di ruangan ini kalau tidak ingin menjadi yang pertama melanggar perjanjian.tegurku pada diriku sendiri. “Oh tenang saja. Aku tidak mungkin melupakanmu. Aku juga mengingat semua yang berkenalan denganku sejak tadi.”ujarku ringan lalu menyebutkan satu per satu nama wanita yang sejak tadi menyapaku. “Tapi kau memang yang paling membuatku tertarik. Hanya kau yang menghampiriku lagi setelah proses perkenalan membosankan itu.”sambungku kemudian menyadari kalau Geraldine menatapku skeptis. Sekali lagi senyum itu terukir di bibirnya. Kalau saja kebutuhanku akan darah tidak sebesar ini, maka aku akan senang sekali menyambut undangan Geraldine. Hanya ada satu makna dibalik tindakannya ini. Dia ingin aku membawanya ke ranjangku yang tidak akan terjadi malam ini. Tidak. Ada hal lain yang lebih penting daripada menghabiskan malam di ranjang bersama seorang wanita. Dan terkutuklah aku kalau melewatkan kesempatan ini hanya karena otakku dikendalikan oleh organ tubuhku yang lain. “Aku tidak punya janji lain setelah acara ini, kita bisa pergi secepatnya.”ujarnya semakin jelas mengungkapkan undangannya padaku, mengabaikan sarkasme dalam ucapanku sebelumnya. “Percayalah, Geraldine, aku sudah ingin pergi sejak tadi tidak peduli apakah kau punya janji atau tidak. Tapi aku sudah punya janji. Dan sebenarnya kalau sejak tadi aku tidak diganggu oleh siapapun, aku mungkin sudah bisa menjalankan rencanaku saat memutuskan mendatangi acara ini.”ujarku datar, sengaja ingin mengakhiri kepura-puraan ini lebih jauh, walaupun aku menyesal sudah melepaskan wanita secantik Geraldine yang selalu siap menjadi santapanku di ranjang. Wajah Geraldine menyiratkan kalau dia tersinggung dengan ucapanku. Tanpa mengatakan apapun dia langsung pergi meninggalkanku. Aku tidak peduli. Dan saat itulah Archard_yang juga mengenakan stelan resmi_berjalan ke arahku. “Dia sudah datang, Sire.”ucap Archard sangat pelan nyaris tanpa suara saat melewatiku tanpa berhenti dan bergabung dengan sekelompok orang. Kalau ada yang kunikmati selama dua tahun terakhir ini selain fakta kalau aku bisa memuaskan kebutuhanku kapan saja, itu adalah keberadaan Archard dan anggota klanku yang lain yang juga harus ikut membaur Layaknya manusia sehingga aku tidak sendirian dalam merasakan penderitaan ini. Kalau aku menderita, maka yang lain juga harus merasakannya. Itu peraturannya. Aku mengalihkan tatapanku pada pintu masuk. Disana berdiri seorang wanita mungil berambut hitam yang disanggul sederhana. Wanita itu mengenakan stelan ungu gelap dengan gasper lebar di pinggangnya. Wanita itu jelas tidak bisa dibandingkan dengan Geraldine yang mempesona. Pakaiannya terlalu sederhana dan tertutup, wajahnya juga hanya rata-rata. Tapi dialah yang menjadi tujuanku datang ke acara ini. Wanita itu berjalan dengan sangat anggun sambil menyalami satu-persatu orang-orang yang dikenalnya. Senyum ramah selalu terpasang di wajah pucatnya. Pucat? Mungkin hanya karena dia memiliki kulit yang terlalu putih dan cahaya lampu membuatnya terlihat pucat. Wanita itu mengambil segelas sampanye yang diedarkan oleh pelayan dan berhenti untuk mengobrol dengan seorang wanita paruh baya yang mengenakan permata nyaris dari ujung kaki hingga ujung kepala. Dan sekali lagi aku mempertanyakan apa yang diperbuat Wren hingga aku bersedia menghadiri acara amal para manusia ini, disini, di Washington, jauh dari rumahku. Aku menyambar sebuah sampanye dan berjalan mendekati wanita itu. Aku harus segera mengakhiri permainan ini dan kembali ke kehidupanku yang dulu, mengatur segalanya dari balik Layar, dan bukannya langsung terjun ke tengah masalah seperti ini. Wren bisa mengatur apapun yang dia inginkan, tapi tidak untuk kali ini. Aku hanya tinggal beberapa langkah lagi dari wanita itu saat seseorang menyapaku. Sial! “Mr. Zac?”panggil suara itu yang langsung membuatku berbalik. Sebelumnya tidak ada yang pernah memanggil namaku seperti itu. Tapi sejak dua tahun terakhir, aku sudah membiasakan diri dengan banyaknya orang yang memanggilku seperti itu. Sekali lagi, terkutuklah Wren karena membuatku seperti ini! Seorang pria setengah botak yang kukenal sebagai salah satu manager pemasaran di sebuah perusahaan yang baru-baru ini menjalin kerja sama dengan Lursa Ltd berdiri di dekatku. Disisinya berdiri seorang wanita cantik berambut pendek. “Selamat malam, Mr. Claude.”ujarku berusaha menampilkan wajah ramah saat jauh didalam pikiranku, aku sedang sangat kesal dan haus. “Suatu kejutan anda menghadiri acara ini. Apa anda datang sendiri?”tanya pria itu lagi yang sepertinya bertekad untuk mengajakku bicara panjang lebar. Dan sialnya, pasangannya juga memiliki keinginan yang sama. Sekilas aku mengedarkan pandanganku untuk melihat siapa saja yang berdiri di dekatku dan mendapati kalau semua orang sedang sibuk dengan pembicaraan mereka masing-masing. Aku mengangkat gelas sampanye hingga pinggirannya menyentuh bibirku dan dengan sengaja membiarkan kilau hijau zamrud muncul dimataku saat aku menatap kedua orang yang berdiri di depanku secara bergantian. “Pergi dan lakukan hal apapun selain mengajakku bicara.”bisikku pelan. Seakan ada yang mengendalikan mereka, pasangan itu langsung berbalik dan menuju tempat terjauh yang bisa mereka datangi dan memulai obrolan dengan orang lain. Aku kembali berbalik untuk menghadapi wanita itu saat menyadari kalau wanita itu sudah tidak ada ditempatnya tadi. Sial! Tidak butuh waktu lama bagiku untuk menemukan wanita itu kembali. Wanita itu kini sedang berjalan menuju ruang istirahat para wanita di salah satu sudut ruang dansa. Dengan langkah pasti aku berjalan menyusul wanita itu, mengabaikan pandangan-pandangan yang ditujukan padaku saat aku berjalan menuju ruang istirahat wanita. Well, selamat datang di duniaku, Ms. Hudson.   *Gabriella POV* Seharusnya malam ini aku sedang berbaring di sofa sambil menonton film di apartemen mungilku dan bukannya menegak sampanye sebanyak ini dan mulai pusing bahkan saat aku belum melakukan apapun.pikirku sambil mendorong pintu ruang istirahat wanita. Tidak ada seorangpun di dalam ruangan itu. Entah kenapa aku merasa bersyukur karenanya. Tidak banyak orang yang kukenal di acara ini, hanya beberapa orang yang pernah kulihat bertransaksi dengan atasanku. Dan seharusnya aku memang tidak berada di tempat ini kalau saja Lucius tidak terkena radang paru-paru tadi pagi. Menjadi sekretaris andalan selama satu tahun setengah mungkin memang memiliki keuntungan tersendiri, setidaknya aku menjadi salah satu dari sedikit orang yang dipercaya oleh pemilik properti terbanyak di Washington itu. Tapi kerugiannya adalah, saat sang atasan tidak bisa menghadiri suatu acara, maka tidak ada orang lain yang dipercayanya selain dirimu walaupun kau tidak pernah datang ke acara sosial manapun sebelumnya. Aku menghempaskan tubuhku di sofa bundar yang ada di ruangan itu dan menyilangkan kakiku. Dengan perlahan aku membuka sepatu tali berhak 11cm yang melingkar di kakiku itu dan mendapati jejak kemerahan di tumit dan beberapa bagian lainnya. “Aku harus merendam kakiku dengan air hangat malam ini.”bisikku pelan lalu membuka sepatu pasangannya saat pintu ruang istirahat terbuka. Aku masih memijat kakiku saat sang pendatang baru itu memasuki wilayah pandangku. Yang paling membuatku terkejut adalah, sepasang sepatu kulit mengkilat berwarna hitam berdiri tidak jauh dari tempatku duduk, celana jahitan khusus yang aku yakin buatan Hardy Amies dan... Dengan cepat aku mendongak dan mendapati seorang pria jangkung berambut pirang paling tampan yang pernah kulihat. Mata birunya menatapku seolah ingin menelanjangiku saat ini juga. Malaikat turun ke bumi. Itu pikiran pertamaku saat melihat wajahnya. “Maaf, sepertinya anda salah ruangan. Ruang istirahat pria ada di seberang tempat ini.”ujarku sambil berusaha bersikap sesopan yang diijinkan saat kedua kakiku tidak mengenakan alas apapun. Pria itu menatapku di bawah bulu matanya yang panjang dan kemudian berlutut di depanku. Gelas sampanye yang dipegangnya diletakkan di meja, dan kemudian jemari tangannya yang panjang itu meraih pergelangan kakiku. “Kaki yang indah, sayang sekali pemiliknya menyiksanya dengan menggunakan benda ini.”ujarnya lembut. Demi Tuhan, suaranya benar-benar bisa membuat wanita o*****e saat pria ini memutuskan untuk merayu seseorang. Suara berat dan dalam itu berhasil mematikan fungsi otakku karena aku sama sekali tidak melakukan apapun selain menatap wajah tampan itu dan menikmati sentuhan jari-jarinya yang dingin di pergelangan kakiku. “Siapa anda, Tuan?”ujarku berusaha mengumpulkan serpihan kesadaranku yang tercecer di suatu tempat di ruangan nyaman ini. Pria itu menekuk satu kakinya hingga lututnya menyentuh lantai, tidak peduli kalau celananya yang mahal itu mungkin saja kotor. “Kau bisa memanggilku, Zac, Ms. Hudson.” “Dan apa ada yang bisa saya bantu untuk anda, Mr. Zac?”tanyaku pelan, masih susah payah untuk mengabaikan sentuhannya di pergelangan kakiku. Bahkan aku tidak peduli darimana dia tahu namaku. “Tidak pernah ada orang yang memakai kata mister dan Zac dalam satu kalimat. Dan ya, kau bisa membantuku. Berjanjilah untuk tidak menyiksa kaki indah ini lagi.”ujarnya ringan sambil memindahkan tangannya ke kakiku yang lain. Aku menggeleng cepat. Tidak. Aku tidak mengenal pria ini. Dan dia juga tidak seharusnya berada di ruangan ini. “Anda tidak bisa disini.”bisikku lagi. “Tentu. Ayo kita keluar.”ujarnya dan dalam gerakan anggun yang mulus, pria itu sudah berdiri menjulang di depanku dengan tangan terulur di hadapanku. “Kita? Sepertinya anda salah mengerti, Tuan. Saya ingin istirahat disini sebentar. Seperti yang anda lihat, sepatu itu tidak cocok untuk saya dan saya harus mengistirahatkan kaki saya sebentar kalau tidak ingin sepatu itu menjadi masalah besar yang mungkin malah membuat saya tidak bisa berjalan.”ujarku cepat sambil melambai ringan ke sepasang sepatu tali yang sekarang tergeletak di lantai. Zac menatapku sejenak sebelum mengangguk paham. Pria itu menjentikkan jarinya dan beberapa detik kemudian seorang pria tampan lain muncul di ambang pintu dengan sebuah kotak sepatu di tangannya. Pria berambut hitam itu menyerahkan kotak itu pada Zac. Dan sekali lagi Zac berlutut dengan satu kakinya dan membuka kotak itu. Sepasang sepatu indah tersusun rapi disana. Sandal itu! Aku pernah melihatnya disebuah butik, karya JB Martin dengan label harga... £104! Percayalah, bahkan dengan gajiku sekarang, aku tidak akan dengan senang hati membeli sandal dengan harga seperti itu. Dengan mudah dia memasang kedua benda itu di kakiku. Dan hanya Tuhan-lah yang tahu darimana dia mendapatkan ukuran kakiku karena sepatu itu benar-benar nyaman dan sangat pas di kakiku. “Sekarang tidak ada masalah lagi. Kau akan ikut denganku keluar dari tempat ini sebelum ada yang menemukan kita disini.”ujarnya tenang sambil menarik tanganku dan meletakkannya di lekukan lengannya. “Aku tidak mengenalmu. Dan aku sudah akan pulang. Aku terlalu banyak minum sampanye malam ini, sir. Dan kepalaku juga sedikit pusing.”ujarku cepat. Tidak lagi merasa perlu menggunakan bahasa yang terlalu formal untuk pria pemaksa ini. “Aku tahu. Karena itu aku mengajakmu keluar dari tempat itu. Aku akan mengantarmu pulang.”ujar Zac lagi seolah kami sudah berkenalan lebih jauh. Tapi sepertinya keinginan pria itu_juga kesadaranku_harus mendapatkan ujian. Hanya beberapa langkah keluar dari ruang istirahat, sepasang suami istri menghampiri kami. Aku mengenal pasangan itu. Mereka sudah lama berbisnis dengan Lucius. “Hallo, Gabriella.”sapa Mrs. Gillian ramah. “Selamat malam, Mrs. Gillian, Mr. Gillian. Senang melihat kalian disini.”ujarku sambil tersenyum pada pasangan itu. Mrs. Gillian sama sekali tidak menyembunyikan rasa penasarannya saat melihat pria yang bersamaku saat ini. Oh, wanita seperti Mrs. Gillian pun yang sudah melewati setengah abad hidupnya tetap terpesona dengan pria ini. “Kau membawa pasangan, sayang. Bahkan kau tidak pernah datang bersama Lucius.”ujarnya ringan. Dan itu adalah pernyataan, bukan pertanyaan. “Lucius selalu bisa menangani acara-acara sosialnya seorang diri dan dia tidak memerlukan kehadiranku di acara seperti ini.”ujarku tenang. Mr. Gillian tertawa pelan. “Kau memang pantas menjadi sekretaris Lucius, gadis manis. Ngomong-ngomong, siapa pria disampingmu ini?”tanya Mr. Gillian sambil memperhatikan Zac dengan seksama. “Selamat malam, Mr. Gillian. Senang akhirnya bisa melihat anda. Saya dengar baru-baru ini anda berhasil mengakuisisi sebuah perusahaan kapal di Miami. Saya benar-benar kagum dengan hasil yang anda capai.”ujar Zac tenang. “Terima kasih, anak muda. Aku tidak percaya kalau pemuda seusiamu tertarik dengan bisnis. Apa orang tuamu yang mengajarkannya?”tanya Mr. Gillian ramah. Zac menelengkan kepalanya bingung. “Tidak. Tidak. Aku tidak belajar dari siapapun. Aku bisa mengerti bisnis karena dijebak oleh temanku.”sahut Zac cepat. “Teman yang hebat. Apa kau orang baru di Washington?” Aku