Adul berhenti sejenak di atas bebatuan sungai, yang diikuti oleh Andi, yang juga ikut berhenti melangkah. Mereka berdua sama-sama kelelahan, dengan terpaksa tadi harus meminum air sungai yang masih lumayan keruh. Karena air yang mereka punya sudah habis ketika menyiram Ucok tadi.
Mengingat perihal Ucok, mata Adul terasa memanas, hingga tanpa ia sadari, setetes demi setetes air mata muncul dari matanya, Andi tidak melihat itu, karena ia asyik melihat ke penjuru sungai.
"Ndi, lanjut kita?"
Andi melihat ke arah Adul. "Lanjut pun jadi, kau yakin kita selamat?" lirih tanya Andi dengan lirih, entah mengapa rasa pesimis hadir di hatinya, melihat bagaimana Ucok meregang nyawa, seolah melihat kematiannya sendiri.
"Insyaallah pulang, kalau Tuhan ngijinkan kita pulang."
Tanpa banyak kata, Adul segera berdiri dari duduknya dan berjalan kembali melewati Aru derasnya sungai. Beberapa kali mereka harus terpontang-panting ketika tanpa sengaja menginjak batu yang licin, ataupun tidak sanggup menahan arus nya sungai. Dengan tubuh yang sudah lemah, mereka mencoba melarikan diri dari hutan yang penuh bahaya itu.
"Ndi, masih ngeluarin darah lukamu?"
Andi melihat luka koyak di betisnya yang lumayan dalam. Masih tampak darah segar mengalir dari luka itu, namun Andi tidak memperdulikan sakitnya, yang ia ingin saat ini hanya pulang bersama dengan Adul.
"Masih berdarah, tapi gak papa. Lanjut aja, gak terlalu sakit kok."
"Kalau sakit banget bilang, Ndi. Biar gak infeksi, kita gak bawa peralatan itu pula."
Andi mengangguk, saat ini Anggi berada di depan Adul, ia yang harus memilih bebatuan yang bisa menjadi pijakan agar tidak tergelincir dan terbawa arus sungai.
Keadaan sungai yang baru saja banjir, membuat Andi dan Adul harus ekstra hati-hati, belum lagi kayu-kayu yang runcing, yang bisa saja melukai kaki mereka, seperti betis Andi contohnya.
Namun semakin ke bawa, arus itu tidak lagi terlalu kuat, mereka sudah lebih dari sejam yang menyusuri sungai, dan sama sekali tidak menemukan jalanan setapak yang kemarin mereka lewati.
Andi semakin lelah, ia merasakan badannya sangat capek karena harus berjalan sejauh ini tanpa perlengkapan yang memadai, ditambah dengan luka yang terus mengeluarkan darah.
"Dul, sakit kali kakiku."
"Mau berhenti gak?" Tanya Adul kepada Andi, tanpa banyak kata rekannya itu mengangguk, lalu mencari bebatuan yang bisa mereka jadikan tempat duduk. Badan yang basah kuyup ditambah dengan cuaca malam pegunungan yang sangat dingin, membuat tubuh mereka terasa beku. Tangan Adul sendiri sudah keriput kedinginan. Mereka harus segara mencari jalanan itu, sebelum mati kedinginan di sungai.
Adul berdiri kemudian menghampiri Andi yang juga tengah kedinginan sama dengannya. Melihat luka Andi yang masih saja mengeluarkan darah segar.
"Ndi, lukamu gimana?"
Andi menggeleng tidak tau, dengan cepat Adul merobek kausnya dan mengikat luka itu dengan cepat. Setelah selesai, Adul membopong tubuh Andi dengan sisa-sisa tenaganya.
Hingga secara tiba-tiba, angin bertiup sangat kencang dari hulu sungai. Andi secara spontan langsung menggigil kedinginan.
"Dul, kok dingin kali yah?"
Adul tak menjawab, pemuda itu tetap membawa Andi menyusuri sungai ini. "Dul, kau gak kedinginan?"
"Ndi, diem."
Andi langsung menutup mulutnya begitu mendengar ucapan tegas bernada perintah dari Adul.
Hingga secara mengejutkan, tiba-tiba suara tawa yang kemarin pernah mereka dengar kembali lagi ada, seperti mengejar mereka.
"HAHAHAHAH.... HAHAHAH.... HAHAHAHA..."
Suara tawa yang saling bersahut-sahutan dan seolah sedang berada di belakang mereka, Andi surah meringkuk ketakutan di samping Adul.
"Ndi, jangan lihat kebelakang."
Andi mengangguk, ia berusaha tidak melihat ke belakang, tepat asal suara itu datang. Adul terus berjalan, sedangkan suara tawa itu terusan saja menggelegar dan semakin lama semakin kuat.
"HAHAHAHA... HAHAHA... HAHAHA."
"Dul, serem kali, kau tau gak itu ketawa siapa?"
"Entahlah, Ndi. Kita fokus cari jalan aja. Aku ngerasa ketawa itu gak baik buat kita."
Adul merasa, tawa ini yang membuat mereka tersesat, jadi mereka menghindari lebih baik, dari pada harus kembali lagi ke lokasi yang membuat mereka trauma.
Adul menunduk begitu melewati batu yang amat besar berada tepat di kirinya, batu itu membentuk Curug, atau air pancuran. Ia melewati itu dengan sangat pelan dan hati-hati, tanpa melihat ke kirinya. Seseorang tengah duduk di sana, seperti sedang memantau mereka dengan intens.
Begitu melewati Curug itu, Adul mengangkat pandangannya. Dan itu semua dilihat oleh Andi yang merasa heran.
"Dul, kenapa tadi kau?"
Adul menggeleng dengan lemah, jujur saja, saat ini tubuhnya sangat lelah, dan tidak bisa di ajak kompromi lagi, rasanya ia ingin pingsan.
"Dul, kenapa?"
"Haus aku, Ndi. Munir air sungai ini gak papa, kan yah?"
Andi mengangguk, Adul langsung meminum air sungai yang sedikit keruh ini, namun bisa menghilangkan haus nya, dan sedikit menambah tenaganya tidak selemas tadi.
"Masih jauh gak yah, Dul. Rasanya aku gak kuat lagi, kakiku juga nyut-nyutan, sakit buat jalan."
"Entah, Ndi. Aku juga gak tau, mau istirahat aja?"
Andi menggeleng dengan cepat, yang bener saja mereka harus istirahat, ditengah suara tawa yang menggelegar mengerikan. "Apa gak capek dia yah, Dul. Ketawa terus, malah kita cuekin lagi ."
Adul terkekeh geli mendengar celetukan Andi. "Biar aja, Ndi. Nantikan capek sendiri."
Andi hanya menggeleng, ia menatap ke depan, aliran sungai yang terlibat lebih tenang dari yang di atas.
"Udah gak terlalu deras air nya, Dul. Gampang kayaknya lewat kita."
"Gak deras bukan berarti aman, kebanyakan yang tenang gini yang bahaya, lagian emang kita tau itu sedalam apa?"
"Iya juga, dan lah, ayo kita lihat."
Aduk menghentikan kaki Andi yang ingin berenang. "Biar aku aja, kau tunggu di sini, kalau dalam kau bisa berenang kan?"
"Bisa, Dul."
Adul langsung menceburkan dirinya ke arah Ari yang tenang itu, dan benar saja tebakannya, air ini sangat dalam, bahkan kakinya tidak bisa menggapai dasarnya.
"Ndi, dalam banget, yakin bisa?"
Andi mengangguk. "Bisa lah. Anak desa gak bisa berenang, mati aja ." Setelah mengucapkan itu, Andi langsung menceburkan diri, dan mengikuti Adul yang sudah terlebih dulu berenang, menahan sakit di betisnya, Andi berhasil melewati kedalaman itu.
"Alhamdulillah, bisa juga nya kau, aku pikir enggak."
Andi menggeplak kepala Adul pelan. "Kau anggap remeh aku yah, korodul."
Aduk terkekeh sejenak, lalu duduk di atas pasir-pasir sungai dengan pandangan sendu, mengingat panggilan ini, Adul jadi mengingat sosok Ucok yang sudah tidak berada di sampingnya. Sosok yang selalu ceria, tegas, dan bisa mengayomi, kini sudah memilki kehidupan yang lain.
Air mata Adul menetes tanpa di perintah, ia menyesal tidak bisa menolong Ucok sama sekali dari orang-orang yang membuat seniornya begitu, apa salah Ucok? Sampai mereka dengan tega, membuat pemuda itu meregang nyawa.
Sama halnya dengan Adul, Andi duduk dengan tatapan menuju aliran hilir sungai, baru kemarin ia bercanda bersama Ucok, namun secara tiba-tiba, hari ini Ucok sudah tidak ada lagi di samping nya. Bagaimana caranya memberitahukan berita ini kepada sanak saudara Ucok, mereka baru saja kehilangan seorang putra di kaki gunung telat dua tahun lalu, tak lama berselang, anak laki-laki tertuanya juga ikut menyusul dengan kematian yang hampir sama, sama-sama berada di pegunungan.
"Ndi, lapar Abang. Kau lapar gak?" Tanya Ucok yang saat itu tengah berada di kos-kosan Andi.
"Lapar, Bang. Tapi nanti ajalah makannya, sekalian makan malam."
"Astagfirullahal adzim. Anak siapa nya kau? Bisa-bisanya nahan lapar."
Andi terkekeh singkat. "Namanya anak kost, Bang. Harus ngirit lah, kalau kata pepatah nya, ikat perut."
"Yah, gak gitu juga lah, Dodol. Itu namanya cari penyakit, dah lah, aku yang bayarin, kita beli di ayam penyet 8 ribu aja,tapi beli ayamnya aja. Nasinya kita masak? Kan lumayan, 10 ribu dapet dua. Hahahahah...."
Andi dan Ucok tertawa keras, andi langsung memasak nasi di magic com, sedangkan Ucok berjalan pergi menggunakan motornya untuk membeli ayam penyet yang di maksud.
Sekitar 10 menit kemudian, Ucok datang dengan menenteng 2 plastik. Andi jelas saja kaget, apalagi melihat plastik itu terisi penuh dengan berbagai makanan.
"Lah, bang Ucok. Sejak kapan ayam penyet berganti jadi bakso bakar?"
Ucok tertawa sebentar. "Tadi aku ketemu si Adul, pas dia tanya mau beli apa? Aku jawab aja mau beli makan buat kita dua. Nah si Adul nanya lagi, kok beli ayam aja? Abang jawab lagi lah kan, ngirit kata Andi ikat perut. Eh, si Korodul malah pesankan banyak, dia nyuruh Abang tunggu, terus pergi ke tempat bakso bakar, ayam geprek. Kayak gini jadinya," jelas Ucok panjang kali lebar.
"Baik juga anak ummi itu, kan? "
"Adul kapan jahat? Mana pernah, orang dia difitnah sama kawan sekelasnya juga diem aja, malah aku yang datangin kawannya itu. Orangnya gak tegaan. "
Andi mengangguk setuju, kawan bay yang satu itu memang memiliki sifat yang dikategorikan sangat baik, bahkan hampir menjadi bodoh. Ya kali, ketika kita difitnah oleh rekan kerja, sampai membuat kita dalam masalah besar, Adul malah diem aja, dan gak ngelakuin apa pun, malah Ucok dan Dhani yang waktu itu masih semester 6 melabrak teman Adul.
"Sebenarnya sifat kayak gitu ada plus dan minusnya, plusnya itu kita banyak pahala, banyak kawan, tapi minusnya, sering ditindas lawan, dan ngerugikan diri sendiri. Bagus kayak Abang, kan? Bar-bar aja semua, jangan takut. "
"Kalau Abang mah bukan bar-bar lagi namanya, tapi anarkis."
Keduanya tertawa dengan keras, mengisi keheningan malam saat itu. Andi tersenyum miris, kenangan tentang Ucok tidak akan bisa ia lupakan, sampai kapan pun. Ia, Adul dan Fahri yang menjadi saksi bagaimana seniornya itu bangkit setelah kejadian sang adik. Namun begitu bisa bangkit, nyatanya ia juga mengalami hal yang sama dengan sang adik.
Andi dan Adul secara bersamaan mengusap matanya pelan, menghilangkan jejak air mata, yang malah akan membuat mereka down satu sama lain.
"Lanjut kita yah, Ndi. Biar cepat pulang."
Andi mengangguk, suara tawa yang terus bergema, sama sekali tidak mereka hiraukan. Setidaknya jika mereka tiada, mereka sudah berada dekat dengan bantuan dan rekan-rekannya yang lain.