Bab 29 : Siapa Mereka?

1463 Words
"Dul, mana?" Andi melihat keseliling mereka, sama sekali tidak menemukan pohon bambu. "Sumpah, tadi ada di sini loh, aku aja sampe dapet rebung itu." Andi mengernyitkan dahinya heran. "Mungkin agak ke sana lagi gak?" Tanya Andi kepada Adul yang masih terlihat bingung. "Kayaknya iya, coba ke sana dulu kita lah, Ndi. Bergantung pada nasib kita." Kedua nya berjalan dengan Adul yang masih setia membopong tubuh Andi. Mereka berdua melihat ke kanan dan kiri yang sama sekali tidak terdapat pohon bambu yang dimaksud oleh Adul. Hingga ketika mereka telah berjalan sangat jauh, barulah pepohonan bambu itu dapat mereka lihat. "Lah, Dul. Jauh kali ternyata dari tempat kita tadi?" "Entah lah, Ndi. Aku ngerasa deket kok tadi. Atau karna aku laper yah?" "Halah, cacing kremi mu itu, memang sudah diajak mikir kalau udah kelaparan." "Sama aja kayak cacing kau, kau fitnah-fitnah pula lah cacing ku." Setelah perdebatan mengenai cacing itu, mereka pada akhirnya sampai di pohon bambu yang terlihat sangat banyak. Adul yang pertama merangkak, melewati bambu yang bentuknya tidak beraturan. Hingga mereka dapat mendengar suara keramaian, dan juga ada banyak orang di sana. "Dul, beneran ini? Gak kayak warga sebelah, kan?" warga yang di maksud oleh Andi adalah warga yang mereka temui di pasar saat bersama Ucok. "Bismillah aja, Ndi. " Adul yang melangkah duluan, lalu menunggu Andi yang badannya sudah merasa lebih baik dari tadi pagi. Keduanya menghampiri tempat ramai yang seperti sebuah desa itu. Ada beberapa rumah penduduk yang terbuat dari pelepah daun salak atau sawit, dan juga berdindingkan bambu. "Lah, masih ada ternyata rumah kayak gini? Baru tau aku," ujar Andi begitu memasuki kawasan perkampungan. "Adalah, di kampung si Fahri kayaknya masih gini rumah-rumah nya." Andi mengangguk, tak lama seorang warga lewat dari hadapan mereka. "Pak, ini kampung apa yah namanya?" Tanya Adul pelan. Namun seperti tidak mendengar, warga itu hanya diam dan berlalu, seolah tidak melihat ada mereka berdua di sana. "Lah, gak denger dia. Budeg mungkin, maklumi ajalah. " Adul mengiyakan, lalu mencari lagi seorang warga yang bisa mereka mintai tolong. "Misi Wak, numpang nanya, kita ada di desa apa ?" Warga yang dicegat oleh Adul bukannya berhenti malah tetap melanjutkan langkahnya. Andi mengernyitkan dahinya, lalu menatap sekeliling mereka, dan menyadari akan satu hal, kenapa para warga di sini seperti tidak melihat mereka, berbeda dengan masyarakat yang mereka temukan kemarin, yang dapat menyadari kehadiran mereka. "Sombong banget orang-orang sini, kesel sendiri aku liatnya, naik darah aku." "Naik ke mana? Perasaan masih di sana aja darahmu, Dul." "Sensi aku jadinya, pengen ku makan orang-orang ini." Mata Adul melihat ke sekeliling pasar yang menjual berbagai makanan menggiurkan. "Mungkin gak tau bahasa Indonesia orang tuh, pake bahasa Batak coba." "Aku mana bisa pake bahasa Batak, Ndi. Kau nya yang bisa," sungut Adul kesal, ia sedikit sensi kalau sudah membahas tentang bahasa Batak, yang jelas-jelas sama sekali tidak iya pahami. Mentok kita kata 'Olo' yang artinya iya dalam bahasa Batak. Selebihnya enggak, apalagi tutur-tutur memanggil yang lebih tua, atau tutur kepada orang lain. Nantilah, tulang, nanguda, Udak, opung, namboru. Kalau bagi dirinya mah tetep aja panggil wawak, bibik, nenek, kakek. Mau itu saudara ayah ataupun saudara ibu. "Belajar lah, Dul. Kau tinggal di tanah Batak." "Bukan gak mau belajar, Ndi. Tapi puyeng aku liatnya, kemarin ku panggil lah adek Mandian bapak aku yang orang Tapanuli Selatan itu nantulang sama tulang. Lah kena sembur aku, katanya bukan nantulangku dia, kan sama aja? Tetep bobok kan?" "Nanguda nya itu dodol. Kau pun paok." "Terus kenapa kalau di batas tuh mamak mertua dipanggil bouk sama bini kita?" "Sama aja sebenernya, aku pun gak paham masalah panggilan Batak dah." "Ah, udahlah, mending kau tanya itu yang jual daun pisang itu, aneh kali, di tengah hutan gini daun pisang pun dijual." Tunjuk Adul kearah bapak-bapak yang menjual daun pisang. Andi menghampiri warga itu dengan kaki yang sedikit pincang. "Parmisi, Uda. Get manyapai do au, sanga di dia do Hita on? Aha goar desa nai? (Permisi, Wak. Mau bertanya aku, entah di mana nya kita ini? Apa nama desanya?) " Andi sama sekali tidak mendapatkan jawaban dari penduduk itu, seakan dirinya tidak terlihat. Bahkan penduduk itu tidak menatapnya. Mata Andi meneliti keseluruhan bentuk penduduk itu yang terlihat lebih kecil dibandingkan dengan dirinya. Semakin Andi meneliti, semakin banyak pula ia temukan kejanggalan yang ada, salah satunya tubuh yang kerdil, dan kaki yang terbalik. Terbalik? Andi yang semula melangkah menjauh, kembali melihat ke arah penduduk yang menjual daun pisang itu. Namun kakinya tertutupi oleh daun pisang yang ia tutup. Rasanya tidak etis jika ia bertanya secara gamblang, tidak sopan namanya. Ia kembali ke arah Adul. "Dul, gak jawab juga, atau ini memang kampung bisu? Dan ngomong-ngomong, kok orang nya kecil semua?" "Hah? Eh bentar..." Adul meneliti semua penduduk yang berseliweran di depan mereka, dan alangkah terkejutnya Adul, bahwa yang dikatakan oleh Andi benar adanya. Tubuh penduduk di sini lebih kecil dari pada tubuh mereka berdua, bahkan jalannya terlihat sangat cepat. "... Kok kerdil semua?" Lanjut Adul begitu telah menyadari kejanggalan ini. Andi menggeleng tidak tau, ia melihat semua penampilan penduduk itu, jalannya yang sedikit aneh, namun sangat cepat kalau menurut ukuran jalannya manusia normal. "Tapi keren loh, badan orang itu hampir semua sih, kerdil. Dan jalannya juga cepet banget, kalau ada lomba lari, yakin aku menang orang itu semuanya." Andi hanya tersenyum pelan, matanya masih menatap satu persatu dari orang yang ada di depan mereka, hingga matanya membelak kaget begitu menyadari, hal aneh yang sedari tadi ia cari berasal dari kaki para penduduk yang berjalan dengan posisi terbalik, dalam artian tumit kaki di depan, dan jarinya di belakang. "Dul, coba kau perhatikan, Dul. Apa mata aku yang rusak?" Aduk mengikuti arah yang ditunjuk oleh Andi. "Kenapa, Ndi?" Andi menunjuk salah seorang dari beberapa warga yang terlihat sangat dekat dengan posisi mereka. "Kau perhatikan itu, kakinya. " Adul melihat orang itu dengan intens, bahkan matanya terpaku pada kaki yang dimaksud oleh Andi. Hingga matanya membelak kaget begitu menyadari