Keadaan hujan telah reda, hanya tersisa rintikan dari dedaunan yang basah akibat hujan. Adul sudah tertidur dalam posisi tengkurap, sedangkan Andi juga sudah merebahkan dirinya tepat di samping Adul, berbeda dari kedua rekannya, Ucok sedang melamun, sambil menatap air sungai yang masih dalam keadaan banjir, meskipun tidak sebesar tadi.
Setelah kejadian ini, entah mengapa ia hanya kepikiran untuk membawa kedua rekannya pulang, meskipun dirinya tidak bisa kembali ke keluarga. Bagaimana pun, sedikit tidaknya, ia yang telah menciptakan kondisi rumit ini, ia yang telah keras kepala untuk tetap memasuki kawasan hutan lebat yang sepertinya tidak pernah dijamah manusia.
Ucok menatap Adul dan Andi yang tertidur, tadinya ia pesimis kedua sahabatnya berhasil selamat dari banjir mendadak itu, nyatanya mereka bertiga dalam keadaan yang sama-sama mencari satu sama lain.
"Ucok, dalam pertemanan itu terkadang ada cekcok dan kadang ada masalah yang tanpa kita sadari berawal dari kita sendiri, jalan satu-satunya adalah menyadari kesalahan dan meminta maaf, meskipun ada yang lebih salah dari kita."
Ucok teringat akan pesan Abang sepupunya yang juga anak pendiam seperti dirinya. Belum lagi. Ketika ia teringat akan adiknya yang juga mengalami hal sama dengan dirinya. Apakah dirinya akan sama seperti adiknya juga?
Tewas di kaki gunung Piramid, lalu dirinya di hutan Sibayak? Sebuah konspirasi tuhan yang sangat kebetulan, bukan?
Masih segar di ingatan Ucok bagaimana hancurnya ia begitu mendapati adiknya tidak ditemukan dan dinyatakan hilang, dengan panik dirinya dan Adul berangkat ke sana, guna mendapatkan informasi yang lebih jelas. Ia ikut dalam pencarian selama beberapa hari, hingga hari ke 3, jasad adeknya telah ditemukan di dasar jurang dalam posisi di antara pepohonan, Ucok yang memangku adik nya sendiri ketika hendak pulang, melihat wajah yang biasanya tersenyum jahil terbujur kaku dan membiru, lengkap dengan lebam dan luka koyakan di sekitar pelipis, lengan dan juga betis.
Mengingat bagaimana girangnya sang adik saat memberitahukan kepadanya akan mendaki gunung Piramid bersama teman-temannya, dan bertanya ini itu untuk mempersiapkan diri, padahal Ucok tau, sang adik bahkan lebih sering mendaki dibandingkan dirinya, Ucok hanya menjawab seadaanya saat itu. Bahkan terkesan cuek. Satu hal yang Ucok sesali adalah, sehari sebelum mendaki, sang adik mengajaknya melakukan video call, bukannya mengiyakan, Ucok malah menolak dengan alasan sedang bersama rekan-rekannya. Kalau Ucok tau itu menjadi yang terakhir kali, ia tidak akan menolak, dan bahkan tidak akan mematikan sambungan video call itu. Namun kini, itu semua hanya sebuah penyesalan yang ada di relung hati Ucok.
Oleh karena itu, untuk kali ini ia tidak ingin semua terulang lagi, kehilangan sahabat seperti Adul dan Andi akan sangat menyakitkan, lebih baik ia saja yang tidak selamat, biar kedua rekannya yang bisa pulang dan berkumpul dengan keluarganya.
Ucok mengusap ujung matanya yang berair, setiap mengingat adiknya, hatinya masih terasa sangat sakit, meski kejadian itu sudah dua tahun yang lalu.
"Bang Ucok, gak tidur?" Andi yang terbangun, terkejut melihat Ucok yang masih terjaga dan melihat ke arah luar yang sudah mulai gelap.
"Belum ngantuk, Ndi," sahut Ucok dengan suara yang serak, sehabis menangis. Andi ingin bertanya lebih lanjut, namun ia merasa mungkin itu privasi Ucok, dan tidak ingin dibagi dengan siapapun.
"Tidur aja, Bang. Mumpung lagi enaknya tidur ini suasananya."
"Gimana bisa tidur, Ndi. Kepikiran besok apa yang bakal kita lakuin? Besok kita gimana? Bisa pulang apa gak?"
Andi langsung terdiam, ia ikut terduduk dan memandang kondisi diluar sana, air sungai masih dalam keadaan banjir, dan juga suara rintikan hujan yang tersisa di dedaunan yang menemani mereka.
"Sebenarnya kalau diinget itu, bang. Aku pun gak bisa tidur, cuma yah, kudu tidur, biar besok ada tenaga, gak mungkin kita disini terus kan, Bang?"
Ucok mengangguk membenarkan, tidak mungkin mereka akan tetap berada di hutan ini. "Jadi gimana? Rencana besok mau kagak mana?"
"Rencana besok mau balik ke jalur awal sih, ngikutin sungai ini. Biar ke post dua aja. "
"Yaudah, Abang ngikut kalian aja," jawab Ucok yang membuat Andi terkejut, biasanya Ucok selalu menolak, dan sekarang? Semenjak kejadian tadi, Ucok menjadi lebih pasrah dan menerima apa pun itu.
Ucok menutup pintu tenda, lalu merebahkan dirinya di samping Andi yang sudah merebahkan dirinya. "Ndi, inget pesan Abang, bisa gak bisa, kalian harus pulang," ujar Ucok dengan menatap langit-langit tenda.
"Bukan kalian, Bang. Tapi kita, kita yang bakal pulang," tegur Andi menatap Ucok dengan pandangan penuh peringatan. Mereka datang bertiga, maka harus pulang bertiga juga, begitu juga prinsip Ucok sekarang. Bagaimanapun mereka bertiga harus bisa pulang, akan tetapi jika memang Tuhan hanya mengijinkan kedua rekannya yang pulang, ia akan ikhlas.
Ucok memejamkan matanya yang semakin lama semakin terasa berat. Andi tersenyum melihat itu, ia tau seniornya ini punya trauma yang terkubur dalam-dalam, namun harus terkenang lagi akibat kejadian ini. Trauma yang memiliki sangkut paut dengan hutan dan pendakian, sejauh ini Ucok telah menjadi sosok yang kuat, dan pantang menyerah, beliau tidak menjadikan trauma nya sebagai penghalang hobby yang ia geluti ini. Beberapa saat setelah kematian tragis adik seniornya itu, Ucok hampir setengah tahun tidak melakukan kegiatan nge camp, ataupun pendakian lainnya.
Sampai semua anggota kehabisan akal untuk mengajak Ucok seperti dulu lagi. Andi, Fahri dan Adul lah yang saat itu, berinisiatif membawa Ucok untuk libur selama seminggu dan pulang ke kampung Ucok. Mereka bertiga menginap di kediaman ucok menemani keluarga yang telah kehilangan satu permatanya.
Selama seminggu itu, dirinya dengan kedua rekannya berusaha membuat Ucok kembali seperti dulu lagi, dengan mengadakan camp kecil-kecilan di kebun orang tua Ucok, maupun makan-makan yang mereka adakan di tengah hutan jati belakang rumah Ucok.
Hingga secara perlahan, Ucok kembali seperti Ucok yang dulu, yang jenaka, periang, dan sosok yang pantang menyerah, bahkan ajakan pertama kalinya Ucok mendaki itu di gunung Piramid. Tempat sang adik meregang nyawa.
Pada awalnya, ia, Adul dan Fahri merasa tidak yakin membawa Ucok ke sana, khawatir traumanya kembali lebih parah, namun Ucok meyakinkan ketiga temannya, yang pada akhirnya bersama dengan Adul lah mereka berangkat. Mengikuti rombongan teman-teman sang adik. Ucok bahkan berhenti tepat di tepi jurang yang membawa sang adik ke dasarnya. Menatapnya sangat lama. Sampai-sampai, Adul mengira, Ucok akan terjun ke dalam sana.
Sepulangnya dari pendakian itu, Ucok sudah sepenuhnya menjadi pribadi yang sama seperti dulu, namun siapa yang dapat menyangka, jika sebenarnya masih ada trauma itu dalam diri Ucok yang tidak bisa orang lain lihat, bahkan keluarganya sekalipun.
Andi menghela nafas, melihat langit-langit tenda dengan pandangan kosong, sampai kapan mereka harus berada di hutan ini? Bagaimana dengan keluarganya di sana? Atau, bagaimana dengan rekan-rekan rombongannya? Pasti saat ini sedang panik dan bingung hendak mencari kemana. Pada kenyataannya, mereka sudah terlalu jauh berjalan masuk ke dalam hutan, hal ini jelas akan sangat menyulitkan mereka untuk ditemukan.
"Gak usah berangkat lah kau, Ndi," ujar rekan sekelasnya yang cukup akrab dengan dirinya. Namun pada saat itu Andi hanya menganggap angin lalu. Bahkan, orang tua Adul, Andi. Juga melarang keberangkatan mereka. Apa mungkin sudah bisa merasakan, bahwa mereka akan mengalami hal seperti ini? Biasanya kan ikatan batin orang tua akan sangat terasa jika terjadi sesuatu dengan anaknya.
"Ndi, gak tidur?"
Andi melihat ke samping kanannya, tampak Adul yang mengucek mata sehabis tidur, lalu duduk menghadap Andi. "Gak tidur kau, Ndi?" tanya Adul dengan menguap lebar.
"Tutuplah muncung kau tuh, dan bau Jobar (biawak) ku rasa," sahut Andi dengan sadisnya, bukannya marah, Adul malah terkekeh geli. "Mending bau Jobar, dari pada bau bangke, eh, ngomong-ngomong. Tau kau yah bau Jobar? Udah pernah nyium Jobar kau?"
"Si bangke anak satu ini, iya."
Adul dan Andi terkekeh bersama, hingga tak lama, keadaan kembali hening seperti semula, Andi terdiam sambil menatap langit-langit tenda, sedangkan Adul menatap pintu tenda yang masih tertutup. "Kira-kira, jam berapa ini, Dul?"
"Mau magrib kayaknya, Ndi," sahut Adul yang pada akhirnya membuka pintu tenda. "Kau gak sholat, Dul?"
Adul melihat ke arah Andi, lalu mengangguk dan keluar dari tenda. "Lihat sungai dulu, yok. Kalau udah surut, mau ambil wudhu."
Andi mengangguk setujui, mereka keluar dari tenda, meninggalkan ucok yang masih terlelap tidur, mereka melihat sungai yang tidak lagi bergejolak yang mengerikan, hanya saja debit airnya masih deras dan sedikit berwarna keruh.
"Berani gak yah turun ke bawah?"
Adul melihat ke arah bawah. "Kita coba turun aja, mana tau bisa."
Keduanya turun secara bergantian, di pinggir sungai, lalu berwudhu secara kilat, bukan nya apa-apa. Akan tetapi waktu yang sudah menunjukkan sebentar lagi akan malam, membuat Adul dan Andi harus secepatnya pergi ke tenda, sebelum hal-hal ganjil lainnya terjadi kepada mereka semuanya.
"Dul agak cepat, Dul. Udah magrib ini, kata orang tua jaman dulu, waktunya setan keluar dari rumahnya."
"Gak kau liat aku juga lagi buru-buru?"
Begitu sampai di tenda, mereka berdua melaksanakan sholat magrib secara bergantian, dan di saat giliran Andi, Adul berjaga di sekitar mereka, dengan pandangan yang tertuju ke arah sungai di bawah sana.
Mata Adul dapat melihat sosok gadis berbaju merah yang tengah berada di pinggir sungai itu, berdiri diam menatap air sungai, tanpa melakukan apa pun. Bahkan kapan datangnya juga, Adul tidak tahu. Ia masih melihat gadis itu, hingga saat Andi telah selesai, Adul buru-buru masuk ke dalam tenda mereka.
Andi merasa heran dengan Adul yang terlihat buru-buru, bahkan tanpa sengaja menginjak kaki Ucok yang tidur terlentang. Sontak Ucok langsung menjerit kesakitan dan terbangun dari tidurnya.
"Ngapanya kau korodul? Masih dipake ini kaki dah, walaupun buluk gini," sungut Ucok kesal. Adul meringis geli dan Andi sudah terkekeh pelan di depan pintu tenda.
"Dari mana kalian?"
"Dari sungai bang, ambil wudhu, terus sholat magrib tadi," jawab Andi
"Terus kenapa Adul kayak orang yang dikejar setan?"
"Gak tau itu, kenapa kau, Dul?" tanya Andi menghadap ke arah Adul. Adul menggeleng, lalu mengangguk lagi. Membuat Ucok dan Andi merasa heran dengan tingkah absurd dari Adul.
"Ngapa nya kau,bocah? Ada gila-gilanya," ujar Ucok, Adul menghela nafas lelah. Apa mereka tidak tau, jika gadis itu datang kembali?
"Dia datang lagi ke sini, di pinggir sungai."
Andi mengernyitkan dahinya, hingga pada akhirnya ketika dia sadar, langsung meringsut dan mendekati Adul. "serius kau, Dul?"
Adul mengangguk. "Di pinggir sungai, entah ngapain, cuma berdiri aja di sana."
Andi yang penasaran, membuka pintu tenda. Lalu menatap sekitar sungai, ia bisa melihat ke arah sungai yang memang terdapat gadis baju merah itu, bahkan gadis itu melihat ke arahnya dengan tatapan dingin.
Buru-buru Andi menutup tenda itu, ia melihat ke arah Adul dengan pasangan panik. "Dul, dia ngeliat ke sini Dul, gimana itu?"
Adul menggeleng panik, ia juga tidak tau, bagaimana ini. Rasanya sangat panik, sedangkan Ucok yang tidak mengerti hanya bisa terdiam bengong.
"Kalian ngomongin apa?"
Adul dan Andi melihat ke arah Ucok. Mereka pada akhirnya menceritakan sosok yang selalu mereka lihat sebelum muncul kejadian mistis yang sangat mengerikan.
Tentu saja Ucok merasa sangat terkejut dan merasa heran, kenapa hanya dirinya saja yang tidak bisa merasakan ini semua? Dia masih normal kan?
"Kenapa aku gak ngerasa apa-apa yah?"
"Itulah yang kami bingung kan, Bang. Padahal kemarin tuh Abang udah kami banguni loh, tapi gak juga bangun."
"Dul, aman gak?"
Adul menggeleng. "Gak tau, aman apa gak, tapi biasanya, setiap dia muncul, setelah itu pasti ada aja itu kejadian yang buat kita susah."
Adul kembali membuka pintu tenda, namun sosok itu sudah tidak ada. "Udah gak ada dia, siap-siap aja kita yah, buat hal apa pun yang terjadi nanti, jangan ada yang pencar."
Keadaan di dalam tenda penuh dengan ketegangan, malam telah tiba, dan mereka semua harus terjaga dan saling melindungi, mereka tidak tau apa yang akan terjadi? Karena biasanya, jika sosok gadis itu muncul, lalu menghilang, akan terjadi sesuatu yang di luar nalar manusia.
"Dul, laper kau gak?" Tanya Andi. Adul menggeleng, rasa laparnya menguap begitu saja. Digantikan dengan rasa melilit di perut karena terlalu tegang dan khawatir sedari tadi.
"Aku malah kebelet e*k, gimana ini?"
"Gila kau, Dul. Gak berani aku kalau harus ke sungai, tahan aja dulu, sampe besok pagi."
"Kambeng, mana bisa, sakit kali ini udahan."
"Bodo amat, tahan situ." Andi sama sekali tidak mau menemani Adul ke sungai, apalagi keadaan malam seperti ini, terakhir kali mereka ke sungai, malah diikuti sosok hitam besar. Kalau sekarang apa Lagi?
"Gak ada jiwa persahabatan memang kau yah."
"Emang kita sahabatan?" jawab Andi enteng, yang malah menjauh Adul langsung melemparkan senter kepala kepada nya, dan Ucok yang terkekeh geli melihat perdebatan itu.