Bab 6 : Adul, Panji, Fahri

2164 Words
Adul kembali ke rumahnya, rumah tempat ia dibesarkan oleh sang Ummi. Adul memiliki 3 orang adik yang di mana berjenis kelamin perempuan semuanya, ayah Adul telah lama meninggal, sejak dirinya kelas 1 SMP. Dan sejak saat itu pula kehidupan Adul berubah total, ia harus mencari uang sendiri, setidaknya untuk jajan sehari-hari, dan kebiasaan itu terjadi hingga Adul duduk di bangku perkuliahan. Begitu Adul masuk, keadaan rumah sangat sepi, karena ini pukul 5 sore, ummi dan ketiga adiknya pasti sedang berada di toko roti milik ibunya yang baru saja selesai dibangun hasil dari gaji Adul yang ia kumpulkan per bulannya. Meletakkan tas dan sepatu pada tempatnya, Adul pergi ke dapur, ia membuka tudung saji mencari makanan, namun yang ia dapatkan malah nasi putih saja. Ia mendesah lelah, ibunya tidak memasak lagi. Melihat ke arah kemari kayu yang berada dekat dengan kulkas, Adul melihat ada mie instan milik adiknya yang terakhir. Tanpa ba-bi-bu lagi, Adul langsung memasak mie tersebut. Ia menambahkan beberapa helai sawi hijau agar masih ada vitamin yang bisa ia ambil dari sawi itu. 5 menit kemudian, mie yang ia masak telah selesai, Adul duduk di depan tv, makan sambil nonton adalah kenikmatan yang haqiqi dan tidak bisa diganggu gugat. Hingga ucapan salam dari luar membuat Adul menghentikan kegiatan nya terlebih dahulu. "Assalamualaikum, loh Adul udah pulang?" Tanya sang Ummi yang terlihat membawa beberapa barang, Adul dengan sigap langsung membantu umminya membawa barang tersebut. "Udah, Ummi. Adul juga lagi makan," jawab Adul. "Kau makan pakai mie instan lagi?" Teriak umminya secara tiba-tiba. Adul saja sampai berjengit kaget. "Iyalah, Ummi. Adul mau makan pakai apalagi kalau gak pakai mie?" "Kan ummi udah masak ayam kecap, kok yah masak mie aja?" Mata Adul membola mendengarkan ucapan umminya, masak ayam kecap? Yang Adul lihat mau cuma botol kecap, bukan ayamnya. Ia membuka tudung saji sekali lagi, mana tau dirinya salah lihat tadi, namun yang ia dapat justru tetap sama dengan yang tadi. "Ummi yakin masak ayam kecap?" "Yah, yakin lah, orang ummi yang masak." Sungut umminya dari dalam kamar yang kebetulan dekat dengan letak dapur dan meja makan. Adul menghela nafas, sepertinya umminya sedang ngelindur kali ya. "Ummi, coba lihat dulu deh, gak ada ayam kecap, yang ada di Malika kedelai hitam yang saya tanam sendiri." Sahut Adul dengan menirukan slogan iklan di tv. "Kamu ini, cari itu pakai mata, bukan pakai mulut. Tadi itu Ummi masak ayah kec-....ap." Suara ummi Adul semakin pelan saat ia melihat secara langsung di atas meja, atau lebih tepatnya di dalam tudung saji hanya ada nasi putih, dan botol kecap. "INI SIAPA YANG NGABISIN AYAM UMMI?" Teriak umminya membuat tiga dara cantik jelita berlarian memasuki rumah. "Ummi, ummi kenapa? Ummi," ucap adik Adul yang paling besar sembari membolak-balikkan tubuh umminya, berbeda dengan dua adik yang lain, yang terlihat santai bahkan si bungsu asyik memakan mie instan buatan Adul. "Heh, itu mie Abang jangan dimakan," seru Adul dengan cepat menarik mangkok mienya, ummi yang melihat kedua anaknya meributkan sesuatu di luar dari ayam kecap, langsung menarik mie yang ada di tangan Adul. "Ngaku kalian! Kalau gak, gak akan ada uang jajan." Ancam sang Ummi. Adul yang merasa tidak bersalah memilih duduk diam, memperhatikan ketiga adiknya yang sedang diintrogasi. "Itu Abang kalian capek pulang kuliah, bentar lagi mau berangkat kerja,mau makan lauk udah habis, kemana semua ayam sebanyak itu?" "Ummi, tadi pas adek makan masih ada kok." Si bungsu langsung angkat bicara. "Aku juga gak, Ummi." Seru adik kedua Aji dengan keras, hanya ada satu orang lagi yang menjadi tersangka. "Kamu kan Dila?" Tuduh umminya langsung, bahkan semua tatapan mata yang ada di meja makan itu mengarah ke gadis yang memakai baju tunik berwarna cream. Bukannya menyangkal seperti kedua adiknya, Dila malah dengan singkat menjawab tuduhan umminya. "Bukan." Setelah mengucapkan itu, Dila meninggalkan meja makan, Adul yang sudah biasa melihatnya hanya diam, lalu menarik kembali mangkok mienya. "Udah lah, Ummi. Adul gak papa. Lagian ini udah makan, kan? Pake sayur kok. Jadi sehat," ucap Adul membuat umminya menghela nafas. "Jadi kamu yang mendaki itu?" Tanya ummi Adul setelah duduk di kursi sebelah Adul. "Jadi, Ummi. Seminggu lagi, Sabtu berangkat." "Kok ummi gak tenang kau pergi yah, Dul? Kayak gak enak gitu, gak usah ikut aja yah?" Adul meletakkan sendok nya setelah memakan suapan terakhir dari mienya. Ia menatap ke arah sang Ummi dengan tatapan lembut. "Ummi mah setiap Adul mau nanjak pasti gini mulu, buktinya Adul baik-baik aja kan, Ummi? Lagian sama bang Ucok, kok. Aman itu." "Yang kali ini beda loh, Dul. Payah kali dibilangin anak satu ini." "Adul gak papa, Ummi. Ummi sekarang istirahat, mandi dulu, terus sholat magrib, Adul mau siap-siap, jam 6 masuk kerja. " Adul meninggalkan meja makan menuju kamarnya, bukan apa-apa, semakin ia membahas perihal kegiatan nya mendaki nanti, semakin menjadi pula kekhawatiran umminya. Adul keluar dengan membawa handuk dan pakaian gantinya, ia melihat sang Ummi yang masih saja terduduk di kursi meja makan. "Ummi, Adul gak papa, insyaallah. Ummi jangan khawatir begini." Adul memberikan kecupan di pipi kanan umminya. "Perasaan ummi gak enak, kau gak usah ikut yah? Kan gak papa sih, nanti ummi yang ngomong sama Ucok." "Iya, Ummi. Tapi Adul udah kepalang janji mau ikut, lagian jarang-jarang Adul ikut, Kan? " Ummi Adul menghela nafas. Ia tidak membatasi anaknya untuk melakukan hobby, akan tetapi untuk kali ini, ia tidak tenang melepas kepergian anaknya. "Hhhhh... Ya udahlah, ummi juga gak bisa ngelarang kau yang degil, keras kepala." "Hahaha.. yah gak gitu juga, tapi kan Adul udah janji, Adul mandi dulu deh," ucap Adul lalu masuk ke dalam kamar mandi. Di lain tempat, Fahri dan Panji yang merupakan kawan satu kost, sedang berdiskusi masalah tugas yang sudah mendekati deadline. Panji yang memangku laptop bersiap mengetik semua yang diucapkan Fahri. "Kurikulum pendidikan merupakan acuan program pendidikan yang diberikan oleh lembaga kementrian pendidikan kepada tenaga pendidik." Panji dengan jarinya yang bergerak lincah menekan tombol keyboard. "Tapi kenapa kurikulum harus berganti setiap ganti menteri?" "Yah mana aku tau lah, Lek," ucap Panji yang menatap aneh ke arah Fahri, Fahri sendiri yang sedari tadi membaca artikel melihat ke arah Panji dengan pandangan gemas bercampur takjub. "Aku bukan nanya sama kau, Dodol. Tapi itu buat isi makalah kita. " Sahut Fahri. Panji hanya ber oh ria. Yah mana dia tau, kalau itu isi makalah mereka, yang penting ia menjawab pertanyaan Fahri. "Menurut kau, Lek. Kenapa sistem pendidikan itu berganti terus menerus?" Tanya Fahri masih dengan membaca artikel yang menjadi referensi makalah mereka. Namun setelah menunggu beberapa menit, tak ada jawaban sama sekali dari Panji. "Udah ini, terus apa lagi sambungannya?" Sahut Panji. "Maksdunya apa?" "Kan ini baru sampe kenapa sistem pendidikan itu ganti terus? " Ujar Panji dengan cepat, Fahri hanya bisa menepuk jidatnya pelan. "Itu aku nanya ke kau, Panci. Kok gak ngerti-ngeti juga kaunya, pengen aku tepok biar gak jadi orang." "Ngomong lah Aswad, lagian kau nanya antara isi makalah sama nanya ke aku gak pake tanda yang jelas. " Sungut Panji yang kesal karena disalahkan. Fahri hanya bisa menghela nafas lelah, biarlah, suka-suka Panji saja. Semerdeka anak Wak Regar. Lelah hayati. "Kau udah ijin, Lek. Sama mamak kau?" Tanya Panji setelah menutup laptop-nya dan berhenti mengerjakan tugasnya. Fahri yang mendengar pertanyaan itu, menyenderkan tubuhnya ke dinding. "Belum, gak berani aku. Kau tau lah mamak aku itu Boru Jawa rasa Batak. Kalau kata bapak aku Jawa dengan kearifan lokal Batak. " Panji tertawa kuat, menyetujui ucapan dari Fahri, ia pernah bertemu sekali dengan ibu dari sahabatnya itu, dan alangkah terkejutnya ia, begitu menyadari bahwa mamak Fahri tidak sekalem cewek suku Jawa kebanyakan. Suara ibu Fahri bahkan bisa terdengar sampai di depan gang. "Hahaha... Setuju sih aku kalau itu, yah gak papa lah, Lek. Dari pada kayak aku, gak ngerasain yang namanya diomelin emak," balas Panji dengan nada sendu. Ibunya telah meninggal dunia ketika melahirkan dirinya, dan sang ayah sudah menikah lagi hidup bahagia di kota yang sama dengannya menuntut ilmu sekarang, meskipun begitu, Panji hanya sekali tinggal di sana, itupun saat ia mendaftar kuliah dulu. Fahri tersenyum menguatkan. "Alah, Lek. Setiap manusia itu punya cobaannya masing-masing, mamak aku yah mamak kau juga, Kan? Jangan gitulah, sama-sama anak perantauan kita ini." "Yah gak gitu, bukan gak bersyukur, cuma yah... Hidup sendiri itu gak enak, makanya aku lebih seneng di kampus, dari pada pulang pas libur." Fahri hanya menatap prihatin, ia tidak bisa mengatakan apa pun kepada Panji, bukan berarti ayahnya tidak sayang, hanya saja pasti rasanya sangat berbeda jika ayah kita itu sudah memiliki keluarga baru. Terlebih sudah ada anak baru. "Dah lah, sok sedih muncung kau ku tengok. Bagus kau lanjutkan tugas kita, besok udah dikumpulkan, gawat kita nanti. Kau tau lah si nenek gimana. " "Akh, kau perusak suasana. Dah sana ijin dulu kau yang mau nanjak itu, takutnya ada apa-apa, kan gawat." Fahri hanya bisa berdecih jijik, melihat postur tubuh Panji yang bisa dibilang macho, harus menye-menye seperti ini. Ada yang lebih lucu lagi di antara mereka semua, yang memiliki doi hanya dirinya sendiri, sehingga kalau dia bucin sedikit saja. Maka akan jadi bahan Bullyan teman-temannya. Terkadang Fahri heran sendiri, apakah teman-temannya ini 'belok' semua? Seperti ucok, bisa dibilang ganteng, tinggi, pintar, tegas. Tapi sampai sekarang, tidak pernah terlihat punya pasangan. Tapi, yasudah lah, toh itu pilihan mereka masing-masing. Fahri bangkit dari duduknya menuju ke kursi tepat di depan kost. Ia mengambil ponselnya dan menghubungi kedua orang tuanya di kampung. "Halo, assalamualaikum." Sahut suara nyaring di seberang sana. Fahri menggosok telinganya sejenak, astaga. Di mana ayahnya dulu menemukan ibunya? "Waalaikumsalam, Mak ini Fahri." "Udah tau mamak, gak usah kau kasih tau lagi." Fahri tercengang, kenapa ibunya sangat menyebalkan sekali, untung dirinya sayang. "Iya, Fahri cuma mau bilang, libur ini gak pulang," ucap Fahri pelan. Ia bersiap mendengarkan teriakan itu lagi. "Gak usah balek juga gak papa, sekalian bawa baju kau ini semua ke Medan sana. " Kan, apa yang Fahri ucapkan itu benar. Ibunya sangat tega. "Yah gak gitu juga konsepnya, Mamak. Aku kan balek libur sekali lagi aja, libur ini mau sama kawan-kawan dulu, yah yah?" "Mau kemana emang kau? " "Mau nanjak aku, naik-naik gunung." "Halah, gayamu naik gunung, di sini diajak ikut nyadap sama bapak gak mau gerak kau, yang alasannya capek lah, gak bisa lah, jauh lah. Muncungmu itu banyak kali alasannya." Fahri terkekeh pelan, iya sih, dirinya tidak pernah mau ikut ke gunung untuk nyadap bersama ayahnya, bukan apa-apa, dirinya sama sekali tidak bisa nyadap pohon karet, yang ada rusak semua pohonnya, tidak keluar getah. "Kau tau Fahri, apa yang paling banyak di muka bumi ini?" "Hah? Apa tuh Mak?" Tanya Fahri penasaran. "Yang paling banyak itu, alasanmu. Banyak kali." Suara tawa Fahri langsung menggelegar, ibunya kenapa begini banget sih sama anak sendiri? "Owalah mak Mak. Gak beres lagi aku liat mamak, dah tidur lah mamak sana, mumpung belum magrib." "Karna belum magrib itu lah jangan dulu tidur, nanti lewat magribnya. Kau kalau mau nanjak, gak papa. Tapi hati-hati, jaga kesehatan, jangan aneh-aneh tingkahnya di hutan sana, gimana pun kita hidup berdampingan dengan makhluk lain, jangan saling mengganggu, paham kau kan Nak? " Kalau ibunya sudah mengucapkan kata Nak. Maka pada saat itu ibunya sedang serius. "Iya, Mak. Insyaallah gak ganggu," sahut Fahri tak kalah serius dengan ibunya. "Yah mau gimana dia ganggu kau Fahri, kau kan kawannya makhluk halus." Sontak ucapan sang ibu mengundang gelak tawa Panji yang berada di dalam kamar, kebetulan Fahri me louspeaker kan telponnya. "Mamak kejam kali, nyesek ginjal Fahri." "Bukannya ginjal kau udah gak ada? Baru kau jual kemarin kan? Buat beli Indomie." "Ya Allah, Mamak. Kok kejam kali, aku ini anak mamak loh Mak," ucap Fahri dengan nada yang mendramatis, Panji semakin terbahak-bahak, bahkan sampai keluar dari dalam kamarnya. "Anjir, ya Allah. Sakit perut aku Mak denger mamak ngomong gitu ke Fahri," ucap Panji dengan tawa yang belum reda, jangan heran mengapa Panji memanggil ibu Fahri dengan sebutan mamak, bukannya Tante atau panggilan lainnya, karena sedari awal ia satu kost dengan Fahri pun dirinya sudah dianggap anak oleh kedua orang tua Fahri. "Si Panji itu? Mana, mamak mau ngomong sama dia dulu." Fahri memberikan ponselnya ke arah Panji yang langsung diterima oleh Panji. "Halo, Mak. Assalamualaikum." "Waalaikumsalam, sehat kau nak?" "Alhamdulillah sehat, Mak. Mamak gimana? Sehat kan?" Fahri hanya bisa mengelus dadanya sabar, lihat lah pilih kasih ibunya ini, bagaimana mungkin anak setampan dirinya harus menerima tindakan tidak adil seperti ini? "Alhamdulillah, sehat, Panji udah makan? Kalau belum makan, ajak Fahri yah, dia juga belum makan itu, mamak tau, soalnya suara dia tadi bercampur sama suara cacing kremi." "Alah Mak, bilang aja mamak khawatir sama Fahri." Sahut Fahri santai. "Yah khawatir lah, kau kan anak mamak, Panji juga, udah makan dulu kalian, tugasnya nanti dilanjut lagi, mamak mau mandi dulu, kalau mau mendaki, hati-hati yah, inget ada mamak yang nunggu di rumah." Panji dan Fahri secara serempak mengucapkan kata iya, lalu tak lama sambungan ponselnya terputus. Fahri mengajak Panji untuk keluar mencari makan, mumpung diberi kesehatan sama tuhan, sudah sepantasnya ia menjaga karunia itu. Sehat itu mahal.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD