Tanpa menunggu respons, tangan Circe yang dingin dan lembut terangkat, menutup mata Eros. Kegelapan menyelimuti pandangannya, mempertajam indra yang lain.
Jari-jemari Circe yang ramping menelusuri rahang Eros, lalu bergerak naik membelai bibirnya yang kini rapat menahan geram. Perlahan, ibu jari Circe menyusup masuk, merasakan kehangatan dan kelembaban di dalam mulut Eros. Jari itu menekan ringan, seolah menguji batas.
"Bayangkan jika ini adalah Lysandra," bisik Circe lagi, suaranya kini terdengar begitu dekat, seolah berasal dari dalam benak Eros sendiri.
"Kau akan apakan ia di mulutmu?"
Eros tak bisa menahan lagi. Geraman dalam keluar dari tenggorokannya, suara hasrat yang tertahan. Bibirnya bergerak di sekitar ibu jari Circe, meresapi sentuhan itu.
"Menikmatinya sampai habis," jawab Eros, suaranya kasar dan penuh gairah yang terpendam, seolah sedang berbicara pada Lysandra itu sendiri.
Circe menarik ibu jarinya dari mulut Eros, tangannya tetap membelai pipi suaminya. Sebuah senyum tulus, yang jarang sekali ia tunjukkan, terukir di bibirnya. Ada kepuasan dalam senyum itu.
"Kau tahu, Lysandra punya bau buah-buahan," lanjut Circe, suaranya kini melirih, seolah sedang menggambarkan sebuah memori indah.
"Wangi stroberi bercampur s**u. Bagaimana jika wangi itu memenuhi hidungmu? Seluruh dirimu?"
Jemari Circe membelai lembut pipi Eros, turun ke dagu, seolah ingin merasakan setiap detailnya.
Eros merasakan napasnya memberat.
Gambaran Lysandra, wanginya, sentuhannya, memenuhi benaknya, diperkuat oleh setiap kata Circe. Hasrat itu kini membara, tidak lagi bisa dikendalikan.
Circe mendekatkan wajahnya, menatap Eros dengan sorot mata yang penuh pengertian juga manipulasi. Bisikannya menjadi janji, atau mungkin kutukan.
"Tak akan kubiarkan laki-laki lain memiliki aroma itu."
***
Tengah malam.
Hanya keheningan yang tersisa di rumah besar itu, membungkus rahasia yang tersembunyi. Di kamar Lysandra, lampu tidur berbentuk bunga menyala redup, memancarkan cahaya lembut yang memeluk dinding-dinding berwarna pastel dan tirai renda. Boneka-boneka beruang duduk rapi di rak, sementara tumpukan buku novel romansa tergeletak di meja samping ranjang.
Kamar itu adalah cerminan sempurna dari feminitas dan kepolosan Lysandra. Namun, aura gelap yang tiba-tiba memenuhi ruangan, seolah menodai ketenangan, berasal dari ambang pintu.
Pintu terbuka tanpa ketukan, dan Eros muncul. Matanya berkilat-kilat, memantulkan bayangan hasrat yang tak terkendali. Ia selalu punya kunci cadangan, bukan hanya untuk kamar itu, tetapi untuk setiap sudut hidup adiknya.
Lysandra terlonjak kaget. Ia baru saja keluar dari kamar mandi, tubuhnya terbalut selembar robe putih tipis. Rambut basahnya menempel di punggung, dan tetesan air masih mengalir lembut di wajahnya, membasahi garis rahang hingga leher.
Ia tampak seperti patung marmer yang baru saja dihidupkan, murni dan rapuh di tengah dekorasi kamarnya yang lembut.
Eros melangkah masuk, mengabaikan keterkejutan Lysandra dan vibe feminim di sekitarnya. Tangannya terangkat, meraih simpul dasinya yang terasa mencekik leher. Ia melepasnya perlahan, seolah melepaskan belenggu terakhir yang mengikatnya.
Dasi itu terlempar begitu saja ke lantai, kontras dengan karpet berbulu halus di bawahnya. Eros lalu berjalan ke sisi ranjang Lysandra, duduk di pinggirannya, merenggangkan pahanya, mengambil posisi yang menguasai.
"Seorang pria selalu menyediakan kursi untuk wanitanya."
Suara Eros serak, matanya menatap tajam ke arah Lysandra yang masih berdiri mematung di dekat pintu kamar mandi. Dengan gerakan pelan namun tegas, ia menepuk pahanya yang terbuka, mengundang.
Lysandra menelan ludah, tapi bukan karena gentar. Sebuah kilatan pemberontakan muncul di matanya. Ia menyilangkan kedua tangan di depan d**a, menolak secara terang-terangan.
"Kakak bisa keluar, tunggu aku selesai ganti baju." Nada suaranya tegas, bukan memohon.
Eros berdeham, suara itu lebih mirip geraman.
"Akan lebih baik jika kau melakukannya di depanku."
Lysandra merasakan darahnya mendidih. Wajahnya mengeras, menolak menyerah pada tekanan itu. Ia tahu tatapan Eros, d******i yang tak lagi bisa disembunyikan. Matanya menatap tajam balik, menolak mundur.
"Aku tidak akan melakukannya. Nanti Kakak Circe marah besar."
Suaranya kini penuh penekanan, bukan lagi bisikan takut.
Eros mencibir.
"Sebesar apa?"
Tantangan jelas dalam suaranya, memotong keheningan kamar yang feminin itu.
Lysandra mendengus, menatap Eros dengan sorot menantang.
"Cukup besar untuk membuat Kakak tidur di sofa selama satu minggu."
"Duduk di pangkuanku, Lysandra," perintah Eros, suaranya kini berubah menjadi bisikan yang menghipnotis, ada nada berbahaya di dalamnya. Matanya memancarkan gairah yang membakar.
"Seperti dulu, saat kau senang mengendus leherku."
Lysandra tidak bergerak. Kenangan masa lalu itu menyeruak, saat ia kecil dan polos, mencari kenyamanan dalam pelukan Eros tanpa memahami arti tatapan gelap yang kadang mampir di mata kakaknya. Sekarang, ingatan itu adalah cambuk.
"Aku bukan anak kecil lagi, Kakak. Dan aku tidak akan melakukan apa pun yang kau suruh."
Eros menghela napas, sebuah hela rendah yang penuh ketidaksabaran juga gairah yang semakin membara karena penolakan Lysandra. Ia tidak suka ditolak.
Tanpa peringatan, ia berdiri. Dua langkah besar membawanya mendekati Lysandra. Tangannya yang besar meraih pergelangan tangan Lysandra, genggamannya kuat tapi tidak menyakitkan, hanya sedikit memaksa.
"Aku tidak bertanya, Lysandra."
Suaranya serak, matanya mengunci mata Lysandra.
"Aku memerintahkan."
Ia menarik lembut, tak memberi kesempatan bagi Lysandra untuk menolak. Tubuh Lysandra terhuyung, mendekat ke arah Eros, jantungnya berpacu seperti genderang perang.
Eros menariknya lagi, hingga tubuh Lysandra menabrak dadanya. Aroma sabun dan wangi khas Lysandra yang lembut tercium oleh Eros, persis seperti yang dibayangkan Circe.
Wangi stroberi bercampur s**u. Hasrat yang telah lama dipendam kini meluap, terpicu oleh setiap penolakan Lysandra. Tangan Eros yang lain terangkat, menyentuh pipi Lysandra, ibu jarinya mengusap lembut tulang pipi yang kini sedikit mengeras menahan emosi.
"Aku akan memastikan tidak ada pria lain yang bisa mencium aroma ini," bisik Eros terasa terdengar penuh janji dan kepemilikan. Wajahnya mendekat, matanya tak lepas dari bibir Lysandra yang rapat, menantang akal sehatnya.
Lysandra mencoba mendorong d**a Eros, tapi iyu seperti mendorong tembok beton. Kekuatannya tak sebanding.
"Kakak, tolong menjauh!" desisnya tercekat.
Matanya menatap Eros dengan campuran marah dan ketakutan, menolak untuk gentar sepenuhnya.
"Ini tidak benar. Kau gila!"