berharap kalau Zac menggeleng, karena dengan begitu aku bisa berpendapat kalau dia adalah salah satu dari klien Lucius sebelum aku bekerja bersama Lucius dan dia sudah lama kenal dengan Lucius, salah satu alasan kenapa dia bisa mengenalku. Tapi apa yang kudapati membuatku semakin bingung. “Ya. Aku lebih banyak menghabiskan waktuku di Vancouver. Aku hanya datang ke Washington kalau sedang dibutuhkan.”ujarnya tenang. Mr. Gillian mengangguk paham lalu meraih sesuatu dari saku jasnya, sebuah kartu nama. “Aku akan senang sekali kalau kau bersedia datang ke kantorku besok. Rasanya kau memiliki bahan pembicaraan yang bisa membuatku menghabiskan banyak waktu bersamamu, anak muda.”ujar pria paruh baya itu sebelum melangkah pergi meninggalkan kami berdua. Aku tidak bisa memikirkan apapun lagi setelah itu. Kesadaran yang tadinya susah payah kukumpulkan kini terancam akan menghilang kembali. Aku memang tidak pernah bisa mengkonsumsi minuman keras bahkan sekelas sampanye sekalipun. Kepalaku mulai berdenyut pelan saat kegelapan menghampiriku. *** “...nganku. Aku akan kembali untuk menjemputmu. Sampai saat itu ingatlah apa yang selama ini telah kau lupakan.” “Tidak. Aku tidak mengenalmu. Dan aku juga tidak kenal siapa itu Gretchen. Aku mungkin memiliki darah Asia, tapi aku lahir dan dibesarkan disini. Orangtuaku adalah James Hudson dan Nicole Hudson.” Laki-laki itu menatapku tajam. “Kau hilang ingatan. Itu yang dikatakan Gretchen. Karena itu aku menyuruhmu untuk mengingat apa yang kau lupakan sampai aku kembali datang untuk menjemputmu, Gabby” “Kalaupun kau datang, aku tidak akan ikut denganmu. Hidupku disini.” “Kita lihat saja nanti.”ujar pria itu seakan aku tidak pernah mengajukan protes lalu mendekatiku untuk menciumku. Aku membuka mataku tepat saat pria dalam mimpiku itu mencium bibirku. Bukan, sebenarnya itu bukan mimpi. Itu adalah kejadian dua tahun lalu, yang terkadang selalu terulang kembali sebagai mimpi. Aku berusaha berkonsentrasi dengan keadaan saat ini. Aku mengerjap beberapa kali dan memperhatikan langit-langit kamar yang begitu tinggi dan kandelir kristal yang terpasang disana. Aku menelusuri kamar bernuansa putih, krem dan emas itu. Dan tiba-tiba kesadaran menghantamku. “Ini bukan kamarku...”bisikku pelan sambil membuka selimut yang menutupiku hanya untuk mendapati kalau aku tidak sendirian di atas ranjang. Dan parahnya aku tidak mengenakan apapun selain celana dalam dan bra. Dengan cepat aku kembali menarik selimut ke dadaku dan menatap pria asing yang terbaring di sisiku. Rambutnya pirang, tapi tidak benar-benar pirang. Ada semburat coklat madu di rambutnya. Rahangnya keras dan terbentuk seolah seorang pemahat dunia langsung menciptakan tulang wajahnya. Dan untuk ukuran pria, kulit wajahnya terlalu mulus dan putih. Hidungnya mancung dan bibirnya... Tapi lebih dari semua itu, siapa dia?

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Rewind Our Time

read
161.6K
bc

Enemy From The Heaven (Indonesia)

read
60.7K
bc

LEO'S EX-SECRETARY

read
121.2K
bc

ARETA (Squel HBD 21 Years of Age and Overs)

read
58.2K
bc

Possesive Ghost (INDONESIA)

read
121.4K
bc

Mrs. Rivera

read
45.5K
bc

See Me!!

read
87.9K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook