Part 4. Javier Zaydan, Si Lelaki Tampan Penggoda

1744 Words
Suatu pagi saat keluar dari apartemen, Javier melihat satu sosok gadis yang mengganggu pikirannya beberapa hari ini bersama seorang lelaki muda. Yang membuatnya kesal, pemandangan tersaji di depan matanya karena gadis berhijab itu tampak sangat akrab dan menyayangi lelaki muda ini. Gadis itu berjalan dengan riang sambil memeluk lengan si lelaki yang tinggi tubuhnya mirip seperti dirinya. Sesekali malah gadis itu mengusap lengan si lelaki dan mereka bertatapan penuh sayang! Ada sesuatu pada dirinya yang tiba-tiba saja mendidih, tidak rela melihat mereka sangat akrab. Tapi dia kan bukan siapa bagi gadis itu, bahkan nama juga tidak tahu. Lelaki muda yang bersamanya, nampaknya baru berusia awal dua puluh, wajahnya bersih, senyum yang terkulum dan malu-malu saat gadis tadi semakin erat memeluknya. Mereka tertawa kecil, jarak tubuh mereka terlalu dekat untuk dikatakan hanya sebagai seorang teman biasa. Bisa jadi apa yang dikatakan kelompok ibu-ibu di bandara kemarin memang benar adanya, gadis ini seorang pelakor dengan label syariah! Rasa asing yang menyusup masuk ke d**a Javier dan membuatnya tidak nyaman semakin membesar. Dia tidak menyukai hal ini. Tapi dia sendiri tidak tahu apa yang dia rasakan sekarang. Cemburukah dia? Hei, bagaimana mungkin, dia bahkan tidak mengenalnya sama sekali walaupun mereka bertetangga di unit griya tawang. Tapi mengapa ada desakan aneh dalam dirinya yang menolak pemandangan itu? Mobil yang dikendarai si lelaki muda ini meluncur meninggalkan Javier yang bengong sendiri. Sial, pagi-pagi lihat ginian bikin moodku terjun bebas! Eeh tapi kutanya dulu ke satpam deh siapa nama gadis tadi. Bodoh banget sih aku nih, kenapa gak kepikiran ini dari kemarin-kemarin? Mendapatkan ide itu, membuat Javier menuju ke seorang satpam dan dia ajak ngobrol santai dengan tujuan mendapatkan nama si gadis tadi. “Ooh mbak Zefanya ya? Setahu saya cuma menyewa satu bulan sih Pak, katanya mau cari kontrakan rumah aja.” Jawab si satpam setelah dia menyelipkan dua lembar kertas berwarna pink bergambar proklamator ke tangannya. Javier tersenyum senang, demi mengetahui nama gadis itu. Jadi namanya Zefanya? Baiklah, waktuku tidak banyak kalau dia hanya menyewa satu bulan. Tapi jangan panggil aku Javier kalau gak berhasil menakklukkannya! * Siang itu, langkah Javier tegap ketika memasuki sebuah mal premium di bilangan Jakarta Pusat. Dengan setelan kasual rapi, kemeja linen off white yang jatuh sempurna di tubuh atletisnya, celana gelap yang memanjang menegaskan postur tingginya sehingga dia tampak menonjol di antara keramaian. Sorot matanya tajam, bukan sekadar dingin, melainkan ada pesona misterius yang membuat orang-orang, terutama kaum hawa, akan secara refleks menoleh sekali lagi ke arahnya, hanya untuk memastikan bahwa dirinya itu memang nyata dan kakinya menapak bumi. Siang itu dia tidak berniat berbelanja atau bertemu siapa pun, dia hanya kesal karena moodnya yang buruk akibat rasa tidak jelas karena melihat Zefanya bersama seorang lelaki muda. Sebenarnya, dia ingin mengajak ponakannya makan siang di sini, tapi kebetulan sang keponakan sedang pergi dengan direktur utama, membuatnya pergi seorang diri. Tapi pandangan Javier mendadak terhenti. Di sisi kanan atrium, kembali dia lihat Zefanya berjalan pelan sambil berbincang penuh senyum dengan lelaki muda tadi dengan posisi tetap berpelukan. Huh, macam lintah saja! Emang gak capek apa dari tadi pagi pelukan mulu. Jangan-jangan habis ngamar?! Gak malukah dia dengan jilbabnya itu? Meski dari kejauhan, Javier mampu mengenali bentuk wajah itu, garis dagu yang halus, langkah yang anggun dan penuh percaya diri, juga outfit yang elegan. Zefanya! Darah Javier seolah sesaat berhenti. Dia yakin kenal pada Zafanya, atau setidaknya tahu, tapi itu belasan tahun lalu tapi sepertinya orang yang berbeda. Kenangan samar menari-nari di benaknya, namun begitu dia mencoba menggali, semuanya malah jadi semakin kabur. Jika mereka memang saling mengenal, kenapa Zefanya seperti bersikap sama sekali tidak pernah menunjukkan tanda-tanda mengenalnya? Seolah mereka hanyalah orang asing. Mungkin saja dia salah menduga, salah mengira Zefanya sebagai tetangganya, sebagai adik kelasnya dulu. Karena memang profil itu sungguh berbeda dari gadis yang dia kira, Salma. Sepertinya Zefanya dan lelaki muda itu baru selesai makan siang. Keduanya berjalan santai dengan Zefa yang membawa satu gelas plastik es kopi kekinian. Javier menyeringai saat si lelaki muda tadi ke toilet karena berbelok ke arah kiri. Di otaknya sudah terencana sesuatu agar mereka bisa berkenalan. Langkah Javier semakin melambat ketika jarak mereka kian dekat. Lalu, kejadian itu berlangsung begitu cepat. Ada satu ibu yang berjalan tergesa-gesa dan menabrak Zefa, yang tubuhnya jadi limbung karena kaget hingga menabrak Javier yang etnah sejak kapan ada di depannya. Gelas plastik es kopi di tangan Zefanya terayun, cairan dingin kecokelatan tumpah dan mengenai kemeja off white mahal milik Javier. “Astagfirullah!” seru Zefa refleks, satu tangannya yang bebas menutup bibirnya karena kaget. Wajahnya seketika memucat, panik jelas tergambar di mata dan suaranya. Dengan tangan gemetaran dia buru-buru merogoh tas untuk mencari tisu. “Duuh, maaf, maaf banget! Saya gak sengaja. Euum Pak, saya akan ganti saja kemejanya, ya?!” Tapi anehnya, Javier tidak marah. Dia malah intens menatap Zefanya. Bibir Javier justru terangkat miring, sebuah senyum tipis muncul. Senyum yang tidak bisa ditebak maksudnya. “Tenang saja. Ini hanyalah sebuah kemeja. Aku masih punya beberapa puluh yang lain kok.” Jawab Javier. Zefanya tidak tahu saja, dari kejauhan tadi Javier sudah memerkirakan bahwa Zefa akan menabraknya dan menumpahkan kopi ke kemejanya saat melihat seorang ibu berjalan tergesa di belakang Zefanya. Tentu saja dia harus manfaatkan kesempatan ini. Suara Javier terdengar santai, namun matanya tetap menempel pada wajah Zefa, seperti ingin mengurai rahasia yang disembunyikan oleh gadis itu. Ada jeda panjang yang cukup untuk membuat Zefa semakin salah tingkah. “Haah…? Maksudnya?” tanya Zefanya dengan kening berkerut. Dia ulurkan satu pack kecil tisu yang berhasil dia temukan di tasnya. “Tisu? Untuk?” alis Javier naik tapi tak urung tetap menerima tisu itu. “Bersihin noda kopi di kemeja Bapak. Maaf, saya ganti saja kemeja itu dengan kemeja yang baru ya, Pak? Saya baru sampai di Jakarta, mungkin Bapak bisa tunjukkan kita ke gerai mana untuk beli gantinya. Bukannya saya kurang ajar tapi saya buta sekali mal ini.” Kata Zefanya, ada penyesalan terdengar di suara itu. Mata indahnya memindai sekeliling, mencari outlet kemeja yang sekira pantas sebagai ganti. Javier tetap berdiri dalam diam, membiarkan Zefa kebingungan. Ada sesuatu yang aneh dalam dirinya karena dia menikmati momen ini. Gadis yang menjaga jarak darinya tapi berprofesi sebagai pelakor, kini begitu canggung di depannya. Entah kenapa, itu justru membuat Javier semakin ingin mengenalnya. “Hei Nona, aku tidak menggigit, loh, jauh amat berdirinya,” ujarnya tiba-tiba, suaranya rendah tapi mengandung godaan yang tersamar. Kening Zefanya berkerut saat mendengar suara rendah ini, mirip dengan suara lelaki yang semalam ada di kolam renang. Diksi yang digunakan pun sama, sebutan nona untuknya, terasa asing tapi akrab. Zefa semakin bingung dengan candaan garing Javier, matanya terangkat sekilas, lalu buru-buru berpaling lagi. Sekilas pipinya merona walau samar, tapi tubuhnya tetap kaku dan menjaga jarak. “Tolong Pak, tunjukkan kepada saya gerainya karena saya asing dengan mal ini. Insya Allah akan saya ganti kemejanya.” “Heuum pantas saja, terlihat sekali kamu asing di sini,” balas Javier, senyum miringnya tidak berubah. Sorot matanya tetap tajam, namun kali ini kilatan-kilatan nakal itu semakin nyata, membuat jantung Zefa berdetak lebih cepat, bukan hanya karena takut, tapi karena dia tidak mengerti pada perasaan baru yang muncul begitu saja karena godaan Javier. Perasaan yang sudah lama tidak dia rasakan, terakhir dia rasakan letupan perasaan ini saat memakai seragam putih abu. “Saya benar-benar minta maaf,” ulang Zefa sekali lagi, menangkup tangan di depan d**a. “Sudah kubilang, tenang saja,” jawab Javier masih dengan santainya, menyeka kemejanya dengan tisu seadanya. Dia lalu menatap Zefa penuh intens, matanya yang tajam membuat Zefa gelisah dan ingin segera pergi. “Tapi kalau kamu benar-benar merasa bersalah, Nona, setidaknya beri aku nomor teleponmu.” Zefa langsung mendongak, kaget, “hah? Nomor telepon? Untuk apa?” “Yap,” Javier mengangguk seakan itu hal paling wajar di dunia, “supaya aku bisa menghubungimu kalau kemeja ini tidak bisa diselamatkan laundry langgananku. Atau kalau aku berubah pikiran dan ingin kopi pengganti. Tapi kita minum bersama,” bibirnya melengkung nakal, sebuah senyum setengah yang lebih berbahaya daripada amarah. Mata Zefa membola, seolah tidak percaya mendengar gombalan itu tapi mampu membuat hatinya berdegup cepat. “Maaf, tidak bisa. Lagipula itu hanya noda kopi. Saya bisa belikan kemeja baru, asal tidak nomor telepon.” “Kenapa, heuum?” Javier mencondongkan sedikit tubuhnya mendekati Zefa, suaranya merendah, membuatnya terdengar nyaris intim, “takut aku mengganggumu?” Zefa mengerjap agak sedikit memundurkan tubuhnya dari Javier. Wajahnya memanas walau dalam hati dia menyumpahi lelaki tampan di depannya yang sudah sangat nekat ini, “saya tidak memberi nomor telepon saya pada orang asing.” Javier mengangguk pelan, ekspresi wajahnya seperti orang yang baru saja menemukan jawaban dari sebuah teka-teki menarik. “Heuum…, orang asing, ya? Padahal aku punya firasat kita sudah saling kenal loh. Tapi malah kamu yang selalu bersikap seolah tidak pernah melihatku.” Zefa mengerutkan kening, merasa terpojok. Dia ingin menjawab, tapi lidahnya kelu. Ada sesuatu dalam tatapan pria ini yang membuatnya ingin menjauh sejauh mungkin, tapi sekaligus ada magnet aneh yang menahan langkahnya. “Terserah Bapak kalau tidak mau diganti, tapi saya sudah minta maaf dengan tulus. Sekali lagi maaf dan terima kasih,” bisik Zefanya, jelas ingin mengakhiri pertemuan ini. Dia lihat Evan tidak jauh dari tempatnya sekarang dan merasa waktu yang tepat untuk pergi. Namun sebelum kakinya sempat melangkah, suara Javier kembali menghentikan langkahnya. Suara yang kali ini lebih tenang, namun mampu mengguncangnya dengan cara berbeda. “Hei Nona, kamu tidak perlu khawatir soal nomor telepon,” ujarnya santai, memasukkan tangan ke saku celana, “karena cepat atau lambat, aku pasti akan mendapatkannya kok.” Javier menjeda sejenak, lalu menambahkan lagi dengan nada yang lebih dalam, “kita tinggal di tempat yang sama, apartemen Biru Langit, griya tawang unit XX. Bahkan semalam kita bertemu di kolam renang loh, tapi kamu kabur saat melihatku seolah aku tuh hantu penunggu kolam renang.” Mata Zefa mengerjap, otaknya coba memroses informasi yang baru saja dia dengar. Tubuhnya menegang, matanya langsung terangkat menatap Javier penuh terkejut. Darah di wajahnya seperti surut. “Hah, apa…?” Senyum Javier melebar tipis, seolah baru saja memenangkan sebuah permainan catur yang sulit, “yap. Jadi kamu tidak bisa terus menghindar. Kita akan selalu punya kesempatan bertemu lagi.” Jantung Zefa berdegup lebih cepat, bukan hanya karena ketakutan, tapi juga karena perasaan asing yang sulit ia namai. Campuran antara resah, kesal, terpojok, dan sesuatu yang samar tapi berbahaya. Sementara itu, mata tajam Javier menatap Zefa tanpa berkedip, seakan menikmati setiap detik kebingungan gadis manis berhijab itu. Bagi Javier, permainan baru saja dimulai!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD