Part 7. Fred vs Vier, Pilih Mana?

2374 Words
Hari-hari Zefa di Aurevia semakin sibuk. Fred yang sangat puas dengan hasil kerjanya, memberikan fasilitas tambahan baru untuknya, mobil khusus plus supir karena Zefa tidak mau stres di kemacetan. Juga sebuah ruang kerja kecil namun nyaman yang menempel langsung dengan ruangan Fred, menjadikannya sebagai sosok yang tidak terhindarkan di setiap agenda penting direktur utama itu. Sebenarnya, itu termasuk pada deskripsi kerjanya sebagai asisten pribadi Frederik. Bukankah fokus pekerjaannya adalah mendukung kegiatan profesional juga kegiatan personal direktur utama? Sedangkan kegiatan administratif dan profesional terkait dokumen dan perusahaan, dilakukan oleh bu Susi sebagai sekretaris direksi. Zefa juga mengingatkan Frederik soal deadline, janji temu dengan klien, menghadiri event penting, termasuk hal non-kantor seperti mendampingi direktur lain dalam pertemuan bisnis dan acara sosial pribadi, seperti menghadiri acara CSR perusahaan. Tancapan kuku Zefanya semakin dalam. Di depan Fred, semua staf tampak hormat pada Zefanya. Mereka menyapa Zefa dengan senyum ramah, menawarinya bantuan, bahkan memuji kinerjanya yang handal. “Hebat sekali, Mbak Zefa sudah menyiapkan materi rapat sangat lengkap,” ujar salah satu kepala divisi saat melewati koridor. Fred tersenyum bangga mendengarnya. Namun begitu pintu ruangan tertutup dan langkah Zefa menjauh, wajah-wajah ramah tadi berubah menjadi dingin dan culas. “Baru juga beberapa minggu sudah dapat mobil sama sopir sendiri. Curiga gue ama dia.” “Pasti ada sesuatu di balik semua ini gak sih? Tidak mungkin hanya karena profesionalitas semata.” “Label apa lagi yang pantas disematkan selain ambisius? Itu emangnya bu Nuraini gak curiga ya sama dia? Hanya karena dia berhijab terus bu Nuraini jadi abai sama suami. Sekarang kan lagi musim pelakor syariah, berkedok polesan agama tapi nyatanya merusak rumah tangga orang lain!” “Eeh, eeh.., kalian lihat gak caranya bicara ke Pak Fred? Manis bangeet bikin mual. Aku tuh gak percaya itu murni pekerjaan,” kata salah satunya, yang paling mengompori dan diamini yang lain, “jangan-jangan…” “Jangan-jangan apaan sih? Kalian ini kenapa sukanya ghibah?” tegur suara berwibawa seorang perempuan paruh baya yang mendengar bisik-bisik staf. Bu Susi, sekretaris direksi yang sudah belasan tahun bekerja mendampingi Fred. Perempuan paruh baya itu melihat lebih banyak daripada staf lain. Ketika dia mendengar bisikan sinis dari sekelompok staf, bu Susi menegakkan badan, menatap tajam pada orang-orang yang hobi bergosip. “Kalian boleh iri, tapi jangan bodoh. Tanpa Zefanya yang cermat mengatur jadwal yang sangat padat, pak Fred pasti sudah ambruk kelelahan sejak minggu lalu. Kalau kalian benar-benar peduli pada perusahaan ini, belajarlah dari kerjanya, bukan malah menggunjing. Paham?!” kata bu Susi tegas, membuat mereka terdiam dan menunduk malu. “Tapi bu Susi, mbak Zefanya baru sebulan bekerja mosok sudah dapat fasilitas mobil pribadi plus supir. Itu apa kalau gak menjilat coba?” tetap saja ada satu orang yang tidak puas dan mencari celah. “Haah, kalian ini kalau mikir pakai otak dong, janganlah otak kalian itu dikasih semua ke uda warung padang kantin,” bu Susi sangat kesal dengan tuduhan itu, “Zefanya itu kan emang bekerja sebagai asisten pribadi pak Fred. Mobilitasnya tinggi mengikuti ritme pak Fred yang memang sibuk. Kalau memang Zefa seperti yang kalian bilang, bukankah lebih baik jika dia satu mobil saja dengan pak Fred agar lebih mudah merayu?” tatapan kesal bu Susi menyapu mereka yang ada di ruangan itu. “Sudah, kembali kerja sono, jangan nggibah mulu. Nambah dosa itu.” * “Assalamualaikum, Mbak Zefanya,” sapa seseorang yang membuat Zefa mengalihkan pandangannya dari laptop ke arah si penyapa. Tapi keningnya berkerut saat melihat ada sosok Javier yang mengikuti. “Waalaikumusalam, Pak Omar. Bapak sudah ditunggu pak Fred, silakan masuk.” Zefa memandu keduanya menuju ruangan Frederik. Usai mengetuk pintu, Zefa segera masuk, “Pak Fred, ini Pak Omar sudah datang.” Sengaja dia tidak sebutkan nama Javier karena di daftar tamu memang tidak tertera nama Javier. “Sama Javier juga loh, Mbak Zefa. Tadi saya ketemu di lobi eh dia ngintil aja pas saya bilang mau ketemu Pak Fred,” kekeh Omar. Zefa mengangguk, tapi tanpa menoleh ke arah Javier, dia berikan senyum kecil, “Pak Omar ingin minum apa? Teh, kopi atau infuse water?” “Ada infuse water juga?” tanya Omar, tidak percaya sedangkan Javier mendengkus kesal merasa diabaikan. Pencitraan banget sih! Batin Javier dengan mata tajam mengawasi Zefanya. “Zefa, kenapa gak ditawari jahe madu hangat saja? Kan enak di cuaca mendung sore gini. Mau kan Mas Omar?” Tiba-tiba Fred memberikan ide. “Waah mau banget. Aku jarang minum jahe madu kecuali kalau pas ke Yogya aja kalau anak-anak ngajak nongkrong di angkringan.” Jawab Omar, antusias. Dia seumuran dengan Frederik. “Ini kantor apa warung sih? Semua jenis minuman ada.” Sindir Javier. “Mbak Zefa, itu Javier ngambek karena gak ditawari loh.” Kata Omar, menggoda Javier. Sebagai lelaki, dia paham dari gestur Javier yang ‘menaruh perhatian lebih’’ pada Zefanya. “Ah iya, maaf saya lupa tanya ke Pak Javier ingin minum apa karena tidak tertera nama Bapak di daftar tamu sore ini. Jadi Pak Vier ingin minum apa?” tanya Zefanya dibuat semanis mungkin walau dalam hati dia sungguh kesal pada lelaki tampan ini. “Gak perlu.” Jawab Javier ketus. “Baiklah kalau begitu.” Jawab Zefa dengan senyum tipis tapi dalam hatinya terus mengomeli Javier. Mata Omar memindai ruangan kantor Frederik, “sepertinya ada yang berbeda di ruangan ini ya, Fred? Terakhir aku ke sini bulan lalu kayanya gak gini deh. Apa sih yang beda? Kok jadi lebih sempit perasaan?” “Iya, itu lemari buku di pojokan sedikit dimajuin, Mas. Biar dibelakangnya bisa digelarin satu sajadah buat aku sholat. Coba lihat deh,” Frederik mengajak Omar melihat spot yang baru saja dia ceritakan. Omar berbinar melihat perubahan itu, kemudian dia baru menyadari bahwa tidak ada lagi botol-botol wine berkelas di lemari kaca besar tapi berganti foto Frederik dan istrinya yang berpose mesra. “Waw, Fred, alhamdulilah. Aku bersyukur banget akhirnya kamu berubah. Ini mbak Nuraini yang mengatur ulang?” tanyanya, masih tidak percaya. Dia tahu bahwa Frederik menyukai wine mewah dan mahal, yang berkualitas tinggi dan harus selalu tersedia di ruang kerjanya. “Bukan, Mas. Semua ini Zefa yang mengatur ulang. Zefa bilang, sengaja siapkan sajadah di situ supaya aku tidak perlu repot ke mushala ketika rapat bertumpuk.” Jawab Frederik membanggakan ide Zefa. Keheningan sejenak mengisi ruangan. Fred menatap Zefa dengan mata yang berbeda kali ini, seperti ada rasa hormat, rasa terkesan juga sentuhan emosional yang sulit dijelaskan. “Terima kasih, Zefa,” ucapnya perlahan. “Kamu benar-benar tahu apa yang kubutuhkan.” Zefa tersenyum kecil merasakan kemenangan karena di hadapan orang lain, Frederik tidak ragu memujinya secara personal. Ia tahu, kepingan-kepingan kecil perhatiannya mulai menancap lebih dalam ke alam bawah sadar pria paruh baya ini. Memang tidak berlebihan dan tidak mencolok, hanya cukup untuk membuat lelaki itu merasa dihargai dengan cara yang tidak pernah dia dapatkan sebelumnya. Setiap kali Fred memandangnya dengan tatapan kagum itu, Zefa menunduk tenang, menyembunyikan senyum tipis di bibirnya. Karena dia tahu pasti, bidaknya sedang bergerak tepat sesuai rencana. Zefa yang berdiri tidak jauh dari pintu keluar, menjawab kalem, “Pak Fred terlalu melebihkan. Sengaja memang tidak ada lagi wine di ruangan ini agar lebih sehat dan rasanya lebih pas untuk suasana kerja.” “Termasuk foto-foto itu ya, Mas? Semua Zefa yang atur?” kekaguman Fred dan Omar pada Zefa tergantikan oleh pertanyaan Javier yang sedari tadi hanya melihat dan mengawasi dari sofa, interaksi antara Zefa dan Frederik. “Iya. Kan biar aku selalu teringat pada keluarga.” Jawab Fred lagi. Huh, keluarga dari Hongkong! Itu foto hanya kalian berdua doang padahal ada darah daging yang lebih berhak ada di foto itu. Umpat Zefa dalam hati, tangannya terkepal tapi hanya sebentar saja karena dia kembali harus tampil profesional. “Wah, terima kasih atas perhatiannya pada Mas Fred, Mbak Zefanya. Anda sungguh perhatian bahkan sampai hal sekecil itu.” Kata Javier, lebih ke sarkastis dibanding ucapan tulus. “Tentu Pak Javier, karena itu bisa membuat Pak Fred bekerja lebih nyaman. Oiya, maaf, saya permisi.” Pamit Zefa, setelah adu tatap mata dengan Javier. Dia tahu kecurigaan Javier padanya semakin dalam. * Usai pertemuan, ketiga orang tadi keluar ruangan sekalian pulang karena sudah jelang magrib. Kantor sudah sepi, hanya tertinggal beberapa orang dan staf kebersihan yang mulai beberes. “Zefa, aku pulang duluan. Untuk jadwal besok, tolong kirim ke emailku.” Kata Fred saat di depan meja Zefanya. “Baik, Pak, segera saya kirim.” Jawab Zefanya yang gegas berdiri karena Omar juga pamit padanya. “Mobil kantor untukmu sedang diservis, secepatnya pulang, ini sudah jelang malam loh, gak elok anak gadis pulang malam sendirian.” Lanjut Fred lagi, membuat kening Javier berkerut karena sepupunya itu sebelumnya mana pernah peduli hal seperti itu. “Baik Pak, saya juga sudah bersiap pulang kok.” Jawab Zefa lagi dan mematikan laptopnya. “Saya juga pamit Mbak Zefa. Oiya yang betah kerja di sini apalagi bosmu itu agak rewel.” Kata Omar dijawab anggukan dan senyum kecil Zefa. “Vier, kamu gak sekalian pulang?” tanya Fred saat melihat Javier yang malah terpaku di depan meja Zefanya. “Bentar lagi Om. Oiya Zefa, berhubung mobil kantor untukmu sedang diservis bagaimana kalau kita pulang bareng saja?” tanya Javier dengan nada yang terdengar genit, membuat Frederik dan Omar sontak menoleh ke arahnya, “toh kita kan ting…” “Terima kasih banyak Pak Javier, tapi saya sudah dijemput.” Tolak Zefa, memotong ucapan Javier sebelum selesai. “Wah ide bagus itu. Vier bujang, Zefa gadis, kalian sama-sama singel tuh, gak akan ada yang marah kan kalau pulang bareng?” kali ini Omar yang bersuara. Tapi entah kenapa wajah Frederik langsung berubah keruh saat mendengar ucapan Omar walau itu memang benar. Di dalam hatinya, mendadak ada rasa tidak suka menyergap. Dia seperti tidak rela jika Zefanya dekat dengan Javier, sepupunya yang masih bujang. Tapi ekspresi wajahnya segera berubah saat Omar menariknya masuk ke lift. “Sudah, biarkan saja yang muda-muda itu.” Omar menarik tangan Frederik agar ikuti dia. Usai Frederik dan Omar tidak terlihat lagi, Javier ikuti langkah Zefanya yang menuju lift. “Kenapa lift umum? Pakai lift ini aja,” kata Javier menunjuk lift khusus direksi. Zefa menoleh ke arah Javier, “jika tidak bersama Pak Fred, saya hanyalah karyawan biasa. Jadi ini lift yang sesuai untuk saya.” Tepat saat itu pintu lift terbuka, Zefanya masuk tapi saat dia akan menekan tombol pintu menutup sosok jangkung Javier menerobos masuk dan berdiri di sebelah Zefanya. Tapi gadis itu tidak peduli kenapa Javier naik di lift karyawan. Lampu lift cukup terang, dengan hanya dua orang di dalamnya, membuat suara mesin yang berdesir pelan saat kapsul baja itu menuruni lantai demi lantai Aurevia Tower terdengar samar. Zefa dengan blouse satin warna beige sederhana, dengan pashmina dan rok lipit panjang warna navy blue, seperti biasa tampil menawan. Wajahnya tetap tenang meski matanya tampak lelah setelah seharian bekerja. Di sebelahnya, Javier menjulang dengan setelan abu-abu arang yang masih tampak rapi seolah ia tidak pernah tersentuh waktu atau kesibukan. Zefanya mendengkus pelan, membayangkan Javier hanya ongkang-angking kaki saja di ruangannya tanpa lakukan apa pun. Keheningan menyergap mereka hingga bunyi napas pun terdengar jelas. Entah kenapa Zefa merasa kali ini lift berjalan sangat lambat. Zefa berdiri di sisi kiri, menundukkan wajah dan fokus pada layar ponselnya. Namun tanpa peringatan, Javier bergeser mendekatinya. Langkahnya nyaris tanpa suara, mendekat sampai bayangan tubuhnya menutupi sebagian cahaya di wajah Zefa. Suara rendahnya terdengar, nyaris seperti bisikan yang terdengar seksi dan menggoda. “Aku tahu,” katanya, sengaja menggantung. Jari-jari Zefa berhenti mengetuk layar ponselnya. Perlahan dia mendongak, alisnya terangkat sedikit. Membatin dalam hati lelaki tampan ini apakah kerasukan sesuatu. “Tahu apa?” suara Zeva tidak kalah dingin dan datar. Sorot mata Javier tajam dan menukik. Menghujam tepat ke bola mata indah Zefa, “bahwa kamu punya agenda khusus pada mas Fred. Entah apa itu, tapi aku pasti akan segera tahu.” Suara Javier setengah mengancam, seolah satu kata saja mampu menjatuhkan mental Zefanya. Sayangnya Javier salah duga. Gadis di depannya ini tetap tenang, Zefa diam saja. Wajah manisnya tetap polos, ekspresi tak terbaca, hanya kilatan dingin di mata bulat indahnya yang berani menantang balik. Javier mendekat sedikit lagi. Bukan apa-apa, matanya malah terpaku pada bibir penuh Zefa yang lipstiknya sudah memudar, tapi mampu membangkitkan naluri primitifnya sebagai lelaki. Dia sengaja mengikis jarak di antara mereka, jadi semakin tipis dan cukup dekat hingga aroma lembut parfum Zefanya yang manis dan segar, perpaduan floral dengan vanilla, terhidu oleh Javier. Untuk sepersekian detik, pikiran Javier buyar. Tuduhan yang siap ia lontarkan berubah menjadi bayangan nakal menginginkan Zefanya ada di bawah tubuhnya. Aroma itu, begitu kontras dengan sorot dingin Zefanya, yang tidak dia sangka berani membalas tatapannya. Javier mengukung tubuh Zefa yang punggungnya menempel di dinding lift, tapi gadis itu sama sekali tidak tunjukkan rasa takut. Justru dia sengaja hembuskan napas segar karena sedang mengemut vitamin C, membuat pikiran Javier semakin berkelana. Fix, gadis berhijab di depannya ini mungkin punyai mantera yang mampu meluluhkan laki-laki hanya dengan hembusan napas saja! Rahang Javier mengeras, mencoba mengusir distraksi itu, “dengar Zefa, hentikan apa pun rencana busukmu itu,” katanya lagi, kali ini lebih pelan, lebih pribadi, hampir seperti sebuah pengakuan bahwa dia terjerat pada pesona Zefa. Zefa menarik napas dalam dan membuangnya kasar. Dia menegakkan tubuh, telunjuk kanannya mendorong d**a Javier agar ada jarak pada mereka, “saya tidak tahu apa yang Bapak maksud. Saya ke sini untuk bekerja.” Suara lembutnya bukanlah sebuah penyangkalan melainkan pengabaian. Seolah tuduhan itu tidak cukup penting untuk ditanggapi, ini tentu membuat Javier meradang. Lift berdenting, pintu terbuka ke lantai lobi yang terang benderang. Zefa melangkah keluar duluan, langkahnya mantap dan elegan seperti biasa, tapi sebelum tubuhnya sepenuhnya keluar lift, Zefa mendesis rendah pada Javier, “saya yakin Bapak pasti sudah membaca CV saya. Sayangnya saya sengaja tidak cantumkan di situ bahwa saya adalah pemegang sabuk cokelat judo tapi saya yakin mampu untuk melakukan ouchi gari untuk membanting Bapak jika bersikap kurang ajar seperti tadi. Selamat malam, Pak Javier.” Untuk sesaat Javier membeku. Entah karena kaget mendengar informasi bahwa gadis lembut itu ternyata bisa bela diri atau pun masih terpukau pada harum parfum Zefanya yang memabukkan. Dia hanya bisa menatap punggung Zefanya yang menjauh. Ada ketegangan di dadanya, gemuruh antara kecurigaan, frustrasi, kesal dan juga sesuatu yang lebih berbahaya, rasa tertarik yang kian sulit dia sangkal.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD