Keesokan Pagi
“Feey, gue udah sampai di Gedung Aurevia nih. Gue langsung ke lantai tujuh belas aja ya?” Zefa mendongak, demi bisa melihat gedung yang tampak berkilau diterpa sinar matahari siang. Segera dia menelepon Shafeeya saat kakinya menjejak gedung yang akan menjadi tempatnya ‘bekerja’.
“Heuum, agak susah kalau langsung ke sini. Elu kan belum punya kartu akses. Tunggu di lobi dulu, gue jemput elu ke situ ya.” Jawab Shafeeya
.
Zefa menurut, dia menunggu di lobi utamanya yang lapang, berdesain modern dengan sentuhan marmer abu-abu. Di tengah keramaian karyawan yang lalu lalang, Zefa duduk dengan anggunnya. Dia memakai blouse putih satin dan lagi-lagi celana kulot biru gelap dengan pashmina senada kulotnya . Penampilannya sederhana tapi entah kenapa mampu menawan siapa pun yang melihatnya.
Denting pintu lift khusus direktur terdengar, kemudian satu sosok wanita cantik dan berpenampilan tidak kalah elegan, gegas menghampirinya dan memekik penuh kegirangan saat melihat Zefanya, “Zefaaa…Akhirnyaaa kita ketemu juga!”
Zefa mendongak, berdiri dan membuka tangannya lebar untuk bisa memeluk Shafeeya. Keduanya abai pada sekitar yang melihat ke arah mereka. Shafeeya adalah salah satu partner in crime-nya selain Amara yang akan mensukseskan misi mereka kali ini.
“Kangeeen gue, Zef. Eeh eeh, ntar sore kita jalan yuk, pulang kantor gue jemput elu ya. Kita nongki cantik sekalian makan malam.” Ajak Shafeeya dengan gembira.
“Boleh, ide bagus. Kita langsung ketemu di resto aja Feey, gue sekalian mau ketemu Evan.” Jawab Zefa, kalem, dengan senyum kecil terkembang.
“Heuum gue juga mau dong ketemu tuh brondong, tambah ganteng pasti ya dia. Eh, yuk buru ke ruangan om Fred. Elu udah ditunggu loh.” Shafeeya menarik tangan Zefa untuk mengikutinya.
Satpam dan staf kebersihan mengangguk hormat pada Shafeeya saat dia melewati mereka menuju lift khusus direksi. Di dalam lift, kedua sahabat itu mengobrol penuh riang, seketika lupa akan misi mereka hingga pintu lift terbuka dan di ujung lorong, pintu kantor eksekutif menunggu. Di dalam ruangan, Frederik, seorang lelaki paruh baya dengan rambut perak elegan dan jas gelap tersenyum kecil menyambut mereka. Senyumnya nampak ramah, namun sorot matanya langsung menilai Zefa dari kepala hingga kaki.
“Ini yang sering Feeya ceritakan ya? Zefanya?” suara Fred terdengar berat, sedikit serak namun tidak bisa dipungkiri kewibawaannya kentara pada suara dan mimik wajahnya yang tetap gagah di usia setengah abad lebih.
Zefa menunduk sopan, berikan senyum kecil. Sebuah senyumnya yang terkontrol, senyum manis tapi tidak berlebihan. Gegas dia menuju ke arah Fred yang berdiri menyambutnya yang sudah mengulurkan tangan, “senang sekali bisa bertemu langsung dengan Anda, Pak Frederik. Nama Anda sering disebut Shafeeya dengan penuh kebanggaan.”
Fred tertawa kecil, senang dengan pujian keponakannya yang dia rasa tidak berlebihan. Andai saja dia tahu ada agenda apa di balik pujian yang dilontarkan Shafeeya dan Zefanya.
“Duduklah, kita gak usah bicara formal ya, santai saja.”
“Baik, Pak.”
Pertemuan pun dimulai. Zefa berbicara dengan nada hangat, setiap kalimat terukur saat menjawab semua pertanyaan Frederik baik tentang dirinya atau pekerjaan yang akan dia lakukan. Layaknya staf profesional dan berpengalaman, Zefa tahu kapan harus mendengarkan, kapan saatnya melemparkan candaan tipis dan kapan memberi pujian yang tepat sasaran. Sama sekali tidak ada sikap murahan, dia lebih seperti seorang biduan elegan yang sangat pandai memainkan simfoni hingga membuat Fred larut tanpa sadar menikmati penampilannya. Sayangnya Frederik tidak menyadari betapa sempurnanya 'penampilan' Zefanya.
Sesekali Shafeeya ikut menimpali, tapi bahkan dia pun tak bisa menolak pesona Zefa. Semuanya mengalir mulus, hingga akhirnya Fred menutup pertemuan itu dengan senyum puas.
“Wah, Shafeeya benar, Curriculum Vitae-mu tidak berbohong. Kamu memang cerdas dan teman bicara yang menyenangkan. Aku yakin semua pekerjaan akan beres kalau gini.” Kata Frederik, puas dengan pembicaraan mereka.
Zefa hanya tersenyum sopan dan tidak menolak pujian itu. Malahan dia menjawab lugas tapi dengan nada lembut, “terima kasih atas pujiannya, Pak.”
“Kalau begitu, kapan kamu bisa mulai bekerja? Lebih cepat lebih baik karena sudah lama personal assistant-ku resign dan belum ada ganti yang cocok. Kebetulan banget Feeya rekomendasikan kamu.”
“Maaf Pak Frederik, tapi bagaimana dengan salary dan benefit yang akan saya terima?” tanya Zefa tanpa ragu. Shafeeya pernah bilang kalau om-nya ini lebih suka orang yang percaya diri.
“Atur aja dengan bagian personalia. Nanti Shafeeya yang bantu ya. Kamu bisa join kapan?” kembali Frederik bertanya karena belum mendapatkan jawaban.
“Awal bulan depan, Pak, sekalian pas tanggal satu dan saya masih harus mencari kontrakan yang tidak terlalu jauh dari kantor. Apakah itu tidak apa-apa, Pak?” sebenarnya secara tidak langsung Zefanya mulai menancapkan kuku pada Frederik untuk mengikuti keinginannya.
“Heuuum…, masih seminggu lagi ya? But it’s okay. Eh kalau gitu kamu gak punya kendaraan? Feeya, sekalian kasih fasilitas kendaraan dan supir untuk Zefanya. Kamu atur sebaik mungkin, Feey." Titah Fred kepada Shafeeya.
“Terima kasih, Pak, tapi untuk sementara ini saya lebih memilih pakai taksi online saja. Masih belum siap dengan kemacetan Jakarta jika harus menyetir sendiri.” Tolak Zefanya dengan halus.
“Gampang itu Om, nanti aku rayu dia untuk pakai fasilitas mobil kantor dan supir. Ya sudah kalau gitu, tadi Bu Susi bilang kalau Om Fred ada meeting jam satu,” kata Shafeeya melirik jam tangannya, masih jam dua belas kurang sedikit.
“Eeh…, apa kita makan siang bareng sajakah? Nanti Om undur jam meeting gak papa. Rapat internal kok, bisa menunggu. Sudah lama kita gak makan siang bareng kan, Feey?” Ajak Frederik pada Shafeeya dan Zefanya.
“Bol…”
“Mohon maaf Pak Frederik, kebetulan saya sudah ada janji, sekalian saya harus belanja outfit yang pantas untuk bekerja di kantor ini,” Zefanya tangkupkan tangan di depan dadanya, “lagipula saya tidak mau mengganggu waktu Bapak dengan Shafeeya, barangkali akan ada pembicaraan pribadi atau keluarga kan?”
Baik Shafeeya dan Frederik manggut-manggut setuju, “kalau gitu atur lagi kapan-kapan.”
“Makasih ya Om, udah mau bantu teman Feeya,” kata Shafeeya kemudian cium punggung tangan Frederik disusul Zefanya yang membalas uluran tangan Frederik.
“Terima kasih atas kepercayaan yang diberikan Bapak kepada saya. Insya Allah, saya tidak akan mengecewakan Bapak.” Zefanya undur diri bersama Shafeeya.
*
Keluar dari ruangan Frederik, Shafeeya membuang napas lega sekaligus pandangan penuh kagum pada Zefanya, “gila! Elu emang pinter banget, Zef! Itu baru definisi ngejilat dengan cara elegan.” Kata Shafeeya dengan senyum lebar.
“Haha… sialan lu, tapi makasih ya pujiannya.” Balas Zefanya dengan senyum masam.
“Salut gue. Om Fred itu orang yang paling susah ngasih pujian ke orang lain, tapi ini baru pertama kali ketemu udah puas banget ama elu. Gak pernah loh, om Fred mengiyakan permintaan orang lain segampang ini, apalagi si om butuh PA secepatnya.”
“Gak percuma dong gue udah pelajari karakter om elu itu dari sumbernya langsung, Amara. Percayalah, Feey, gue udah berhasil menancapkan kuku ke alam bawah sadar pak Fred, kalau gue itu emang layak.” Jawab Zefanya.
“Kalau kita gak dalam misi yang sama nih ya, gue pasti akan langsung muntah-muntah liat elu yang mampu seelegan itu di depan om Fred.” Shafeeya masih geleng-geleng kepala karena terlalu kagum pada Zefanya.
“By the way, Feey, habis ngobrol sama om Fred tadi,” Zefanya jadi ikutan memanggil om Fred ikuti Shafeeya, “mendadak gue jadi kasian karena dia jadi korban mami Nur itu. Lagian, om Fred sama sekali gak curiga ya ngeliat nama kampus gue yang sama seperti Amara?”
“Iya sih, tapi tetep gue lebih kasian ke tante Yani sama Amara. Mereka menderita karena w***********l yang sama, Nur itu.”
“Feey, gak perlu nganter gue sampe lobi. Gue udah order taksi online kok. Sekali lagi, makasih ya bantuan elu selama ini yang selalu support gue.” Zefanya mencium pipi Shafeeya kemudian masuk lift biasa, bukan lagi lift khusus direksi.
Dengan langkah anggun dan penuh percaya diri, Zefanya berjalan menuju pintu keluar. Tatapannya yang selalu ke depan membuatnya tidak menyadari ada satu sosok yang berpapasan dengannya. Dari arah berlawanan, seorang lelaki super tampan dengan aura menggoda melewatinya. Memakai kemeja putih rapi dengan jas navy tersampir di lengannya dan tatapan tajam yang selalu membuat tubuh kaum hawa menegang karena menahan napas.
Tapi mana Zefanya peduli yang berpapasan dengannya adalah seorang Javier Zaydan, salah satu dewan direktur di Aurevia.
Eh dia kan…?
Javier hentikan langkahnya, alisnya terangkat tipis jelas terkejut melihat kehadiran gadis yang semalam ketakutan melihatnya di kolam renang tapi sekarang berjalan dengan anggun di gedung ini.
Ngapain dia ada di sini? Cari kerjaankah atau ketemu siapa? Ada urusan apa dia di sini? Duh, kenapa pula aku jadi penasaran banget sih? Sialan, sebenarnya siapa dia?
Sedangkan Zefanya, begitu meninggalkan gedung, udara luar yang panas langsung menyambutnya. Dia yang masih belum terbiasa dengan panasnya Jakarta, mengernyit karena silau dan wajah yang seperti tertusuk duri saat terkena sinar matahari yang menyengat siang itu.
Zefa berdiri di luar lobi dan menunggu taksi. Dia menarik napas panjang, melepaskan sedikit ketegangan. Wajahnya tetap tenang walaui dalam hati dia tahu bahwa satu langkah kecil pertamanya sukses besar, membuat Frederik percaya bahwa dia adalah orang yang tepat untuk menjadi personal assistant-nya sebelum akhirnya dia mengambil semua!
Semua yang dimiliki oleh Nur Afiah, akan dia hancurkan sehancur-hancurnya!