Keheningan di kamar utama terasa lebih dingin malam itu, meski suhu udara diatur sempurna. Jam dinding menunjuk angka satu dini hari lewat, waktu di mana seharusnya semua orang terlelap, tetapi bagi Circe, ini adalah jam operasionalnya. Ia duduk dengan anggun di kursi santai beludru dekat jendela, punggungnya tegak, seolah ia adalah seorang ratu yang sedang menunggu utusannya.
Circe mengenakan robe satin tipis berwarna hitam pekat. Kain itu melayang longgar di kulitnya, hanya terikat samar di pinggang, memberikan pandangan sekilas yang mematikan pada lekuk tubuhnya yang menggoda.
Di pangkuannya, sebuah piring kecil dari kristal berisi beberapa buah stroberi segar, warnanya merah menyala.
Pintu terbuka tanpa suara dan Eros melangkah masuk. Ia tidak repot-repot mengetuk karena ini kamarnya. Namun, kehadirannya malam ini terasa asing, dingin, dan dipenuhi aura kekerasan yang baru saja ia lepaskan di kamar sebelah. Pipi kirinya masih memerah samar, bekas tamparan Lysandra, sebuah bukti nyata yang bisa dilihat oleh Circe.
Circe tidak menoleh. Ia tahu Eros sudah ada di sana. Ia tahu setiap detail ketegangan di bahu Eros, setiap desakan hasrat yang kini tak terpuaskan.
"Kau kembali cepat," sapa Circe, suaranya tenang, melunak seperti madu.
"Apakah adik kecilmu tidak menghiburmu?"
Eros tidak menjawab. Ia hanya berdiri di ambang pintu, matanya yang gelap mengunci pada Circe. Ia mencoba memproses adegan yang ia lihat. Piring kristal, stroberi merah, dan Circe dengan pose yang begitu menggoda dan dingin. Semuanya terasa seperti jebakan yang telah ia injak.
Circe meraih salah satu buah stroberi yang paling besar dan merah, mengangkatnya perlahan ke udara. Eros melihatnya, buah itu tampak seperti hati yang berdarah di bawah cahaya lampu.
"Kau ingin tahu apa yang kucium di mulutmu tadi?" tanya Circe, akhirnya menoleh, tatapannya menyindir.
"Wangi parfumku. Membosankan."
Eros mengencangkan rahangnya, berjalan pelan ke tengah ruangan.
"Cukup, Circe."
"Cukup?" Circe tersenyum puas.
"Tapi permainan baru saja dimulai, Eros. Bukankah kau baru saja bertemu dengan Adik Stroberi itu?"
Eros menegang. Ia ingat kata-kata Circe di awal, gambaran hasrat yang disulut istrinya. Circe tahu segalanya.
"Kau selalu tahu cara membuatku gila," desis Eros, suaranya dipenuhi amarah.
"Oh, aku tidak membuatmu gila," koreksi Circe, nada suaranya lembut, tetapi menusuk.
"Aku hanya melepaskan kegilaan yang sudah ada di sana. Lihat ini."
Dengan gerakan yang disengaja dan memukau, Circe mengangkat buah stroberi itu. Ia perlahan menjilati ujung buah itu, memutar lidahnya di permukaan stroberi. Gerakan itu sensual, intim, dan memanjakan. Ia lalu memasukkan setengah buah itu ke dalam mulutnya, mengisapnya perlahan, membiarkan buah itu basah oleh air liurnya. Kemudian, dengan mata terkunci pada Eros, ia mengeluarkan stroberi itu lagi, yang kini berkilauan basah dan berlendir.
Eros menegang seluruhnya. Dasi yang tadi ia lepas di kamar Lysandra terasa kembali mencekiknya. Pikirannya langsung melompat bukan pada Circe yang melakukan tindakan menggoda itu, tetapi pada Lysandra.
Bibir Lysandra yang rapat menantangnya, lehernya yang ia endus, ketakutan yang bercampur amarah di mata gadis itu. Eros membayangkan dirinya yang melakukan hal itu pada Lysandra, memaksa Lysandra meresapi buah stroberi itu dengan hasratnya.
"Kenapa? Kau membayangkan apa?" tanya Circe, suaranya seperti bisikan yang keluar dari sudut tergelap pikiran Eros.
Eros masih diam, hanya napasnya yang menderu keras yang mengisi keheningan. Keheningan yang hanya memicu imajinasinya.
"Bagaimana jika kau melakukan ini pada Adik Stroberi itu, Eros?" Circe memiringkan kepalanya, matanya bersinar geli.
"Coba bayangkan, akan sangat menggairahkan. Bagaimana lidahmu bertemu dengan lidahnya saat kau memaksanya merasakan rasa manis ini? Bagaimana jus stroberi bercampur dengan air liur kalian?"
Circe bangkit dari kursi, menjatuhkan piring stroberi itu ke meja samping, menimbulkan bunyi klik yang nyaring. Ia berjalan mendekat ke Eros, robe tipisnya berkibar mengikuti langkahnya. Ia berdiri begitu dekat, memaksanya untuk menatap bekas tamparan di pipi Eros.
"Dia berani menamparmu," bisik Circe, ibu jarinya menyentuh lembut bekas tamparan itu.
"Adikmu yang manis itu berani melawan Dewa Hasrat. Penolakan itu. Bukankah itu yang paling kau nikmati, Eros? Rasa tantangan? Rasa kepemilikan total setelah penolakan yang keras?"
Circe tertawa kecil, tawa yang tak mengandung kebahagiaan, hanya perhitungan dingin.
"Aku tahu kau tidak suka kekerasan, tapi aku suka bagaimana setiap penolakan Lysandra membuat obsesimu makin tebal, makin kuat. Setiap penolakan adalah lapisan yang membuatmu tidak akan pernah melepaskannya. Mantraku berhasil, bukan? Aku tidak perlu mantra aneh-aneh, Eros. Aku hanya perlu menyentuh sedikit bagian gelap dalam pikiranmu, dan kau akan melakukannya sendiri."
"Kau iblis," desis Eros, suaranya nyaris tak terdengar.
"Aku istrimu," koreksi Circe.
"Dan aku tidak ingin wanita lain memiliki anak darimu, Eros. Kau hanya bisa memberi anak pada Lysandra, dan itu akan menjadi cucu yang paling Ayah impikan. Sebuah hadiah yang terlarang."
Circe mundur selangkah, menatap Eros dari ujung kaki hingga kepala.
"Sekarang, pergilah. Pergi ke sana dan lakukan apa yang harus kau lakukan. Aku tidak akan mengganggu. Aku akan menjadi dinding bisu di antara kau dan dia. Tapi ingat, setiap napas yang kau ambil, setiap sentuhan yang kau berikan padanya, itu adalah hadiah dariku. Kau akan selalu berutang padaku, Eros."
Ia membalikkan badan dan berjalan menuju ranjang.
"Pikirkan itu saat kau membatalkan perjodohan Lysandra. Dan pikirkan itu saat kau mencoba memuaskan hasratmu pada dewimu. Aku akan menunggumu di sini. Selamat malam, suamiku."
Circe berbaring membelakangi Eros, mengakhiri percakapan itu. Eros berdiri di sana, sendirian, di tengah kamarnya yang dingin, dihancurkan oleh hasratnya sendiri yang kini dilepaskan dan dimanipulasi oleh istrinya.
Ia tahu, Lysandra adalah taruhannya, dan Circe adalah dalangnya.