Eros menariknya lagi, hingga tubuh Lysandra menabrak dadanya. Aroma sabun dan wangi khas Lysandra yang lembut tercium oleh Eros, persis seperti yang digambarkan Circe.
Wangi stroberi bercampur s**u. Hasrat yang telah lama dipendam kini meluap, terpicu oleh setiap penolakan Lysandra. Tangan Eros yang lain terangkat, menyentuh pipi Lysandra, ibu jarinya mengusap lembut tulang pipi yang kini sedikit mengeras menahan emosi.
"Aku akan memastikan tidak ada pria lain yang bisa mencium aroma ini," bisik Eros, suaranya kini penuh janji dan kepemilikan.
Wajahnya mendekat, matanya tak lepas dari bibir Lysandra yang rapat, menantang.
Lysandra mencoba mendorong d**a Eros, namun itu seperti mendorong tembok beton. Kekuatannya tak sebanding.
"Kakak, menjauhlah!" desisnya, suaranya tercekat. Matanya menatap Eros dengan campuran marah dan ketakutan, menolak untuk gentar sepenuhnya.
"Ini tidak benar. Kau ...." Ia mencari kata yang tepat, "kau gila!"
Eros tidak goyah. Senyum tipis yang dingin terukir di bibirnya. Senyum yang penuh kepuasan melihat Lysandra akhirnya menunjukkan reaksi.
"Gila karena mendambakanmu? Mungkin. Tapi aku sudah gila sejak lama, Lysandra."
Tangannya yang di pipi kini turun, melingkari pinggang Lysandra, menariknya lebih erat hingga tak ada lagi jarak di antara mereka. Tubuh Lysandra sepenuhnya terjebak dalam pelukannya.
"Perjodohanmu tidak akan terjadi," bisik Eros di dekat telinga Lysandra, napasnya memanaskan kulit gadis itu.
"Tidak akan pernah. Karena kau adalah milikku. Hanya milikku."
Lysandra merasakan jantungnya berdetak kencang, ia berjuang menarik napas. Ia tahu, satu-satunya jalan keluar adalah menyerang inti dari obsesi Eros.
"Milikmu?" Lysandra tertawa, tawa yang kering dan dipaksakan.
"Aku bukan barang, Eros! Aku tidak pernah menjadi milikmu. Kau sudah punya istri. Kau punya Circe!" Ia mengucapkan nama itu seolah nama itu adalah perisai.
"Pergilah kepadanya! Dia menunggumu di kamar, dan aku yakin dia akan jauh lebih rela dan ... berguna daripadaku!"
Kata-kata itu berhasil. Wajah Eros menegang. Nama Circe bagaikan air dingin yang menyiram bara api. Namun, alih-alih memadamkan, air itu justru mengubahnya menjadi uap panas yang membakar. Genggaman tangan Eros di pinggang Lysandra menguat.
"Jangan pernah menyebut namanya saat kau bersamaku," desis Eros, matanya kini memancarkan api kemarahan.
Ia mendekap Lysandra lebih erat, memaksa gadis itu merasakan setiap inci kekuatan dan hasratnya.
"Circe adalah jimat, sebuah formalitas. Kau, dewi stroberi dan susuku, adalah realitas. Obsesi."
Kepala Eros menunduk, memaksa Lysandra mendongak. Ia tidak lagi peduli tentang kepura-puraan atau penolakan. Bibir Eros menemukan bibir Lysandra, bukan dengan kelembutan, melainkan dengan kepastian seorang yang menuntut hak. Ciuman itu kasar, mendominasi, dan penuh amarah yang terbungkus hasrat.
Lysandra meronta, tangannya memukul-mukul d**a Eros, mencoba memalingkan wajahnya. Namun, tangan Eros yang lain menahan belakang kepala Lysandra dengan kuat, memastikan dia tidak bisa kabur dari penaklukan itu.
Ia merasakan dirinya tergelincir, bukan hanya ke dalam ciuman itu, tetapi juga ke dalam jurang gelap yang telah disiapkan Eros.
Tepat ketika napasnya mulai menipis dan pikirannya mulai kabur, kekuatan terakhir muncul dari kedalaman dirinya. Bukan karena takut pada Eros, melainkan karena jijik pada dirinya sendiri. Dengan seluruh tenaga yang tersisa, Lysandra berhasil memiringkan kepalanya sedikit.
PLAK!
Suara tamparan keras itu memecah keheningan tengah malam. Itu adalah suara benturan kulit melawan kulit, tajam dan menyakitkan. Tamparan itu mengenai pipi kiri Eros dengan kekuatan penuh yang dimiliki seorang gadis yang berjuang untuk kebebasannya.
Eros langsung melepaskan ciumannya. Ia mundur selangkah, terkejut—bukan karena rasa sakit, tetapi karena keberanian Lysandra.
Matanya yang sebelumnya dipenuhi hasrat kini berkilat dengan kejutan yang dingin dan sangat berbahaya. Jejak merah yang jelas tercetak di pipinya.
Lysandra terengah, tangannya gemetar hebat. Ia menggunakan momen itu untuk mundur, merangkul tubuhnya yang terbungkus robe longgar. Air mata sudah membasahi matanya, tapi tatapannya tetap menantang.
"Keluar!" teriak Lysandra, suaranya parau dan penuh kehancuran. Ia menunjuk pintu.
"Aku bilang, keluar! Kau menjijikkan!"
Eros menyentuh pipinya yang memanas. Senyumnya perlahan kembali, tapi kali ini senyum itu tidak lagi dingin. Senyum itu adalah janji obsesi yang tak akan pernah bisa dihentikan. Penolakan ini, keberanian ini, hanya membuatnya semakin menginginkan Lysandra.
"Menjijikkan?" desis Eros, langkahnya maju satu inci, menguasai.
"Itu bagus, Lysandra. Karena sekarang, kau akan mengingat rasa jijik itu setiap kali kau melihat pria lain. Dan aku, aku akan memastikan kau mengingatku setiap kali kau sendirian."
Eros mengabaikan teriakan itu. Ia membiarkan kemarahan dan cemas Lysandra meluap. Kemarahan itu, bagi Eros, hanyalah bumbu penyedap bagi hasratnya. Ia mengangkat tangannya yang tadi ditampar, bukan untuk membalas, tetapi untuk bergerak menuju Lysandra.
Lysandra mundur, punggungnya menabrak dinding dingin. Ketakutan kembali mencengkeramnya.
Namun, Eros tidak menyerang. Ia hanya memangkas jarak yang tersisa di antara mereka. Gerakannya kini lambat, penuh perhitungan, lebih mengancam daripada ledakan amarah. Ia mencondongkan tubuhnya ke depan, hingga wajahnya berada di dekat bahu Lysandra.
Eros menghirup napas panjang, dalam, seolah sedang mengambil obat penawar. Hidungnya menyentuh rambut Lysandra yang basah, tempat tetesan air mengalir. Ia menciumnya, benar-benar menciumnya, membiarkan aroma stroberi dan s**u yang manis dan murni itu memenuhi paru-parunya, membakar setiap sarafnya.
Itu adalah aroma yang dijanjikan Circe, aroma yang tidak boleh dimiliki siapa pun kecuali dirinya.
Eros menarik diri, matanya kini jauh lebih tenang, dingin dan puas. Ia telah mendapatkan apa yang ia inginkan. Sebuah penaklukan psikologis.
"Kau benar," kata Eros, suaranya kini kembali normal, seolah beberapa detik lalu ia tidak melakukan tindakan gila.
"Aku harus keluar." Ia memperbaiki jasnya yang berantakan karena dasinya sudah terlepas.
Eros berbalik, berjalan menuju pintu, tidak lagi menoleh pada Lysandra yang masih terperangkap dalam ketakutan. Saat tangannya meraih kenop pintu, ia berhenti sebentar.
"Jangan pernah berpikir untuk lari dari perjodohan ini," katanya tanpa menoleh.
"Aku sendiri yang akan membatalkannya. Dan kali ini, Dewiku, aku tidak akan meninggalkanmu lagi sendirian. Nikmati setiap detik yang kau punya, karena mulai sekarang, kau akan menjadi milikku sepenuhnya."
Pintu tertutup pelan di belakangnya, meninggalkan Lysandra sendirian di kamar yang kini terasa dingin. Pikirannya kosong, dan di pipinya, sisa air mata bercampur dengan rasa jijik. Ia ambruk ke lantai, memeluk lututnya, menyadari bahwa jeratan hasrat itu baru saja dimulai.