Bab 3

1162 Words
Pagi itu, Lysandra terbangun dengan tubuh terasa kaku dan pikiran kalut. Bayangan Eros di kamarnya semalam dengan d******i dan tatapan penuh obsesi itu masih membekas. Ia menyentuh bibirnya, seolah masih bisa merasakan panas dari napas Eros yang berdesir dekat telinga. Rasa ngeri bercampur amarah menyeruak. Ini tidak benar. Semua ini terasa sangat salah. Lysandra tahu ia harus segera bertindak. Perjodohan ini adalah kesempatan untuk melarikan diri, tapi ia juga sadar ada jebakan lain yang menantinya. Ia harus mencari cara untuk berbicara dengan orang tuanya, atau setidaknya, menemukan sekutu. Tapi siapa? Circe jelas tidak bisa dipercaya. Dan Eros ... Eros adalah masalah utama itu sendiri. Saat turun untuk sarapan, suasana di meja makan terasa lebih tetegang dari biasanya. Eros duduk di tempatnya, sarapan seperti biasa. Matanya yang tajam sesekali melirik Lysandra, seolah menguji batas. Circe di sampingnya, tersenyum tipis penuh misteri, menikmati drama yang tercipta. Tuan Danu dan Nyonya Ira tampak ceria, seolah tidak ada gejolak apa pun di dalam rumah mereka. "Lysandra, nanti siang kita akan pergi berbelanja." Nyonya Ira memulai, suaranya antusias. "Kita harus menyiapkan gaun terbaik untuk pertemuanmu dengan Adnan." Lysandra merasa jantungnya mencelos. Adnan. Nama itu terasa asing di lidahnya. "Bu, Ayah, bisakah kita bicara sebentar setelah sarapan?" pintanya, mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang. Tuan Danu tersenyum. "Tidak ada yang perlu dibicarakan, Nak. Semua sudah diatur. Keluarga Pramudya adalah keluarga terpandang, dan Adnan adalah pria yang sangat bertanggung jawab. Kalian akan cocok." "Tapi aku bahkan tidak mengenalnya." Lysandra mencoba berargumen lagi. "Itulah gunanya pertemuan, Sayang." Nyonya Ira menimpali. "Kau akan mengenalnya nanti. Ini adalah kesempatan emas untuk masa depanmu." Lysandra melirik Eros. Pria itu menatapnya, ada kilatan di matanya yang seolah berkata, kau tidak akan pergi. Ia tahu Eros sedang mengawasi, dan itu membuatnya semakin tertekan. Sore harinya, Lysandra dipaksa mengenakan sebuah gaun malam berwarna biru tua yang elegan, dipilihkan langsung oleh Nyonya Ira. Gaun itu indah, menonjolkan bentuk tubuhnya yang ramping. Tetapi Lysandra merasa seperti memakai kostum, bukan pakaiannya sendiri. Perhiasan berlian yang senada melingkari leher dan pergelangan tangannya, terasa dingin dan berat. Mereka tiba di sebuah hotel bintang lima yang mewah. Ruangan pribadi yang sudah dipesan tampak eksklusif, dengan pemandangan kota Jakarta yang gemerlap di malam hari. Tuan Danu dan Nyonya Ira tampak sumringah. Di dalam ruangan, sepasang suami istri paruh baya sudah menunggu, ditemani oleh seorang pria muda yang berdiri membelakangi mereka. Ia mengenakan jas formal berwarna arang yang sangat pas di tubuh atletisnya. Rambutnya disisir rapi, menampilkan leher jenjang. "Selamat malam, Pram!" sapa Tuan Danu ramah, sambil menjabat tangan pria paruh baya itu. "Lama tidak bertemu." "Danu, Ira, senang sekali kalian bisa datang," balas Tuan Pramudya, senyumnya ramah. Matanya beralih pada Lysandra. "Ini pasti Lysandra, ya? Sungguh cantik sekali, seperti yang Ayahmu ceritakan." Lysandra tersenyum canggung, merasakan pipinya sedikit memanas di bawah pujian itu. "Adnan, Nak. Ini Lysandra," kata Tuan Pramudya, menepuk bahu putranya. Pria itu berbalik. Seketika, Lysandra merasa napasnya tertahan di tenggorokan. Adnan Pramudya memiliki wajah yang tampan, dengan fitur tegas, rahang kuat, dan hidung mancung. Namun, yang paling menarik perhatian Lysandra adalah matanya. Bola mata gelap itu menatap Lysandra dengan intensitas yang tidak bisa ia baca, seolah sedang memindai dan menganalisis setiap detail dirinya. Tatapan itu dingin, memikat, memancarkan aura d******i yang kuat. Lysandra merasa seperti sedang menjadi objek pengamatan. Adnan mengulurkan tangan. "Adnan Pramudya. Senang bertemu denganmu, Lysandra." Lysandra menyambut uluran tangan itu. Jari-jari Adnan terasa dingin dan cengkeramannya kuat, terlalu kuat, nyaris menekan. Senyum tipis terukir di bibir Adnan, bukan senyum ramah, melainkan sebuah seringai tipis yang sarat makna tersembunyi. Lysandra merasa sedikit tidak nyaman, seolah ia sedang berada dalam permainan yang aturannya tidak ia pahami. Sepanjang makan malam, Adnan berbicara tentang bisnis, tentang ambisinya, tentang visinya untuk masa depan. Ia cerdas, sangat ambisius, dan setiap perkataannya penuh dengan keyakinan. Ia tidak banyak bertanya tentang Lysandra, seolah ia sudah tahu semua yang perlu ia tahu, atau mungkin, memang tidak terlalu peduli. Setiap kali Lysandra meliriknya, Adnan selalu membalas tatapannya, dengan sorot mata yang tetap sulit diartikan, penuh perhitungan. Lysandra merasa seperti barang yang sedang diperiksa sebelum dibeli. Saat hidangan penutup tiba, Adnan menoleh pada Lysandra, senyumnya sedikit lebih lebar dari sebelumnya. "Saya yakin kita akan menjadi pasangan yang serasi, Lysandra." Suaranya rendah dan meyakinkan, tapi terdengar lebih seperti pernyataan daripada pertanyaan. Lysandra hanya bisa mengangguk pelan, tanpa bisa mengucapkan sepatah kata pun. Ia merasakan firasat aneh, bahwa hidupnya baru saja akan berubah, menjadi sesuatu yang jauh lebih kompleks dan mungkin, lebih berbahaya, dari yang ia bayangkan. *** Amarah Eros sudah mencapai puncaknya. Begitu ia masuk ke kamarnya, ia langsung membanting pintu dengan keras. Circe mengikutinya masuk, senyumnya masih belum pudar. "Bagaimana menurutmu? Adnan cukup menarik, bukan?" Circe bertanya, nadanya provokatif. Eros berbalik, matanya menyala. "Jangan bicara omong kosong, Circe. Aku tidak akan membiarkannya." "Membiarkan apa? Membiarkan Lysandra menikah dengan pria yang cocok untuknya?" Circe mendekat, suaranya tenang, tapi penuh racun. "Atau kau tidak bisa membiarkan orang lain menyentuh milikmu?" Eros mencengkeram rahangnya. "Dia bukan barang. Dan dia tidak akan pernah bersama pria itu." "Kau tahu, Eros." Circe melanjutkan, langkahnya semakin mendekat, "Adnan itu cukup ambisius. Dia akan melakukan apa saja untuk mendapatkan apa yang dia inginkan. Termasuk Lysandra." Ia berhenti tepat di depan Eros, tatapannya menembus mata suaminya. "Kau harus bergerak lebih cepat, atau dia akan benar-benar menjadi istri orang lain. Aroma stroberi dan susunya ... akan menjadi milik pria lain." Kata-kata Circe, yang diucapkan dengan kelembutan mematikan, seperti minyak yang disiramkan ke api. Eros merasakan otaknya berputar, merencanakan. Ia tidak akan kalah. Lysandra adalah miliknya. Circe mendekat, membelai lembut wajah Eros yang ditumbuhi jambang halus. Sentuhannya dingin dengan kata-kata membakar. "Kau Eros, tak kenal apa itu kalah," bisiknya, suaranya seperti melodi yang mematikan. Circe membuat mimik wajah manis, matanya menyipit ketika bibirnya tersenyum, sebuah senyuman yang penuh perhitungan. "Bayangkan, jika tangan ini adalah Lysandra. Membelaimu dengan halus." Eros memejamkan mata, membiarkan imajinasi itu berkuasa. Sentuhan dingin Circe di pipinya berubah menjadi kelembutan yang ia dambakan dari Lysandra. Aroma khas Circe memudar, digantikan oleh wangi stroberi bercampur s**u yang memabukkan, aroma Lysandra. Dalam kegelapan matanya, ia melihat tangan Lysandra membelainya, jemarinya yang lentik menyusuri rahangnya, naik ke bibirnya, penuh kehangatan dan gairah yang hanya miliknya. "Tapi seseorang menarik tangan itu. Apa kau rela?" Suara Circe menusuk, memecah ilusi itu dengan kejam. "Menariknya jauh darimu, mengklaimnya, membuatnya menjadi miliknya sepenuhnya." Gambaran itu seketika berubah. Tangan Lysandra yang lembut ditarik kasar oleh bayangan Adnan. Wajah Lysandra yang tersenyum padanya, kini berpaling, menatap Adnan dengan tatapan yang seharusnya hanya untuk Eros. Hati Eros mencelos, amarahnya melonjak hingga ke ubun-ubun. Relakah dia? Tidak. Tidak akan pernah. Eros membuka matanya, bola mata obsidiannya berkilat tajam, penuh tekad membara yang kini tak bisa lagi dibendung. Cengkeramannya di rahang Circe menguat, tidak menyakitkan, hanya cukup untuk menegaskan dominasinya. "Tidak," jawab Eros, suaranya serak dan dalam, penuh janji menakutkan. Setiap suku kata mengandung ancaman, sebuah proklamasi yang akan mengguncang semua yang menghalangi jalannya. "Tidak akan pernah." Ia mendorong Circe pelan, lalu beranjak dari sofa, langkahnya mantap menuju pintu. Dalam benaknya, hanya ada satu tujuan. Lysandra.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD