Bab 3 : Trauma Ucok

2076 Words
*Membaca Al-Qur'an lebih utama* Adzan Dzuhur berkumandang, Ucok dan Adul sepakat ke mesjid kampus yang terletak tepat di depan gedung perpustakaan, sedangkan Ulfa yang sedang dalam keadaan datang bulan, stay di perpustakaan dan lanjut mengerjakan tugas. "Bang, menurut Abang, perlu gak sholat itu?" Tanya Adul ketika mereka sedang berada di tangga mesjid. "Perlu, tapi nanti dulu diskusinya, udah adzan ini, ambil wudhu dulu." Adul terkekeh geli, iya juga, sudah masuk waktunya sholat. "Okelah, nanti kita diskusinya, bang." Sekitar 10 menit kemudian, Ucok keluar dari dalam mesjid, ia mencari keberadaan Adul yang tidak nampak batang hidungnya. "Woy, Bang. Udah tobat nya kau?" Ucok mendengus melihat kehadiran si Hajar Aswad yang juga tengah memakai sepatunya di tangga mesjid. "Udah jadi ketemu sama dosen pembimbing, Bang?" "Nanti jam 2," jawab Ucok, ia melihat penampilan Fahri yang terlihat sangat berbeda dari yang ia temui tadi. "Mau kemana kau, RI?" "Biasalah, Bang. Main dulu sama adek." Jawab Fahri dengan wajah yang disongong-songongkan. Ucok hanya bisa terkekeh pelan, apalah daya nya yang sama sekali tidak memiliki tambatan hati. "Iyalah, suka kau aja yang bucin itu, asal gak kau ajak aja cewek kau nanti kita nanjak, repot ." "Akh, gak bang. Lagian gak bakal mau cewek aku nanjak-nanjak gunung gitu. " Ucok hanya mengangguk, memang mereka sepakat, ketika sedang mendaki tidak ada yang membawa pacar atau temen dekat lainnya, karena akan membuat anggota itu terfokus ke pacarnya masing-masing. "Woy, Bang. Udah sama si Aswad aja Abang di sini." "Muncung kau Aswad. Kok bisa di sini anak Dajjal? Udah tobat?" Adul yang dipanggil anak Dajjal merasa tidak terima, dengan semangat yang menggebu-gebu, dia menarik jenggot Fahri yang sedikit itu dengan kuat, alhasil Fahri kesakitan dan meminta tolong dengan Ucok. "Bang, tolong dulu bang. Udah gilanya si Adul ini." "Dah Dul, jangan kayak anak kecil." Adul langsung menghentikan aksinya dan duduk di sebelah Ucok, baginya Ucok adalah Abang yang merangkap sebagai sosok ayah dalam dunia pendakian, sosok yang memimpin dengan baik, bertanggung jawab terhadap anggota, dan memiliki planning yang tepat. "Dul, gak jadi nanya?" Tanya Ucok setelah beberapa saat terdiam dan fokus dengan mengikat tali sepatunya. Adul langsung melihat ke arah Ucok sambil mengangguk. "Jadilah, Bang. Tapi nanti aja, aku ada masuk setelah ini, ibu nenek." "Hahaha... Masuk juga itu sama kalian, Dul?" Seru Fahri di sebelah Adul. "Masuk lah bang, si nenek kok gak masuk, yah mustahil." Ucok hanya terdiam, dia tidak paham dengan dosen yang dimaksud oleh adik tingkatnya ini. Pasalnya ia adalah anak ekonomi, sedangkan dua orang yang sedang tertawa itu sama-sama berapa di pendidikan agama Islam. "Enak nya ibu itu, Dul. Cuma yah gitu, udah tua jadi tukang ngambek." "Hahaha.... Ya itu, kemarin dia ngambek karena pas dihitung absen kami berlebih," ucap Adul dengan nada geli. Fahri ikut terkekeh, ia tidak bisa membayangkan jika dosen yang mereka panggil nenek itu tahu jika ada yang menitip absen. "Terus, gimana?" "Yah kan si nenek suka ngitung tuh, dia mungkin pakar matematika, ngitungnya cepet amat, terus di jalan dihitung dah tuh semua anggota, pas dilihat tanda tangan absen, eh berlebih, udah gitu gak ada yang ngaku pula. " "Gak ngaku gimana?" Tanya Ucok pelan. Di kelasnya juga sering ada mahasiswa yang menitip absen, bahkan ia pernah sekali dan untungnya tidak ketahuan, karena rata-rata dosen di kampusnya ini akan tahu dengan sendirinya tanpa melihat absen. "Yah gak ada yang ngaku itu siapa yang nandatangani absen, akhirnya keluar dah tuh si nenek. Dan tau gak?" Fahri dan Ucok kompak menggeleng menjawab pertanyaan Adul, bagaimana mereka bisa tau kalau adul tidak menjelaskan nya. "Ck, kenapa kompak geleng kepala?" "Yah, gak mungkin kami ngangguk tapi gak tau apa yang mau kau omongin." "Heheh... Setelah nenek keluar, si Ulfa ngamuk, relator kami juga ikut ngamuk. Dan tetep aja gak ada yang mau ngaku sama sekali, setelah di selidiki ternyata tuh kelompok-kelompok seleb kelas lah yang nitip absen tuh." "Lah, orang Rani?" Adul mengangguk. "Mampus mereka dimarahi Ulfa, baru kali itu lihat dia ngamuk." "Kuliah yang benar-benar aja, gak usah titip-titipan absen, gak guna, dosen juga pasti tau itu siapa yang nitip absen. Apalagi dosen senior." "Iya, Bang. Makanya itu horor kalau dosen senior masuk, ya kan Aswad?" Plak! "Gak rela aku kalo kau yang manggil aku Aswad...." Omel Fahri setelah memberikan geplakan di kepala Adul. "Tapi iya, Bang. Kalau dosen senior itu matanya ada 10 kali yah? Tau aja mahasiswa lagi ngapain, apalagi kelas Adul tuh, dosen senior semua masuk, bahkan dekan yah Dul." "Bukan mata 10, tapi mereka kan pasti udah lama lah menghadapai mahasiswa, yah pasti tau karakter-karakter mahasiswa nya." Ucok melihat jam tangannya. "Akh, udah dulu sesi diskusinya bersama Ucok teguh yah adek-adek. Abang mau bimbingan skripsi dulu, kalau bimbingan pranikah nanti aja, setelah ketemu kakakmu. Eakkk..." "Halah, kambeng bang. Gayamu." "Assalamualaikum," pamit Ucok dan berlalu dari dua temannya itu. "Tau juga dia ngucap salam yah, Dul." "Kau pikir dia kayak kau? Doa makan aja gak hapal. Yang hapal cuma doa mandi wajib, itupun kalau hapal." "Bangcat kamu, Dul. Tau aja, hahahah...." Mereka tertawa terbahak-bahak, tanpa mereka sadari sedang berada di mana sekarang. "Amboy, tawa kalian ngalahin toa mesjid itu." Adul langsung melihat ke arah pemuda yang memakai kemeja berwarna hitam, celana hitam, dan juga sepatu hitam. Astaga, ini orang mau melayat atau gimana? Gelap banget. " mau ngelayat di mana?" Pemuda yang bernama Andi itu hanya mendengus kesal, sudah berapa orang yang menanyainya seperti ini, memang apa salahnya dengan style yang ia pakai hari ini? Toh terlihat lebih macho gitu. "Baru ngelayat di pesisir, Dul. Banyak yang mesti di layati," ucap Andi sekenanya. "Siapa, Ndi?" "Ikan asin." Jawab Andi lagi. "Anjir, ngada-ngadi Abang ini, mau ngapain kau ? Sholat juga? Kupikir belum tobat kau," Adul hanya terkekeh mendengar celotehan Fahri yang membuat Andi sangat kesal itu. "Aswad banyak bacot sekarang yah, jadi pengen aku masukkan ke gilingan daging bakso." "a***y, sadis sekali anda wahai bapak Andi." "Kita itu sekarang harus sadis sama orang, kalau gak mau disadis kan duluan...," sahut Andi dengan menepuk dadanya pertanda bangga. "Contoh abangmu ini, sebelum dipijak orang, orangnya udah Abang pihak duluan." Lanjut Andi dengan sombong. Adul dengan Fahri hanya mengangguk, menyetujui apa yang diucapkan oleh Andi. "Iya, Bang. Suka kau lah, aku sama si Adul mau pergi dulu, semoga segera ketemu hidayah yah bang, sholat yang khusyuk, sekalian minta jodoh." Andi hanya bisa beristighfar