Bab 5 : Rapat

1746 Words
Sibayak 3 Setelah berdiskusi di bawah pohon beringin tadi, Adul, Ucok dan Andi menuju ruangan unit kegiatan mahasiswa khusus mapala, yang tepat berdampingan dengan ruangan club' basket. Cuaca yang mulai panas membuat tempat teduh yang tadi mereka duduki tersorot sinar matahari secara langsung. "Bang, anak-anak ada di markas gak?" Ucok berhenti melangkah, lalu melihat ke arah Adul dengan wajah cengo yang dibuat-buat. "Sejak kapan aku nikah, Dul? Kok udah punya anak aja." Adul yang semula fokus dengan ponselnya, menatap Ucok yang juga sedang menatapnya. "Aish, bukan anak itu yang aku maksud lah ,Bang. Tapi orang bagian Aswad, Panji." Sungut Adul dengan kekesalan yang tidak bisa ia sembunyikan lagi, Ucok hanya bisa terkekeh, ia sangat tau karakter Adul adalah orang yang paling enak untuk dijahili, karena ia akan langsung ngegas akan tetapi tidak akan bisa membalas dengan kekerasan. "Selo pak haji, bang Ucok paham itu, cuma mau buat kau ngegas aja," ucap Andi sambil menahan tawanya, bukan hanya Ucok yang senang menjahili Adul, akan tetapi hampir semua anggota MAPALA senang menjahili Adul dengan berbagai cara. Salah satunya seperti yang dilakukan oleh Ucok tadi. "Kalian seneng kali nistain adek sendiri, masuk neraka j*****m jalur prestasi baru tau rasa." Adul langsung bergegas menuju ruangan Mapala, begitu sampai di depan pintu ruangan, alangkah terkejutnya Adul melihat keadaan ruangan yang seperti baru terkena tsunami. Beberapa kawan-kawannya yang tergelatak dengan tidak elitnya, bahkan wajah Fahri sudah berada tepat di b****g Panji. Belum lagi beberapa bungkus makanan ringan yang memenuhi Tong sampai. Jangan bilang mereka di sini asyik makan-makan tanpa mengajak dirinya? Kalau iya, tega sekali memang rekan-rekannya ini. Ucok langsung memasuki ruangan dan mencoba membangunkan para perusak ini. "Woy, bangun kalian, seenak jidat kalian aja yang tidur di ruangan ini, woy!" Bukannya bangun, kelima orang itu malah hanya menatap Ucok sebentar lalu kembali tertidur. Dengan geram Ucok menghampiri Fahri, lalu menaikkan celananya ke atas sampai sebatas lutut, melihat bulu kaki Fahri yang menggiurkan untuk di cabut. "ARGHH.... ANJIR! SAKIT BANGET BANGKE, SIAPA YANG NARIK TADI?" Fahri menatap Adul dan Andi dengan aura permusuhan, ia tidak sadar dengan Ucok yang berada di sisi kirinya. "Ngaku kalian berdua!" Tuduhnya lagi. Andi dan Adul yang dituduh menjadi tersangka pencabutan bulu kaki merasa tidak terima, dengan semangat mereka mengambil lakban berwarna hitam yang ada di lemari basecamp, lalu secara tiba-tiba, Andi menempelkan lakban itu tanpa diduga Fahri sebelumnya. Dan dengan semangat Andi langsung menarik lakban tersebut, membuat beberapa buku kaki Fahri tercabut dan suara histeris fahri yang membuat semua orang yang tertidur terbangun dengan cepat. Tak jauh berbeda dengan Adul, Ucok dan Andi bahkan berjingkat kaget, Ucok sebagai ketua mapala hanya bisa bersabar, dirinya baru menyadari alasan mengapa mereka sering ditegur oleh pihak kebersihan kampus dan satpam, lihat saja kondisi basecamp mereka sudah seperti kandang sapi. Ucok segera membangunkan lima orang yang menjadi tersangka akan kekacauan ini semua. Dengan rasa bangga, Andi menunjukkan hasil panennya mencabut bulu kaki Fahri. "Aswad bangke, suara kau udah kayak toa mesjid ngumumin ada yang meninggal." Sungut Panji yang tanpa dosanya menendang Fahri yang sedang meratapi betisnya yang kehilangan bulu. Panji bangun dalam keadaan setengah sadar, melihat ke arah Ucok yang menatapnya dengan tatapan datar khas Ucok jika sudah marah. "Udah bangun, Nji? " ucap Ucok dengan nada datar. Panji menggaruk kepalanya dengan pelan sambil cengengesan. "Udah, Bang." "Kalau udah, beresin ini semua, sebelum Abang yang beresin." Panji dengan cepat mengumpulkan semua sampah yang di ruangan tanpa terkecuali, bahkan dengan tidak berperasaan, Panji menarik tas yang ada di kepala rekannya dengan cepat karena dibawah tas itu ada bungkus makanan ringan, alhasil kepala rekannya itu menghantam lantai dengan keras sampai menimbulkan bunyi dentuman yang keras. "Panci cialan. Kepala awak dijedutkan ke lantai." "Lagian tidur kayak orang mati, gak sadar-sadar," ucap Panji dengan tampang sok polosnya. Pemuda yang bernama Rahman itu hanya bisa mendengus kesal, acara tidur siangnya harus terganggu oleh b*****h Panji. Namun begitu matanya melihat ke arah Ucok, dengan cepat Rahman bangun dan membantu Panji memunguti sampah. "Kalian kalau mau tidur, yaudah tidur di sini, tapi jangan ngotorin, kita udah sering kena tegur sama pihak kebersihan dan satpam kampus, jangan sampai basecamp kita di tutup karena jorok," ucap Ucok begitu Panji dan Rahman telah kembali dari membuang sampah. Lima orang yang menjadi tersangka tadi, hanya terdiam, mereka tidak takut dengan Ucok, akan tetapi mereka menghargai dan segan dengan senior yang menjabat sebagai ketua mapala ini. "Udah, duduk semua yang bener, kita mau bahas ulang masalah pendakian seminggu lagi." Semua anggota mengambil tempatnya masing-masing, anggota yang hadir hampir semua merupakan mahasiswa adik tingkat Ucok, sebenarnya yang seangkatan dengan dirinya hanya ada satu orang, bernama anugrah, akan tetapi rekannya itu tengah fokus dengan skripsinya. Alhasil tinggallah Ucok sebagai kepala suku diantara bocil-bocil. "Kita mau nanjak Minggu depan, pas malam Minggu kalau gak ada halangan, jadi tadi udah berunding sama beberapa orang, mau ke Sibayak dan jalurnya udah ditentukan, ada jalur baru yang dibuat beberapa rekan kita sesama mapala. Nah, sekarang kita bahas dulu siapa yang membawa peralatan dan t***k-bengek nya. " "Maksdunya, Bang. Kita gak pakai jalur umum?" Tanya Rahman dengan cepat. Pasalnya yang ia ketahui hanya ada dua jalur umum, dan satu jalur yang jarang dilalui, dan sekarang? Jalur baru? Berarti ada jalur lain yang baru aja ada. "Iya, kata Andi ada jalur baru, treknya lebih menantang." Sahut Ucok. Ia juga belum mengetahui trek jalur ini. Beberapa anggota terlihat saling berbisik mengambil keputusan. Bagaimana pun, mereka tidak ingin ini menjadi pendakian terkahir dalam hidup mereka dalam artian, ada kejadian yang tidak diinginkan terjadi. "Aman gak, Bang? Gimana pun kita ini ada bawa beberapa anggota diluar mapala, terus anak baru juga ada." "Gimana, Ndi? Jelaskan aja sama mereka, soalnya kau yang tau jalur itu." Ucok memberikan Andi waktu untuk menjelaskan jalur yang akan mereka lalui. "Jadi gini we, jalur ini baru aja dibuka, dan yang lewat jalur ini masih dua kelompok, salah satunya mapala universitas sebelah. Orang bang Adian. Kemarin aku ikut kelompok Abang itu, Alhamdulilah gak ada trek yang membahayakan, semuanya aman kok, sama aja kayak trek 54 itu, cuma ini bedanya masih rimbun lah, gak ramai juga." Jelas Andi dengan nada santainya. Rahman terlihat akan menyela, tapi sudah keduluan Adul yang duduk tepat di samping Andi. "Bukan gitu, Bang. Masalah aman nya insyaallah aman. Tapi resiko-resiko nya ini apa aja? Karna kita ini juga bawa anak baru, yang pastinya ada yang belum pernah nanjak, iya kan adek-adek? Coba yang belum mendaki tangga nya naik dulu." Beberapa orang yang ada di ruangan itu menunjukkan tangannya. Adul menghitung semua itu, yang totalnya ada sekitar 7 orang yang belum pernah mendaki. "Nah, ada 7 orang ini yang masih baru, setidaknya yah kita pakai jalur umum aja, biar mereka paham, medannya juga gak terlalu berbahaya, setelahnya baru lah mendaki selanjutnya kita pakai jalur tikus ini. Gimana?" Adul memberikan saran yang disetujui beberapa anggota. "Iya juga, Ndi. Soalnya adek-adek ini masih baru, dan kita kan udah tau situasi buat jalur-jalur umum itu, kalau jalur tikus ini, ada apa-apa? Gimana, sedangkan kita aja masih baru kali ini mau mendaki pakai jalur itu," ucap Panji yang sedari tadi memilih diam. Ucok masih menampung semua saran dari rekan-rekannya. "Gini kalah, voting ulang kita, nanti jalur mana pun yang dapet voting terbanyak, berarti jalur itu yah. " Voting pun dimulai, anggota yang berjumlah belasan orang itu memberikan pilihannya dan pada jumlah akhir, jumlah voting sama atau dalam artian seri. Tinggal Ucok saja yang belum memberikan pilihannya. "Tinggal Abang, Abang lah mau milih yang mana? Jalur umum atau jalur baru?" Tanya Panji mewakili rekan-rekannya. "Kalau aku pribadi sih, yah milih jalur baru, biar ada tantangan, kalian yang anak baru gimana?" "Kami ngikut aja sih bang, yang penting gak berbahaya aja. " Sahut salah satu mahasiswa baru. "Kalau berbahaya, sebenarnya jalur mana pun tetap berbahaya dek, kalau kita gak hati-hati, tapi yah memang harus ada tantangan mendaki itu, biar seru." Sahut Andi dengan semangat. Adul masih terdiam, dia tidak bisa memberikan saran apa pun, karena dirinya tidak setuju jika melewati jalur baru itu. "Kau, Dul. Gimana?" Tanya Andi. "Aku ngikut aja lah, lagian katanya aman. Yaudah gak papa, ikut aja." "Berarti deal yah, jalur baru?" Tanya Andi lagi dengan semangat, sampai-sampai Ucok heran sendiri melihat tingkah Andi, namun ia memilih diam. "Yaudah kalau setuju, sekarang kita bahas perlengkapan, tenda kau Dul masih bagus gak?" "Masih bang," jawab Adul. "Berati tenda aduk satu, tenda aku satu, tenda kita ada tiga, berarti semua udah lima tenda, terus siapa lagi?" Ucap Ucok. "Aku ada bang," sahut Fahri yang tadinya diam meratapi bulu kakinya, kini ia angkat bicara. "Udah enam, cukup lah itu yah?" "Cukup lah, Bang. Apalagi kan tendanya bisa muat 3 orang." Ucok menulis semua yang membawa tenda. "Perlengkapan kayak gas portabel, kompor lapangan, matras tidur, nesting, pisau lipat yang sekalian sendok itu." "Kalau yang gas portabel dari mapala sendiri udah ada, kompornya juga, nesting, pisau lipat di mana? Kayaknya kemarin di lemari, tapi kok gak ada." "Semalam itu dipinjam sama anak basket, Bang." Sahut Fahri yang langsung keluar menuju ruangan UKM basket tanpa diperintah. Ucok melanjutkan mendata semua perlengkapan, sampai dengan konsumsi mereka nanti. Tak lama Fahri datang dengan membawa pisau beserta tong sampah berwarna hijau. "Tong sampah siapa yang kau bawa itu?" Fahri menunjuk ke arah sebelah. "Tong sampah anak basket lah, salah siapa ngelempar aku. " "Kau emang cocok di lempar pake tong sampah, mirip soalnya." "Anjir." Gelak tawa terdengar dari ruangan itu, hingga tak lama seorang pemuda yang memakai pakaian basket datang ke ruangan mereka. "Bang Ucok, si Aswad nyuri tong sampah kami, memang bener lah si Aswad suka banget sama rumahnya," ucap pemuda itu yang langsung mengambil tong sampah dari tangan Fahri. "Pergilah aku yah bang, tolong itu si Aswad dibelikan rumah baru, kasian aku liatnya kalau nyuri tong sampah hahahah...." "Yoi, Riz, harap maklum ajalah sama anggota Abang satu itu, udah rada-rada soalnya." "Maklum aku bang, umurnya juga gak lama lagi, jadi yah maklum aja." Fahri melotot tidak terima, ia mengacungkan pisau lipat yang ia bawa ke arah Ariz dengan cepat. "Aku bunuh kau yah, Riz. Pergi sana kau! Nyemak aja." "Lah, Aswad kok ngamok?" Pemuda yang bernama Ariz itu langsung berlari masuk ke dalam ruangan basket, sedangkan Fahri sudah duduk di tempatnya semula dengan melemparkan pisau ke tengah-tengah lingkaran. "Itu bang pisaunya." "Berati udah clear kan? Gak ada lagi masalah? Yang tadi sudah ditentukan bawaannya, harus mulai dipersiapkan dari sekarang. Biar gak heboh nanti pas berangkat." Rapat itu pun ditutup setelah menghasilkan kesepakatan bersama. Mereka melanjutkan perkumpulan dengan becanda tawa bersama.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD