Eryndor, tahun 1257 Era Cahaya. Di puncak tebing yang menantang langit, Kerajaan Mirror Heart berdiri sebagai mercusuar harapan, tembok kristalnya memantulkan sinar matahari seperti cermin yang menangkap jiwa dunia. Namun, di bawah kilau itu, bayang-bayang perang merayap. Darah membasahi batu, pedang bernyanyi dalam irama kematian, dan jeritan memecah keheningan.
Hari ini, nasib sebuah kerajaan ditentukan oleh keberanian seorang raja—dan pengorbanan yang akan mengguncang takdir. Langit di atas Kerajaan Mirror Heart memerah, seolah langit sendiri menangis darah. Awan tebal bergulung seperti ombak, menyapu cakrawala dengan warna merah tua yang mengerikan, seakan meramalkan kehancuran.
Di lembah di bawah tebing, suara pedang beradu bercampur dengan pekikan prajurit yang gugur, setiap dentang besi menjadi nada dalam simfoni perang yang tak kenal ampun. Asap mengepul dari ladang yang terbakar, membawa bau logam dan abu yang menyengat, sementara angin membawa jeritan mereka yang masih memperjuangkan napas terakhir.
Di tengah kekacauan itu, Raja Vince Glory berdiri tegak di halaman istana, jubahnya yang dahulu megah kini robek dan berlumur darah. Rambutnya yang perak, mulai memutih di usia empat puluh tahun, berkibar tertiup angin yang membawa aroma kematian. Di tangannya, pedang bercahaya lembut, dihiasi ukiran Rune of Shield, simbol kuno yang telah menjaga Kerajaan Mirror Heart selama berabad-abad. Rune Power, anugerah dari para Rune Guardian— entitas roh yang memilih manusia untuk mengendalikan elemen alam —adalah jantung kekuatan Eryndor.
Vince Glory raja saat ini, pewaris Rune of Shield, telah menjadikan perisainya benteng bagi rakyatnya, menahan serangan yang seharusnya menghancurkan dihambat oleh Rune miliknya. Namun, hari ini, perisai itu mulai retak, seperti kaca yang dihantam badai.
“Drap… drap… drap!”
Langkah kaki berat mengguncang koridor aula utama, batu-batu kristal di dinding memantulkan bayangan yang bergetar. Seorang prajurit muda, wajahnya pucat dan penuh peluh, berlari masuk, zirahnya compang-camping, luka di lengannya berdarah. Matanya, bagaimanapun, menyala dengan semangat yang belum padam.
“Yang Mulia!” serunya, napasnya tersengal, suaranya nyaris tenggelam dalam gemuruh perang di luar.
“Musuh telah menembus gerbang utama! Sir Alex Mercury dan pasukannya mendekat! Saya mohon, mundurlah sekarang! Biarkan kami yang menghadang mereka!”
Prajurit lain di aula, sebagian besar terluka, menoleh ke arah Raja Vince. Mereka adalah bayang-bayang dari pasukan gagah yang pernah berdiri di sisinya, namun semangat mereka tetap utuh, ditempa oleh kepercayaan kepada pemimpin mereka. Vince menatap prajurit muda itu—Scout, seorang pemuda yang telah ia anggap seperti adik. Matanya lembut, namun menyimpan beban seorang raja yang tahu akhirnya sudah dekat. Ia melangkah maju, tangannya menepuk pundak Scout dengan kehangatan yang kontras dengan dinginnya perang.
“Seorang raja yang meninggalkan rakyatnya bukanlah seorang raja,” katanya, suaranya tegas namun penuh kasih, seperti pelita di tengah badai.
“Kalian telah bertarung dengan gagah berani. Sekarang, izinkan aku memimpin kalian sekali lagi.” Scout menunduk, air mata menggenang di matanya yang cokelat, wajahnya yang penuh debu tak mampu menyembunyikan kepedihan.
“Tapi, Yang Mulia… Anda harus hidup! Kerajaan ini membutuhkan Anda!” Suaranya terbata, penuh ketakutan akan kehilangan sosok yang telah menjadi bapak bagi para prajurit muda seperti dirinya.Vince tersenyum tipis, namun di balik senyum itu, ada kesedihan yang tak terucapkan. Matanya menelusuri aula, tempat obor-obor berkedip di dinding kristal, memantulkan bayangan prajurit yang berdiri dengan pedang teracung.
“Aku akan hidup, Scout, jika kalian semua juga hidup,” katanya, suaranya seperti doa yang dipanjatkan ke langit.
Ia berbalik, menghadap para prajurit yang kini menatapnya dengan campuran kagum dan cemas.
“Kita tidak bertarung untuk mati. Kita bertarung untuk hidup—untuk masa depan, untuk mereka yang kita lindungi. Prajuritku, kuatkanlah hati kalian! Kita akan menghadapi musuh ini bersama-sama!”
Aula bergemuruh dengan sorakan, suara mereka mengguncang dinding kristal hingga seolah istana itu hidup, bernapas bersama semangat mereka.
“Hidup Raja Vince Glory!” teriak mereka serentak, pedang diacungkan, zirah berkilau di bawah cahaya obor.
Namun, di balik sorakan itu, Vince menyimpan rahasia yang berat. Ia tahu, ini bukan hanya pertarungan untuk kerajaan, tetapi untuk seluruh roh di Eryndor. Dan ia tahu, darahnya mungkin menjadi harga yang harus dibayar.
Di luar tembok istana, pasukan musuh berbaris rapi di lembah, bayang-bayang mereka memanjang di bawah sinar matahari yang meredup. Di depan mereka, dua sosok menunggangi kuda, siluet mereka menjulang seperti dewa perang yang turun dari legenda.
Sir Alex Mercury, mantan penasihat Raja Vince, duduk di atas kuda hitam, wajahnya merah padam karena amarah yang telah lama terpendam. Jubahnya yang dulu megah kini digantikan zirah kelam, dihiasi simbol naga yang berkilau merah—lambang Rune of Dragon, kekuatan yang membakar apa saja yang menghambat jalannya.
Matanya menyipit, penuh kebencian yang telah menggerogoti hatinya selama bertahun-tahun, sejak Vince menolak ambisinya untuk menguasai Rune Relics, artefak kuno yang konon bisa mengendalikan semua Rune Power.
Di sampingnya, Hack Maximus, pembunuh legendaris yang namanya hanya diucapkan dalam bisikan ketakutan, menatap ke depan dengan ekspresi dingin. Kabut gelap samar mengelilingi tubuhnya, seolah kegelapan itu hidup, merayap seperti ular di udara. Rune of Darkness miliknya adalah anomali, kekuatan yang ditakuti bahkan oleh para Rune Guardian itu sendiri. Matanya, merah seperti bara, tak berkedip, seolah melihat dunia sebagai kanvas yang akan ia nodai. Kuda yang ditungganginya gelisah, merasakan aura mengerikan yang memancar dari tuannya.
“Rune Shield k*****t itu!” geram Sir Alex, tinjunya mengepal hingga zirahnya berderit.
“Karena perisai Vince, kita kehilangan separuh pasukan kita! Jika bukan karena dia, kerajaan ini sudah jatuh sejak dulu ke tanganku!” Suaranya penuh racun, setiap kata seperti pisau yang ingin menembus hati musuhnya.
Hack menoleh sekilas, matanya tajam seperti pisau yang disembunyikan dalam bayang-bayang. “Tenangkan dirimu, Alex. Kesabaran adalah kunci kesuksesan,” katanya, suaranya datar, tanpa emosi, namun ada nada mengerikan yang terselip di dalamnya, seperti bisikan kematian.
“Kerajaan ini sudah dipastikan akan jatuh, dan kau akan menjadi rajanya, seperti yang ku janjikan padamu. Jangan biarkan amarahmu mengacaukan rencana kita.”
Sir Alex mendengus, wajahnya memerah, tetapi ia tak membantah. Ia tahu, tanpa Hack, rencana kudetanya hanyalah omong kosong.
Hack bukan sekadar pembunuh; ia adalah legenda yang ditakuti di seluruh Eryndor, seorang pria yang bisa menelan cahaya dan rune dengan kegelapannya. Namun, di balik topeng ketenangannya, Hack menyimpan rahasia yang bahkan Sir Alex tidak ketahui—agenda yang terhubung dengan Rune Relic of Dominion, artefak yang konon bisa menundukkan para Rune Guardian sendiri. Untuk Hack, Mirror Heart hanyalah langkah pertama.
Kembali di dalam aula istana, Vince berdiri di tengah, suaranya menggema seperti lonceng yang memanggil jiwa-jiwa prajuritnya. Cahaya obor menari di dinding kristal, menciptakan ilusi bahwa aula itu hidup, bernapas bersama mereka.
“Bagi dua pasukan!” perintahnya, suaranya penuh otoritas namun tetap membawa kehangatan seorang ayah.
“Satu kelompok, evakuasi warga ke ruang bawah tanah. Di sana ada dua kapal yang akan membawa mereka ke tempat aman. Prioritaskan keselamatan mereka!”
“Siap, Yang Mulia!” jawab prajurit dengan disiplin, segera bergerak seperti air yang mengalir di sungai.
Langkah kaki kecil warga—wanita yang memeluk anak-anak mereka, orang tua yang berjalan tertatih, anak-anak yang menangis pelan—menggema di koridor menuju ruang bawah tanah. Ketakutan membayang di wajah mereka, namun ada percikan harapan di mata mereka, ditempa oleh kepercayaan kepada raja yang selalu menempatkan rakyatnya di atas dirinya sendiri. Vince adalah lebih dari seorang penguasa; ia adalah pelita yang menerangi malam terkelam.
Vince kemudian memanggil Scout, suaranya lembut namun penuh otoritas. “Scout, menghadaplah padaku.”
Scout, pemuda berusia tujuh belas tahun dengan rambut cokelat acak-acakan dan mata yang penuh semangat, melangkah maju dari barisan prajurit. Jubahnya robek, tangannya gemetar karena kelelahan, namun ia berdiri tegak, seolah menolak untuk menyerah pada keputusasaan. Vince melambaikan tangan, meminta Scout mendekat. Dalam bisikan yang hanya bisa didengar oleh mereka berdua, ia berkata,
“Bawa anakku keluar dari negeri ini. Dia ada di kamar atas, sedang tertidur. Jagalah dia seperti adikmu sendiri. Pergilah bersama warga dan tinggalkan Mirror Heart. Ini perintah terakhirmu.” Suaranya penuh kelembutan, namun ada nada final yang tak bisa dibantah, seperti pintu yang ditutup perlahan.
Scout menunduk, air mata mengalir di pipinya, menciptakan jejak di wajahnya yang penuh debu.
“Maaf, Yang Mulia… saya tidak sanggup meninggalkan Anda,” bisiknya, suaranya gemetar, penuh rasa sakit yang tak terucapkan.
Ia telah kehilangan keluarganya dalam perang sebelumnya; Vince adalah satu-satunya rumah yang ia miliki.
Vince menatapnya tajam, namun penuh kasih, matanya seperti cermin yang memantulkan jiwa Scout.
“Scout, kau adalah keluargaku. Kalian semua adalah keluargaku,” katanya, suaranya seperti pelukan hangat di tengah badai.
“Aku akan melindungi kalian, meski nyawaku taruhannya. Sekarang, laksanakan perintahku!”
Dengan hati yang terasa seperti pecahan kaca, Scout menuruti perintah. Ia berlari menuju kamar pangeran, air mata membasahi wajahnya, namun tekadnya membaja. Di dalam hatinya, ia berjanji untuk tidak hanya menyelamatkan pangeran, tetapi juga raja yang ia anggap sebagai ayah.
Koridor istana terasa tak berujung, dinding kristalnya memantulkan bayangannya yang berlari, seolah mengejek ketidakberdayaannya.
Di kamar pangeran, Scout menemukan keranjang bayi di sudut ruangan, diterangi cahaya bulan yang menyelinap melalui jendela. Pangeran kecil tertidur pulas, wajahnya damai, tak tersentuh oleh kekacauan yang mengguncang dunia di luar. Rambutnya yang halus berwarna perak, mirip ayahnya, berkilau lembut. Scout berlutut, jari-jarinya gemetar saat ia mengecup kening bayi itu.
“Pangeran, aku akan melindungimu,” bisiknya, suaranya penuh tekad, meski hatinya hancur. Ia merapikan kerah baju pangeran, lalu memejamkan mata, menarik napas dalam untuk menenangkan jiwa yang bergolak.
“Wuuung!” Cahaya putih memancar dari segel di bawah kakinya, menerangi ruangan dengan kilau yang seolah hidup. Scout adalah Summoner Beast, pemilik Rune of Summoning, anugerah langka yang memungkinkannya memanggil makhluk mistis dari alam roh.
“Phoenix, hadirlah!” teriaknya, suaranya menggema seperti lonceng di tengah keheningan. Asap menyelimuti ruangan, diikuti pekikan nyaring yang menggetarkan udara. Seekor phoenix raksasa muncul, sayapnya berkobar dengan api suci yang berwarna oranye dan emas, menerangi dinding kristal dengan cahaya yang hangat namun menakutkan. Matanya, seperti dua permata yang menyala, menatap Scout dengan pengertian yang mendalam.
“Bawa pangeran keluar dari negeri ini!” perintah Scout, suaranya penuh otoritas meski dadanya terasa sesak. Phoenix mencengkeram keranjang bayi dengan cakarnya yang lembut, lalu melesat keluar melalui jendela, sayapnya meninggalkan jejak api di langit malam. Scout menyaksikan bayangan burung itu menghilang di cakrawala, hatinya terasa kosong namun penuh harapan.
“Sekarang, saatnya menyelamatkan raja,” gumamnya, lalu berlari kembali ke aula, kakinya terasa berat namun didorong oleh tekad yang tak tergoyahkan.
Di halaman istana, Sir Alex dan Hack berdiri di depan pasukan mereka, bayang-bayang mereka memanjang seperti monster yang menari di bawah sinar matahari yang meredup.
“Vince! Keluar, pengecut!” teriak Sir Alex, suaranya menggema hingga ke dalam istana, penuh kebencian yang telah membusuk selama bertahun-tahun.
Pasukan pemanah musuh mengarahkan busur mereka, anak panah mereka berkilau di bawah cahaya yang memudar, siap menembus apa saja yang bergerak.Di dalam aula, Vince bersiap, pedangnya bersemayam di sisi tubuhnya seperti sahabat setia.
“Tamu kita sudah tiba,” katanya, suaranya tenang namun penuh otoritas, seperti laut yang menyembunyikan badai di kedalamannya.
“Acungkan senjata kalian, prajuritku!” Prajurit mengangkat pedang mereka, zirah mereka berkilau di bawah cahaya obor, semangat mereka menyala meski tubuh mereka lelah.
Namun, saat pintu istana terbuka perlahan, Vince mengangkat tangan, mengaktifkan Rune of Shield.
“Shield of Justice!” teriaknya, suaranya mengguncang udara seperti guntur. Cahaya keemasan memancar dari pedangnya, membentuk perisai raksasa yang menyelimuti istana, dinding energinya berkilau seperti kristal yang hidup. Perisai itu mengurung prajuritnya di dalam, melindungi mereka dari kematian yang menanti di luar.
“Yang Mulia, apa ini?!” teriak seorang prajurit, memukul perisai itu dengan pedangnya, namun energi itu tak bergeming, kuat seperti kehendak raja mereka.Vince berbalik, senyumnya pahit, matanya memantulkan cahaya obor seperti cermin yang retak.
“Kalian adalah prajurit terbaikku, tapi perjuangan kalian berakhir di sini,” katanya, suaranya penuh kasih namun tegas.
“Pergilah melalui lorong rahasia di aula. Kapal menunggu kalian. Ini perintah terakhirku.” Ia melangkah sendirian menuju pintu, jubahnya berkibar seperti sayap yang patah, pedangnya bersinar dengan cahaya yang seolah menantang kegelapan.
Prajurit menangis, memohon untuk bertarung bersamanya, suara mereka seperti paduan suara yang patah hati. Namun Vince tak bergeming.
“Patuhi rajamu!” teriaknya, suaranya menggema seperti lonceng terakhir sebelum fajar.
Dengan langkah mantap, ia melangkah keluar, menghadapi Sir Alex dan Hack, seorang raja melawan dunia yang ingin menghancurkannya. Di belakangnya, aula terasa hening, seolah waktu sendiri berhenti untuk menyaksikan pengorbanan seorang pemimpin.