setelah kedua rekan j*****m nya itu pergi dari pelataran mesjid kampus, sebenarnya mereka satu angkatan, hanya saja umurnya sudah memasuki 23 tahun, ia gap year selama 2 tahun. Berbeda dengan rekan-rekannya yang lain, Ucok sudah berada di depan ruangan dosen pembimbingnya, dengan sabar ia menunggu sambil sesekali melihat ke arah draft skripsis bab 1-2 yang sudah ia print. Ada sekitar 3 mahasiswa yang juga menunggu dosen pembimbing seperti dirinya, namun berbeda dosen. Tak lama, ponsel Ucok berdering dengan keras, membuat beberapa mahasiswa yang berada di sekelilingnya itu terkejut. Ucok hanya bisa meringis pelan, astaga, dering ponselnya ini pasti kerjaan si Fahri Aswad yang menggantinya saat ia di kantin tadi. Di ponselnya tertera nomor sang ibu, dengan cepat Ucok langsung mengangkat panggilan ibunya. "Assalamualaikum, Mak. Kenapa?" "Waalaikumsalam, jadinya kau pulang kan nak, libur ini?" Tanya sang ibu di seberang sana. Ucok terdiam sejenak, ia teringat akan melakukan pendakian libur semester, 2 Minggu lagi. "Kayaknya gak, Mak. Mau mendaki Ucok sama kawan-kawan." Sahut Ucok dengan pelan. Tidak ada sahutan ibunya, hanya ada suara para keponakan Ucok yang mungkin sedang berada di rumah orang tuanya. "Mak, oh Mak." "Kenapa lah baru menanjak lagi kau Ucok, bagus pulang sini, rindu mamak." Sahut ibunya yang terdengar sangat memilukan bagi Ucok. Namun ia sudah kepalang janji dengan anggotanya, tidak mungkin ia tidak ikut, bagaimana dengan anggotanya nanti. "Ucok udah kepalang janji sama anggota ,Mak. Nanti selesai nanjak Ucok pulang yah, Mak. Insyaallah." "Yaudah, yang penting baek-baek aja kau di sana yah, Ucok. Jangan aneh-aneh, sebelum nanjak, banyak berdoa," ucap ibu Ucok yang terdengar pasrah akan keputusan sang putra, ia tidak akan bisa membatasi sang anak dari hobbynya itu, padahal kalau boleh jujur. Ibunya Ucok sedikit trauma dengan yang namanya pendakian. Dan Ucok paham itu. "Mak, insyaallah Ucok bakal baik-baik aja, Mak. Ajal itu kan di tangan Allah, kalau memang Ucok bakal mati di pendakian yah bakal mati dipendakian Mak. Jangan inget-inget adek lagi, adek udah tenang, doain Ucok yah Mak." Ada rasa teriris di hati Ucok ketika membahas sang adik yang harus takluk di kaki gunung, ketika mendaki. Adiknya tergelincir ke dasar jurang curam, tepat setelah adiknya mengirimkan sebuah fotonya lewat pesan w******p, setelahnya sang adik hilang tanpa kabar selama 3 hari. Lalu ditemukan dalam keadaan tidak bernyawa. Ucok trauma? Sudah jelas trauma, tapi ia tidak ingin membatasi diri dengan terus mengingat-ingat hal yang memang sudah menjadi takdir tuhan, saat itu adiknya merupakan mahasiswa baru di salah satu universitas ternama di Jawa dan ikut kelompok pendakian menuju gunung Piramid. Di Bondowoso, Jawa timur. Dirinya masih semester 5, dan juga sedang berada di pendakian gunung kerinci, begitu dirinya sampai di kost, langsung masuk beberapa pesan yang membuat jiwa Ucok bergetar kesakitan. Masih tidak percaya dengan kabar duka itu, Ucok langsung mengambil tiket pesawat dan menuju Jawa timur untuk mencari langsung keberadaan adiknya. Hingga 3 hari pasca dikabarkan menghilang, sang adik sudah berada di dasar jurang dengan tubuh yang penuh lebam. Ucok sendiri yang membawa pulang jenazah adiknya, pada saat itu, ia di dampingi Andi yang memilki family di Bondowoso. Isak tangis dan teriakan histeris menyambut kedatangan Ucok, bahkan ibunya sampai tidak sadarkan diri selama beberapa jam. Mengingat itu, tanpa sadar air mata Ucok mengalir, ia masih terbayang akan kata-kata sang adik, yang merasa gak papa jika ia mati di jalur pendakian, Karena mendaki itu hobby yang memang dia pilih, dan siap menerima resiko. "Setiap kegiatan pasti punya resiko, Bang. Kayak Abang yang suka mendaki, adek pun suka. Jadi seumpama mati di jalur pendakian pun gak papa, itu udah resiko dan juga takdir." Ucok mengambil ponselnya yang masih menyala. "Mak, udah dulu yah, insyaallah pulang Ucok setelah pendakian, mamak doain yah Mak." "Iya, Nak. Mamak doain, sehat terus kau di sana yah, jangan sakit-sakit, mamak tutup dulu yah, assalamualaikum." "Waalaikumsalam, Mak." Ucok memandangi layar ponsel yang menampilkan wallpaper nya gambar dirinya dan juga sang adik. Ketika mereka sama-sama sedang mendaki gunung Sibayak untuk pertama kalinya, mungkin pendakian yang akan ia lakukan libur semester ini, merupakan pendakian terakhir dirinya, setelah ini ia tidak ingin lagi mendaki. Ia akan ke tempat di mana untuk pertama kalinya ia menaklukkan gunung Sibayak bersama sang adik. "Yang tenang yah, Dek. Insyaallah mamak, bapak, kakak. Yang Abang jaga." Ucok menghapus air matanya pelan, lalu kembali menatap wajah sang adik yang tersenyum lebar menatap layar kamera. "Heh, Ucok. Kenapa nangis? Karna ibu lama?" Ucok langsung tersentak kaget, begitu mendengar suara dosen pembimbing yang sudah berdiri tepat di hadapannya. "Iya, lama kali ini datang, sampai nangis Ucok." "Hahaha.. cengeng juga ternyata ketua MAPALA," ucap dopen tersebut sembari memasuki ruangannya. "Masuk lah kau, Cok. Jangan nangis aja," "Namanya manusia, Bu. Pasti pernah nangis lah." Dosen itu terkekeh pelan, ia mengambil pulpen merah dari dalam tas nya, pulpen keramat yang akan mencoret-coret lembar skripsinya. "Kenapa nangis?" Tanya dosen yang bernama lengkap Rahmawati tersebut. "Biasa, Bu. Anak perantauan." Ucok melihat dosennya mencoret beberapa kata. "Gimana lah kau? Anak cowok kok nangis karna kangen orang rumah, harus kuat lah, lagian kalau udah nikah pasti pisah juga kau sama orang tua, Kan? Atau mau satu rumah juga? Ibu yakin bini kau gak akan mau. " "Yah harus mau lah, Bu. Namanya bini harus ikut suami." Sahut Ucok dengan nada jenaka. Dosen tersebut menatap Ucok dari kaca matanya. "Heh, kau pikir enak tinggal di rumah mertua? Sesayang apa pun mertua itu, yang namanya bini tetep saja gak nyaman, gak bebas. Jadi, kau sebelum nikahi anak orang, buat dulu rumah mu sendiri." "Hahaha... Iya, Bu. Tenang aja, 10 tingkat rumah aku nanti." Ibu Rahmawati hanya terkekeh geli, ia mengaminkan ucapan Ucok. Ucok merasa sangat beruntung bisa mendapatkan dosen pembimbing yang friendly, di saat kebanyakan mahasiswa suka mengeluh dosen pembimbing nya yang sangat galak, otoriter dan juga sangat sulit di temui. " Ini kau banyak kali pemborosan kata, coba nanti sedikit di ubah yah, untuk keseluruhan udah mantap markotop lah, bisa lah kau ini lanjut bab 3, semangat Ucok. Jangan patah semangat, ibu tau kau lagi mikirin adek kau, intinya ingat aja, kematian itu punya Allah, dan tugas kita itu mempersiapkan amal untuk menghadap Kematian, jadi jangan sedih lagi, banggakan orang tuamu lewat gelar sarjana. " "Insyaallah, Bu. Doain Ucok berhasil."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD