Seminggu pertama Zefa bekerja di Aurevia Manufacturing, ternyata berjalan lebih mulus daripada yang ia bayangkan. Posisinya sebagai asisten pribadi Frederik memberinya akses langsung ke ruang kerja direktur utama sehingga dia bisa sering bertemu Fred berdua saja. Zefa juga menjalankan semua tugas dengan kecermatan dan ketelitian nyaris tanpa cela.
Bahkan dia mampu menyusun agenda rapat dengan presisi selama seminggu ke depan, termasuk memastikan setiap dokumen yang sekiranya diperlukan sudah siap sebelum diminta. Saat melihat ada jadwal Fred harus menghadiri makan siang bisnis dengan delegasi luar negeri esok lusa, Zefa segera menyiapkan profil singkat tiap tamu, lengkap dengan detail yang mungkin terlihat sepele tapi cukup penting, seperti apa saja makanan kesukaan mereka, preferensi duduk, sampai alergi yang perlu diperhatikan.
“Luar biasa,” ujar Fred jelang sore saat melepas kacamatanya, “aku tidak pernah merasa jadwalku seefisien ini. Kamu cepat belajar, Zefa. Aku puas dengan kinerjamu.” Sebuah pujian yang terasa standar walau bukan basa-basi.
“Itu memang tugas saya, Pak. Saya harus memastikan Bapak bisa fokus pada hal-hal yang lebih penting. Jangan lupa jaga kesehatan Bapak, manfaatkan waktu untuk banyak istirahat di rumah bersama istri.” Ucap Zefa sambil tersenyum sopan, suaranya sopan tanpa tendensi apapun.
Fred terkekeh kecil, semakin nyaman dengan Zefa di sisinya. Sedangkan bagi Zefa sendiri, keberhasilan itu adalah sebuah langkah maju. Target awal adalah membuat Fred ketergantungan padanya. Ia tahu bagaimana harus menempatkan dirinya, kapan menjadi cukup hangat untuk menyenangkan sang direktur utama dan kapan cukup profesional agar tidak terlihat mencari perhatian yang murahan. Semua sudah dia perhitungkan dan dilakukan secara elegan.
Yang tidak Zefanya perhitungkan adalah hadirnya sosok lelaki tampan di sore hari. Ini benar-benar luput dari perhitungannya, bahkan Amara dan Shafeeya juga tidak memerhitungkan akan hadirnya lelaki ini yang bisa menjadi batu kerikil untuk kesuksesan misi mereka.
Suatu sore, ketika langit Jakarta mulai berganti warna jingga keemasan, Zefa sudah bersiap pulang. Dia sudah merapikan meja kerjanya ketika Fred memanggilnya dan memintanya menunggu seseorang di ruangannya.
Satu sosok lelaki jangkung masuk setelah mengetuk pintu. Jas hitam terlipat rapi di lengannya. Javier Zaydan.
Zefa membeku sepersekian detik saat melihat sosok itu. Dia?
“Vier!” seru Fred senang, bangkit dari kursinya. “Akhirnya kamu sempat mampir. Kupikir kamu terlalu sibuk jadi lupa ke sini.”
Javier menyalami Fred, tapi pandangannya langsung tertuju pada Zefa. Mata tajamnya menyorot penuh tanda tanya, nyaris tidak percaya akan hadirnya sosok gadis berhijab yang sering merusak moodnya.
“Dia… kenapa ada di sini?” suaranya rendah, lebih seperti gumaman keheranan pada diri sendiri.
Zefa menunduk, menghindari tatapan tajam Javier dan berusaha tetap tenang, “selamat sore, Pak Javier, senang berkenalan dengan Bapak. Maaf Pak Fred, saya permisi pulang.” Pamit Zefa pada Frederik dan melangkah cepat keluar, melewati Javier tanpa memberi kesempatan lebih lanjut untuk sekadar bertegur sapa.
Mata Javier mengikuti langkah Zefanya hingga keluar ruangan. Javier menoleh pada Fred, “Itu yang tadi Mas bilang? Asisten baru?”
Fred mengangguk, tersenyum puas. “Iya. Akhirnya aku dapat yang sesuai. Namanya Zefa. Jujur saja, aku belum pernah merasa bekerja seefektif ini dengan asisten pribadi sebelumnya.”
Ada kebanggaan di suara Fred, tapi Javier nyaris tidak mendengarnya. Otaknya hanya berputar pada satu hal, Zefanya, si gadis berhijab yang berprofesi sebagai pelakor syariah, ternyata bekerja di Aurevia, menjadi asisten pribadi direktur utama yang juga sepupunya.
“Berhijab banget, Mas? Tumben.” Tanya Javier, suaranya terdengar biasa saja tapi mampu membuat Frederik fokus melihat ke arahnya. Sebenarnya mereka tidak sepupuan secara langsung, tapi mantan istrinya yang bersepupu dengan Javier. Urut-urutan strata di keluarga mantan istrinya sangat membingungkan.
“Iya, biar lebih aman. Lagi pula Zefanya sangat profesional dan tidak centil.”
Vier hanya manggut-manggut tapi sinaps otaknya mulai bekerja, merangkai kejadian dari bandara Soekarno Hatta hingga hari ini.
Seketika dia teringat percakapan ibu-ibu versus Zefanya saat di bandara tentang pelakor syariah dan segera saja dia punya pikiran negatif pada Zefanya, bahwa target gadis itu adalah Frederik! Semoga saja dugaannya salah, Zefanya tidak menarget Frederik untuk dia rebut dari istrinya saat ini, Nur Afiah.
Sepupunya ini berusia lima puluhan dan beristri dua! Apakah Zefanya berniat menggoda Frederik dan menjadi istri ketiganya?
Hah? Yang benar saja! Aku harus cari info tentang Zefanya selengkap mungkin. Kenapa gak jatuh cinta padaku aja sih?
*
Hari-hari berikutnya di Aurevia terasa berbeda bagi Javier. Awalnya ia hanya penasaran karena kebetulan sering bertemu Zefa di Griya Tawang. Tapi kini, setelah tahu gadis itu bekerja langsung untuk Frederik, rasa penasaran itu berubah menjadi sesuatu yang lebih rumit, campuran obsesi, curiga dan meski enggan diakui, ada daya tarik Zefanya yang sulit dia abaikan.
Beberapa kali Javier mencoba menggali informasi lewat Fred jika mereka kebetulan bertemu.
“Sudah berapa lama itu asisten pribadi Mas Fred bekerja di sini?” tanyanya santai, pura-pura tidak peduli. Padahal dia tahu betul Zefanya baru tiba di Jakarta bareng dia.
Fred hanya tertawa kecil, “belum lama, baru beberapa hari saja kok. Tapi jujur saja, aku beruntung banget bisa mendapatkannya. Zefa itu efisien, cerdas dan entah bagaimana, membuat semuanya jadi lebih ringan. Tahu gak Vier, dia selalu mengingatkanku untuk sholat dhuhur dan ashar tepat waktu. Bahkan dia atur ulang posisi rak buku di ruanganku agar ada tempat untuk sholat andai aku gak sempat ke mushalla. Sajadah dan Al Qur’an juga dia siapkan.”
Javier manggut-manggut, tapi kata-kata itu malah menambah kegelisahan Javier, semakin memerjelas bahwa Zefanya memang menarget Frederik sebagai korbannya.
Vier mencoba bertanya ke Bu Susi, si sekretaris direksi, juga staf HR. Hasilnya sama saja, informasi tentang Zefa begitu minim. Data personalnya hanya secuil, nyaris steril. Tidak ada celah untuknya bisa tahu lebih banyak.
Ini pasti ada orang dalam yang rekomendasiin tuh cewek. Mas Fred tuh orang yang perfeksionis, tidak akan mungkin sembarangan menerima staf. Pikir Javier.
Di sisi lain, Zefa sendiri sangat cerdik. Dia sangat tahu bagaimana menjaga batasan. Setiap kali Javier melontarkan pertanyaan samar, gadis itu menjawab seperlunya dengan senyum sopan yang membuat lelaki itu tidak bisa menggali info lebih lanjut. Zefanya berprinsip akan menjadi seperti kabut, bahwa dia ada dan terlihat, tapi sulit digenggam.
Hal itu justru semakin membuat Javier yakin, selain merasa frustasi bahwa ada sesuatu yang Zefa sembunyikan. Ada agenda tertentu, sesuatu yang besar melibatkan Fred.
*
Dua minggu sudah Zefanya bekerja di Aurevia. Ini malam Jum’at, dia sengaja main ke rumah Shafeeya selain bertemu mama papa Shafeeya, juga akan bercerita pada Amara apa yang telah terjadi dua minggu ini.
Setelah berbasa-basi sebentar, Shafeeya menarik Zefa ke kamarnya dan mereka melakukan panggilan video kepada Amara.
“Semoga aja dia belum tidur, magrib di Jakarta kan di Auckland jam sebelas malam tuh.” Kata Zefa sembari melipat mukena usai solat magrib.
“Belum, kan kita udah janjian kemarin. Gue yakin dia nunggu-nunggu telepon dari kita.” Jawab Shafeeya.
Setelah beberapa saat menunggu, akhirnya Amara menjawab panggilan video itu, “halo…”
“Halo… Ra. Belum tidur kan elu?” tembak Shafeeya , tidak mau basa-basi.
“Belum dong. Gue kan nunggu cerita kalian gimana. Zefa, cerita dong progressnya gimana.” Pinta Amara dan mendengarkan cerita Zefa penuh perhatian. Bagaimana pun juga, dia dan Zefa mempunyai kepentingan yang sama dalam proyek ini, menghancurkan Nur Afiah!
Di ujung sana, Amara mengangguk-angguk puas mendengar cerita Zefa. Semua berjalan sesuai dengan perkiraan mereka, kecuali, “Ra, elu ama Feeya emang lupa sama pak Javier ya? Gue takut dia bakalan jadi kerikil penggangu di proyek kita nih.”
“Astagfirullah, gue lupa banget. Emang om Vier ngapain? Ngeganggu gimana maksud elu?” Amara langsung tegakkan tubuhnya sementara Shafeeya meringis dan garuk-garuk kepalanya.
“Gak ganggu banget sih, lebih tepatnya belum. Ya seperti kerikil di sepatu, kecil tapi ganggu kaki kita buat jalan. Tapi gue takut pak Vier curiga. Dia tuh ngeliat gue berasa ngeliat bidadari nyasar ke Aurevia.” Keluh Zefanya.
“Jangan-jangan om Vier malah naksir elu, Zef,” tiba-tiba Shafeeya menarik kesimpulan aneh, membuat Zefanya menoleh ke arahnya dan Amara manggut-manggut tanda setuju.
“Bisa jadi tuh, Zef. Tapi gak boleh kejadian. Feeya, bantuin Zefa dong jangan sampai om Vier malah naksir terus ngejer Zefa, bisa gagal proyek kita!” kata Amara berapi-api, tidak rela rencana yang sudah dia susun dari bertahun-tahun lalu akan rusak begitu saja karena Vier naksir Zefa atau malah Zefa luluh pada om tampannya itu.
“Iya, iya. Ntar gue cari jalan gimana deh jauhin om ganteng gue dari Zefa.”
Zefa terdiam, dia berusaha mengingat siapa itu Javier. Sepertinya lelaki itu mengenalnya tapi bisa jadi sosok Javier termasuk dalam memori yang ingin dia lupakan dan tidak ingin diingat kembali, hanya saja… wajah tampan Javier kembali hadir menyapanya. Zefa berusaha keras untuk mengingat tapi malah kepalanya mendadak berdenyut.
“Aduuh… kepalaku,” keluh Zefa, meringis kesakitan, membuat Shafeeya dan Amara panik.
“Ra, udah dulu ya. Ini Zefa kambuh lagi sakit kepalanya, kapan-kapan kita telponan lagi deh!” belum juga Amara menjawab, Shafeeya sudah mematikan panggilan video mereka agar bisa fokus pada Zefanya.
“Zef, obat! Mana obat elu?” tanyanya, coba tidak panik tapi tetap saja panik. Zefanya menunjuk tasnya yang segera saja diobrak-abrik Shafeeya.
“Nih, buru minum.” Shafeeya berikan satu butir yang segera ditelan Zefanya. Shafeeya memijit kepala Zefanya penuh sayang. Sahabatnya ini sungguh bernasib malang sejak ibunya meninggal, membuatnya tidak tega.
“Feey, gue numpang istirahat bentar ya. Si Evan baru bisa jemput jam sembilan ntar.” Kata Zefanya sambil meringis kesakitan. Selalu seperti ini setiap kali dia memaksa otaknya untuk kembali mengingat masa lalu.
“Elu gak mau nginep di sini aja?” bujuk Shafeeya .
“Enggak, besok ada rapat penting, kan elu juga kudu hadir. Sorenya juga gue ama Evan mau langsung ke Magelang. Gue belum ketemu eyang sekalian nyekar mama nih.”
“Heuuum baiklah.”
Jam sembilan malam tepat, Evan datang menjemput Zefanya. Indriani, mamanya Shafeeya, yang sudah lama tidak bertemu Evan segera memeluknya seolah bertemu anak yang hilang bertahun-tahun lalu.
“Evaaan, ya Allah nak, udah besar kamu. Kenapa kamu gak pernah ke sini? Tante kangen kamu, Van.” Tak hentinya Indriani menciumi pipi Evan, membuat pemuda itu kebingungan sekaligus haru dan malu.
“I-iya Tante, nanti Evan bakalan sering mampir ya. Terima kasih Tante masih peduli ke Evan,” jawaban Evan malah membuat Indriani semakin menangis.
Shafeeya dan Zefa geleng-geleng kepala melihat drama yang terpampang di depan mata mereka, “Zefa permisi ya Tante. Insya Allah, kami akan sering main ke sini.” Zefa mencium punggung tangan Indriani dan kedua pipinya. Indriani seperti ibu pengganti baginya terutama sejak sang mama meninggal.
“Iya, nak, tante tunggu. Pintu rumah ini terbuka lebar untuk kalian.”
Di mobil, Zefanya sandarkan punggungnya karena merasa lelah. Dia pejamkan mata, sesekali memijit pelipisnya karena pusing yang mendera belum juga hilang. Evan melajukan mobil cukup kencang karena jalanan malam yang lengang dan lancar.
“Mbak Zefa,” suara lembut penuh perhatian Evan membuat Zefa membuka mata dan melirik ke arah kanan, “kenapa? Sakit lagi ya? Udah minum obatnya?”
“Udah mendingan kok, Van. Nothing to worry,” jawab Zefa agar Evan tidak khawatir padanya, “Van, bulan depan kita udah pindah ke rumah kontrakan ya. Bagus loh, ada tiga kamar, memang gak gede kamarnya tapi cukup lega untuk kita kok.”
“Iya, aku juga gak sabar akhirnya bisa serumah sama Mbak Zefa.” Jawab Evan dengan senyum bahagia.
Mobil sudah sampai di parkiran basemen apartemen. Evan segera memutar kap mobil dan membuka pintu untuk Zefanya. Bak seorang putri, Zefa menerima uluran tangan Evan yang membimbingnya menuju lift.
“Sampai sini aja, Van. Jangan kelayapan tapi langsung ke kosan dan tidur ya!” titah Zefanya, mencium pipi Evan kanan kiri membuat pipi Evan merona.
“Apa sih Mbak? Masih aja ciumi pipiku. Aku udah bujang loh,” tolak Evan tapi malah memeluk Zefanya dengan erat, “aku senang kita kembali ngumpul. Jangan pergi lagi ya Mbak, cukup sepuluh tahun saja kita terpisah.” Mata Evan berkaca-kaca.
“Uhuk… uhukk… Van, g-gak bisa napas inii!” pekik Zefa yang dibalas kekehan Evan.
“Love you, Mbak. Cepat tidur ya. Assalamualaikum…” Evan meninggalkan Zefa kembali ke mobilnya.
Tanpa Zefa ketahui, semua yang dilakukannya bersama Evan tadi tidak luput dari tatapan tajam seorang lelaki yang ada di mobilnya dan mengamati dalam diam.
Javier baru saja sampai parkiran basemen ketika tiga menit kemudian mobil yang membawa Zefa sampai. Dia yang penasaran karena lagi-lagi melihat Zefa diantar oleh lelaki berondong itu, memutuskan untuk menunggu.
Sayangnya pilihannya salah, karena dia malah dipertontonkan adegan mesra antara Zefa dan Evan.
*
Hari ini Zefa mengikuti rapat internal di Aurevia. Fred memintanya mengamati bu Susi yang menjadi moderator rapat sebelum dia dipercaya menggantikan peran bu Susi di rapat direksi.
Rapat direksi hari itu berlangsung lama dan cukup membosankan. Frederik duduk di kursi utama, mendengarkan laporan dari para kepala divisi. Suasana terkesan formal, penuh angka, grafik, dan presentasi strategi. Sejujurnya Zefa sudah sangat bosan dan mengantuk, tapi dia harus profesional demi tujuannya.
Dia duduk di pojokan ruangan. Zefa yang terlatih, duduk tenang dengan laptop terbuka, mencatat poin-poin penting rapat. Sekilas gadis berhijab yang selalu tampil elegan dan sopan ini, tampak hanya seperti asisten pribadi yang patuh, namun setiap gerakan matanya penuh kalkulasi presisi.
Matanya tidak pernah lepas dari sosok Fred. Sudah dua kali rapat bersama Fred, dia jadi tahu kapan pria setengah baya itu mulai tampak lelah dan bosan, dengan gestur bahu yang sedikit menurun, jemari mengetuk meja tanpa sadar, meregangkan leher yang terasa kaku dan ekspresi wajahnya menegang.
Di sisi lain, ada satu pasang mata tajam yang lekat mengawasi Zefanya tanpa gadis itu sadari.
Begitu rapat memasuki jeda untuk sholat, istirahat dan makan siang, Zefa bergerak cepat mendekati Fred. Ia mendekat ke sisi sebelah kanan Fred dengan langkah terukur, sedikit membungkuk agar hanya Fred yang mendengar.
“Pak, lebih baik hindari minuman bersoda, tidak baik untuk ginjal dan kadar gula Bapak yang tinggi. Saya sudah minta staf GA menyiapkan infused water dan cemilan ringan sebelum Bapak makan siang,” bisiknya pelan saat melihat tangan Fred akan menuangkan minuman bersoda ke gelasnya.
“Juga, makan siang sudah ada di ruangan sebelah. Bagaimana jika Bapak makan cemilan dulu agar perut tidak akan kosong? Setelah itu, bisa langsung sholat di ruangan yang sudah disiapkan GA kemudian makan siang bersama dewan direksi.” Lanjut Zefa.
“Kamu sudah siapkan sajadahnya juga?” tanya Fred, memutar tubuh ke arah Zefa yang masih membungkuk.
“Tidak hanya sajadah, tapi ruangan sebelah sudah disulap menjadi mushalla dadakan yang nyaman sekalian bisa selonjorkan kaki usai sholat, Pak.” Jawab Zefa dengan senyum tipis.
Fred menatapnya sejenak. Ada rasa kagum yang semakin sulit ia sembunyikan.
“Kamu selalu mengingat hal-hal yang bahkan tidak terpikir olehku. Mereka tidak pernah terpikir akan hal sekecil ini sebelumnya. Kami harus turun dulu ke lantai dasar, ke mushalla untuk sholat. Terima kasih, Zefa. You’re the best!”
Fred acungkan jempolnya, memberi pujian pada Zefa. Wajahnya terlihat lega, seolah beban besar berkurang hanya karena sebuah perhatian kecil. Perhatian demi perhatian dari Zefa, mungkin tampak sederhana, namun bagi Fred, ada kehangatan aneh yang tertinggal menelusup dadanya.
Sedangkan bagi Zefa, perlahan namun pasti, kukunya menancap semakin dalam pada alam bawah sadar Fred, bahwa dia tidak hanya memerhatikan pekerjaan tapi juga kesehatannya.
Dia juga memerhatikan kesehatanku. Pikir Fred yang tanpa sadar menandai momen itu.
Ia menuruti saran Zefa tanpa banyak tanya. Tapi ada satu yang dia lupa, darimana Zefa bisa tahu kalau gula darahnya tinggi?