sesuatu yang dimaksud oleh Andi. "Astagfirullahal adzim, itu kaki kok bisa gitu?" Andi menggeleng tidak tau, tangannya menunjuk beberapa orang yang ada di sekitar pasar. "Kau perhatikan lagi, Dul. Orang itu juga sama kayak yang itu, kok aneh yah." "Anjir, kok bisa yah? Jalannya gimana itu?" "Kau perhatikan lah jalannya gimana? Malah cepet. " Andi dan Adul masih berdiri melihat dan memperhatikan cara berjalan dari penduduk yang ada disekitar mereka. "Apa mungkin kelainan karena keturunan?" "Bisa jadi, udahlah, aku udah lapar ini, kau lapar gak?" Adul menggeleng, ia sama sekali tidak lapar, tapi mendengar perut Andi yang berulang kali berbunyi minta di isi makanan, membuat Adul pada akhirnya berjalan mendekat ke area pasar. Ia berniat mengambil sebotol air mineral yang ada di kedai, namun entah mengapa, tangannya sekaan tidak dapat menyentuh apa pun, berulang kali ia mencoba, hasilnya tetap sama. Hal ini terjadi juga dengan Andi yang mencoba meraih roti yang ada di penjual sebelah warung Ari mineral, kedua nya sama-sama tidak bisa merasakan apa pun, tangannya seperti menembus air, terasa namun tak bisa mereka genggam dan di angkat. "Astagfirullah, kita kenapa ini, Ndi? Apa jangan-jangan kita sebenarnya udah jadi arwah? Terus gentayangan?" Andi menggeleng pelan. "Gak tau juga loh, aku Dul. Masa iya kita jadi arwah gentayangan, gak pernah ada di pikiranku bakal kayak gini kita." Adul berteriak panik, ia langsung memanggil para penjual yang ada di sekitar mereka, namun tetap saja, sama sekali tidak ada tanggapan. "PAK, PAK, ASTAGFIRULLAH. KENAPA GAK MAU DENGER SIH?" "ANDI, GIMANA INI?" Andi sama dengan Adul, panik dan juga bingung menjadi satu. Rasanya ia ingin kembali saja ke rumah, kalau waktu bisa diputar, ia tidak akan mendaki dan tidak akan mengalami hal seperti ini. Sangat menyeramkan. "Dul, mending kita pergi yok, Dul." Adul menggeleng tidak mau, ia masih berusaha meraih botol air mineral itu dengan sekuat tenaga. Namun hasil nya tetap sama, sampai Adul merasa lelah sendiri, dan terduduk di tanah. "Kita kenapa, Ndi ? Kok aneh gini? Gak mungkin kan kita udah mati?" Andi menggeleng, menghampiri Adul lalu menarik rekannya itu dengan kuat. "Dul, mending sekarang kita keluar lewat bambu tadi, cari pertolongan." Adul menggeleng, ia masih linglung dan merasa sangat takut, kenapa sebenarnya dirinya dan juga Andi? Kenapa semua seperti ini? Andi dengan cepat langsung menarik Adul, dan berjalan kembali ke arah pepohonan bambu yang menjadi pintu masuk mereka tadi. dengan sedikit keberanian, Andi melihat ke arah wajah salah satu penduduk yang ada di hadapan mereka. Betapa terkejutnya ia, begitu melihat wajah itu, wajah yang sangat tidak lazim baginya. langsung saja dirinya dengan sedikit memaksa membawa Adul yang terdiam dengan pandangan kosong. "Kita kenapa, Ndi ? Kok aneh gini? Gak mungkin kan kita udah mati?" Andi menggeleng, menghampiri Adul lalu menarik rekannya itu dengan kuat. "Dul, mending sekarang kita keluar lewat bambu tadi, cari pertolongan." Adul menggeleng, ia masih linglung dan merasa sangat takut, kenapa sebenarnya dirinya dan juga Andi? Kenapa semua seperti ini?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD