Bab 7 : H-1

1748 Words
Saat ini suasana di kampus Ucok sangat penuh dengan mahasiswa yang memakai pakaian hitam putih, entah itu gamis, kemeja, maupun rok dan celana bahan. Bahkan mereka sudah seperti ibu-ibu kondangan terlebih lagi mahasiswi di fakultas Adul, Panji, dan Fahri. "Selamat datang di lautan hitam putih." Teriak Fahri secara tiba-tiba, begitu ia memasuki basecamp mapala. Semua orang yang ada di basecamp mapala tersentak kaget, bahkan ada yang langsung melemparkan sapu ke arah Fahri. "Aswad paok." Bukannya merasa bersalah, Fahri malah cengegesan, dan tanpa dosanya malah duduk tepat di samping Andi yang sedang menghafal materi karena ia akan ujian secara lisan. Dengan kejahilan yang berada di tingkat dewa. Fahri dengan usil memeluk lengan Andi. "Bang Andi, lagi menghapal apa?" ucap Fahri dengan nada yang sedikit di lembut-lembutkan. Andi semula fokus dengan buku catatannya, langsung bergidik ngeri dan menghempaskan tangan Fahri kuat. "Awww... Apa yang kamu lakukan itu jahad, tau." "Cukup Roma! Saya tidak peduli lagi denganmu." Balas Andi secara tiba-tiba, suasana terasa lebih seru sekarang, bahkan beberapa anggota terlihat merekam aksi Fahri dan Andi. "Kenapa engkau tega, Zainuddin. Hayati sangat lelah dengan tingkahmu yang semena-mena." "Sudahlah Voldemort. Jangan banyak bacot lagi, mulut anda sangat lah bau." Sontak Fahri langsung menghirup bau mulutnya sendiri, lalu menatap Andi dengan Kandangan takut. "Emang mulut aku bau, Ndi?" "Iya, bau naga." Suara tawa langsung menggelegar di dalam ruangan basecamp. Bahkan beberapa mahasiswa yang kebetulan lewat di depan basecamp mereka sedikit melirik ke arah basecamp tersebut. Fahri yang tadinya tertawa, tiba-tiba langsung berubah menjadi panik. Bahkan sangking paniknya ia sampai lupa cara mengikat tali sepatu yang baik dan benar. "Aswad, kenapa kau?" Tanya Panji yang tidak sadar kenapa dengan Fahri. "Panci, kalau aku bilang, mending sekarang kau pake sepatu kau, Nji." "Kenapa, sih?" Panji menatap Fahri yang sudah bersiap pergi, bahkan dalam hitungan detik, Fahri sudah berlari kocar-kacir menuju gedung fakultas mereka. "PANJI!!! TERLAMBAT WOY!" Begitu mendengar teriakan Fahri, ia langsung melirik jam yang ada di tangannya, sontak ia langsung terkejut, begitu melihat bahwa dirinya sudah sangat terlambat, dengan cepat ia mengikat tali sepatu, lalu berlari dengan jurus seribu bayangan. Ucok hanya geleng kepala melihat tingkah adik tingkatnya itu, dengan santai ia pamit ke arah rekan-rekannya, ia akan mengikuti satu mata kuliah yang tersisa, dan setelah itu, ia tidak akan mengikuti mata kuliah apa pun, karna fokus dengan skripsinya yang hampir selesai. "Abang pergi dulu, nanti pintu basecamp ditutup." "Iya, Bang. " Sahut salah satu anggota yang tengah bersantai. Ucok pergi ke gedung fakultasnya, sebelum ke gedung fakultasnya, ia akan melewati gedung tempat para istri Sholehah berada, fakultas agama Islam. Di sana terlihat ada banyak mahasiswi yang mengenakan gamis putih dan jilbab hitam. Ucok hanya berjalan dengan cepat, bukannya apa-apa. Ia risih melihat tatapan beberapa orang yang melihatnya dengan aneh. Sesampainya ia di depan fakultasnya, ia melihat beberapa rekan sekelasnya yang juga masih memiliki satu mata kuliah yang belum selesai. "Abang, Ab. Gimana? Lancar skripsinya?" Sapa Salah satu pemuda yang merupakan teman sekelasnya, akan tetapi memiliki usia dibawahnya sagu tahun. "Alhamdulillah lancar lah, tinggal bab 3 dulu, baru seminar proposal. " "Alhamdulillah, denger-denger katanya mau nanjak, Bang?" Ucok mengangguk. "Iya, insyaallah, setelah ujian ini, Sabtu berangkat. Mau ikut?" "Gak lah, Bang. Mamak gak bolehkan, mau nurut sama emak aja sesekali, hahahah..." "Hahahah... Iyalah, kalau mau ikut ke basecamp aja, kayak biasanya," ucap Ucok. Pasalnya beberapa kawan sekelasnya memang bukan anak mapala, tapi mereka sering pergi nanjak bergabung dengan kelompoknya. Ucok masuk ke dalam kelas yang hanya berisi lima orang di dalamnya. "Bang masih ada matkul ternyata. Awak pikir udah gak ada matkul." "Satu lagi, Har. Siap ini udah selesai dah." "Mudah-mudahan cepet selesai yah, Bang." "Aamiin." ****** Setelah selama 4 hari ujian, hari ini merupakan hari terakhir mahasiswa ujian, Ucok yang sudah tidak ujian lagi, memutuskan untuk mengecek persiapan mendaki besok. "Kompor nya gimana? Aman?" Salah satu dari anggota yang berada di basecamp itu berdiri lalu mengecek ke arah perlengkapan. "Aman, Bang. Semua ada kok." Ucok mengangguk paham. "Konsumsi gimana? Aman?" "Aman, Bang. Udah tinggal berangkat aja kita." "Good job lah, biar gak lapar kali di sana kan." "Yoi, Bang. " Ucok bangkit dari duduknya, menuju ke arah peralatan dan perlengkapan pendakian. Ia melihat tenda masih kurang satu lagi, kemungkinan Adul yang belum membawanya. "Bang, ini tenda Panji. "Ucok langsung melihat ke arah pintu masuk basecamp. "Masuk aja, Nji. Ngapain depan pintu?" "Mau ke rumah bapak dulu, Bang. Udah disuruh." Ucok menghampiri Panji yang berada di depan basecamp. "Gak ikut emang kau? Atau gimana?" "Iya, Bang. Aku susulan juga, Bang. Kemarin kan telat." Hari pertama ujian kemarin, Fahri lebih dulu datang masuk kelas, kebetulan dosen pengawas belum masuk, namun sialnya, begitu Panji sampai, dosen pengawas telah duduk dan sudah membagikan soal beserta lembar jawaban ke rekan-rekannya, Al hasil, ia harus mengikuti ujian susulan sesuai dengan jadwal yang diberikan oleh universitas. "Jadi, mau ke tempat bapakmu, kau?" Tanya Ucok sembari menerima tenda dari Panji. "Iya, Bang. Di kost sendirian juga gak mungkin, sesekali lah ke sana, udah lama juga gak ke tempat bapak. " "Yakin mau ke sana? Kalau gak, berangkat nanjaknya di undur, kau ujian susulan itu hari Senin, Kan? Biar Senin sore aja berangkatnya," usul Ucok berharap Panji akan tetap bisa ikut dalam pendakian kali ini, karna Ucok tau, bagaimana tidak nyamannya Panji jika bertemu dengan keluarga tirinya. Meskipun Panji disambut dengan baik, bukan berarti Panji merasa ia merupakan bagian inti dari keluarga itu. "Gak lah, Bang. Kasian temen-temen kalau ditunda. Lain kali nanti aku bakal ikut, yaudah, aku berangkat pulang ke kost dulu, yah bang. Semoga selamat sampai tujuan lah orang Abang, balek juga lengkap." "Aamiin, makasih yah, Nji. Pinjem tendanya dulu. Sehat-sehat lah kau yah," ucap Ucok. "Iya bang, pergi dulu yah bang, assalamualaikum." "Waalaikumsalam." Ucok masuk ke dalam lalu meletakkan tenda tersebut di tempat peralatan berada. "Bang, Panji gak bisa ikut?" Ucok memilih duduk terlebih dahulu. "Enggak, dia susulan kemarin telat, mau ke tempat bapaknya juga." Setelahnya keadaan basecamp hening, Ucok dengan laptopnya, dan anggota lain yang memilih tidur, kebanyakan dari mahasiswa lain akan memilih merayakan kebebasan setelah ujian selesai ke cafe untuk makan-makan, maka anak-anak mapala memilih tidur di dalam ruangan yang sudah Ucok desain dengan menggunakan matras berbusa agar nyaman untuk tidur. Terkecuali Adul, saat ini bocah satu itu tengah berada di cafe sebrang kampus, tempat kelasnya merayakan hari libur. Maklum saja, Adul anak sultan. "Meri teri ikan teri ikan sarden ikan tongkol.... Tuna koi, cupang lele jumbo..." Nyanyian sumbang itu terdengar nyaring semakin dekat dengan basecamp, tanpa melihat orangnya pun, Ucok dan anggota lainnya sudah tau, itu suara seperti petasan Betawi milih siapa. "Tumpa seaeeee... Yunus kuraeeee, tumtun na Jane kiya, abse rejane.... Abtum merajumm jainab solehe, kiya Karo jahe.. kuci kuci hotahe..." "Aswad, berisik!" Sentak Andi yang kebetulan datang bersama dengan Fahri. Ia terlihat sangat kesal dan masuk ke dalam basecamp tanpa mengucap salam. "Alangkah baiknya ketika kita memasuki ruangan basecamp tercinta, dengan mengucapkan salam." Sindir Fahri yang masih setia berdiri di depan pintu. Andi dengan sabar kembali berdiri, lalu keluar dari ruangan, dan masuk dengan mengucapkan salam "Assalamualaikum.." ucap Andi dengan nada penuh penghayatan, lalu kembali masuk dan berbaring di samping anggota lain. "Nah gitu dong. Biar gak nampak kali yang setan itu. Assalamualaikum, ya ahli kubur." Fahri langsung masuk bahkan sengaja menyenggol Ucok yang sedang serius menonton film avangers. "Waalaikumsalam ya ahli neraka jalur beasiswa." Fahri hanya melongo melihat kekompakan rekan-rekannya semua, bahkan Ucok yang biasanya akan menjawab dengan benar salamnya, malah ikut-ikutan ngeledek. "Kejam kalian, sampai hati kepadaku." "Halah, bacot kali anak Wak Regar ini." Ucok hanya bisa menggelengkan kepalanya pelan, tidak ada Fahri makan basecamp sepi, akan tetapi, kalau ada Fahri, maka emosi tidak terkendali. Definisi nyebelin tapi ngangenin. "Bang, udah aman belum besok kita berangkat, si Panji kayaknya gak bisa ikut kan yah?" "Aman semua, tinggal berangkat aja, Panji tadi Dateng ngantarkan tenda." "Kasian kadang aku liat dia, Bang. Tau sendiri kalau di rumah bapaknya udah ngerasa orang asing yang bertamu dia." Ucok menghentikan filmnya. "Mamak tirinya baik kan yah? Kenapa ngerasa asing?" "Gimana yah bang, namanya sedari kecil dia diurusi sama bibiknya, terus bapaknya nikah lagi tanpa minta ijin dia, sebaik apa pun mamak tirinya yah namanya gak pernah hidup serumah, pasti asing. Apalagi kan bapaknya juga udah punya anak tiri. Tambah asing lah." "Kau pernah ikut nginap kan yah? Di rumahnya?" Fahri mengangguk. "Pernah, Bang. Tapi di kampung, di rumah bibinya, bukan rumah bapaknya, kalau gak salah terakhir Panji ke rumah bapaknya pas daftar kuliah 2 tahun lalu." "Udah lama tapi, RI." Sahut Ucok yang terkejut, ia pikir Panji pernah mengunjungi ayahnya sebulan sekali gitu, ternyata sejauh itu jarak antara ayah dan anak. "Iya, Bang. Bapaknya kalau anak dia sama bini barunya udah pulang sekolah, lupa sama Panji bang, lebih condong lah ke anak barunya, kalau Panji mah yah kayak dibiarin." "Pantes sih, kalau Panji ngerasa asing gitu, kalau aku jadi dia juga gak bakal mau tinggal di rumah yang anggap kita tamu, bukan keluarga." Andi ikut menimpali pembahasan Ucok dengan Fahri. Rata-rata anak mapala tau permasalahan Panji yang tidak terlalu dekat dengan ayah kandungnya, akan tetapi cuma Fahri yang tau dengan detail semua itu. "Kalau udah tau begitu, sayangi Panji, anggap dia saudara, kita di sini bukan cuma buat mendaki, ngecamp. Tapi buat bangun keluarga, saudara." Semua anggota mengangguk, setiap anggota akan terbuka dengan permasalahan nya, seperti Adul yang harus membiayai kuliahnya sendiri, Ucok yang harus menekan rasa traumanya kehilangan sang adik dipendakian demi kegiatan yang ia pimpin. Andi yang memilih kost dari pada tinggal dengan saudara ayahnya, dan masih banyak lagi permasalahan yang tidak bisa dijabarkan. "Besok ngumpul di sini, jam 8 pagi udah pada ngumpul yah, biar gak sore kali kita sampai sana. " "Iya, Bang. Mudah-mudahan besok lancar lah. Sesekali mau rekreasi aku, Bang. Stres lihat soal-soal." "Makanya, jangan mau jurusan akuntansi, mumet." Ejek Andi dengan tawa geli. "Halah, gini-gini calon sultan kami, Bang." "Sultan apaan? Ngitungin duit orang, gak nampak pula itu." "Ejek terus jurusan kami, udah kami tutup semua bank itu baru tau rasa." Andi tertawa ngakak. "Dah gila ku rasa anak Wak Kodir ini, bank kalau di tutup, yang ada kau kena penjarakan. Kecuali kau menteri keuangan, presiden. Baru bisa." Sontak seluruh orang yang ada di ruangan itu tergelak lucu. Beginilah kondisi mapala yang sesungguhnya, tidak seperti ekspetasi kebanyakan orang yang mengatakan anak-anak mapala gondrong, kebanyakan akan menjadi mahasiswa abadi, dengan kata lain tidak lulus tepat waktu. Padahal itu amatlah salah, bagi mereka mendaki memang hobby, tapi jangan sampai melupakan pendidikan dan tujuan orang tua menguliahkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD