Bayang-Bayang Rune

1567 Words
Langit kelabu yang menyelimuti Desa Circle, meramalkan badai yang akan datang. Desa ini, dengan rumah-rumah kayu sederhana yang berdiri di lereng bukit hijau, dikelilingi oleh hutan lebat yang menyimpan rahasia kuno. Udara lembab beraroma tanah basah dan daun busuk, bercampur dengan hembusan angin yang semakin kencang, membawa aroma mistis dari puncak gunung yang diselimuti kabut abadi. Angin menderu, membawa bisikan rahasia yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang terhubung dengan Rune Power—kekuatan kuno yang mengalir di nadiku, warisan dari nenek dan kakekku. Rune Power, energi elemental yang lahir dari jiwa bumi itu sendiri, telah menjadi bagian dari kehidupanku sejak kecil, membentukku menjadi seorang pengelana yang tak kenal lelah. Di sekitarku, meja-meja kayu, kursi, dan senjata sederhana penduduk desa—tombak dan pedang—berserakan, terhempas oleh ledakan Rune Anginku tadi. Debu beterbangan, menciptakan kabut tipis yang menyelimuti lapangan berumput hijau yang kini penuh lubang-lubang kecil akibat hembusan angin. Penduduk desa, yang sebagian besar adalah petani dan pemburu yang hidup sederhana di bawah bayang-bayang pegunungan, berhamburan pergi menjauh, wajah mereka pucat pasi. Semua mata di desa ini tertuju padaku. Mata mereka berbinar, seolah melihat seorang pahlawan dari legenda kuno yang hidup kembali. Namun, kebanyakan wajah penduduk desa dipenuhi ketidakpastian, seolah aku adalah petaka sekaligus harapan yang tak mereka mengerti. Bisikan-bisikan mulai terdengar, "Siapa dia? Rune Power seperti itu... apakah dia penyihir gelap?" Aku bisa merasakan ketakutan mereka seperti hembusan angin dingin yang menyusup ke tulang. Di tengah kerumunan, seorang kakek berjubah putih melangkah maju. Tongkatnya yang diukir simbol-simbol kuno bergetar pelan, seolah hidup. Simbol-simbol itu, berbentuk spiral dan garis-garis yang menyerupai aliran angin dan api, seolah berdenyut dengan energi tak kasat mata, membuat udara di sekitarnya bergetar. Wajahnya keriput namun matanya tajam, memancarkan aura yang membuat bulu kudukku merinding. Aura itu seperti tekanan tak terlihat, seolah gunung itu sendiri menekan bahuku. Ia tersenyum misterius, seolah tahu sesuatu yang tak ku sebutkan. Langkahnya lambat tapi pasti, seolah waktu berhenti untuknya, dan penduduk desa memberi jalan dengan hormat, seolah ia adalah penjaga desa yang tak tergantikan. "Kau hebat, Tuan!" ujarku, berusaha meredakan ketegangan dengan nada ramah, meskipun jantungku masih berdegup kencang. Aku ingat betapa ledakan Rune Anginku tadi seharusnya bisa mengguncang siapa saja, tapi kau bahkan tak bergeming!" Aku mengulurkan tangan, berharap gestur ini bisa mencairkan suasana. Tangan itu gemetar sedikit, sisa adrenalin dari ledakan tadi, tapi aku berusaha tampak percaya diri. "Namaku Wing Glory. Salam kenal." Namun, pandangan penduduk tetap tajam, penuh kecurigaan. Kakek itu—yang kemudian kukenal sebagai Tuan White Sphere—hanya mengangguk kecil, tangannya tak menyambut uluran ku. "Dari mana asalmu, pemuda?" Suaranya tenang namun penuh otoritas, seperti angin yang mengalir di pegunungan, lembut tapi tak bisa diabaikan. Suara itu bergema di d**a, seolah berasal dari dalam bumi itu sendiri, membuat penduduk desa terdiam sepenuhnya. "Aku hanya seorang petualang dari Desa Pasundan," jawabku tegas, menatap matanya yang dalam. Kata "Pasundan" sepertinya menyentuh sesuatu dalam dirinya. Wajahnya berubah, seolah kenangan lama mengalir kembali ke pikirannya. Matanya menyipit, dan untuk sesaat, aku melihat bayangan masa lalu di sana—pertempuran epik, aliansi kuno, dan pengkhianatan yang membentuk sejarah Rune Power. Ia melamun sejenak, lalu bertanya dengan nada yang lebih tajam, "Apa kau mengenal seseorang yang bernama Angela Manik?" DEGGGHHHH! Jantungku seakan berhenti. Angela Manik adalah nenekku, sosok yang mengajarkanku dasar-dasar Rune Power dan ilmu Spiritual di bawah pohon beringin besar di Pasundan. Pohon itu, dengan akar-akarnya yang menjalar seperti vena bumi, adalah tempat suci di mana nenek menceritakan legenda para pemegang rune yang menjaga keseimbangan dunia dari kekacauan elemental. Bagaimana ia tahu nama nenek? Alis ku berkerut, pikiranku dipenuhi pertanyaan. Apakah ia bagian dari masa lalu nenek? Apakah ada rahasia yang disembunyikan dariku selama ini? Pikiranku melayang ke kenangan malam-malam di bawah bulan purnama, di mana nenek mengajarkanku mantra untuk memanggil angin, suaranya lembut tapi tegas, "Wing, Rune bukan sekadar kekuatan; ia adalah jiwa yang harus kau hormati." "Kenapa kau tidak menjawab, pemuda?" Tiba-tiba, White Sphere sudah berdiri di samping kananku, begitu dekat hingga aku bisa merasakan aura kekuatannya yang menyesakkan, seperti tekanan udara sebelum badai. Auranya seperti medan gravitasi yang tak terlihat, membuat napas ku sesak dan lututku lemas. JREEEEENNNNGGGG! Aku tersentak. Bagaimana ia bisa bergerak secepat itu tanpa aku sadari? Rune Angin milikku seharusnya peka terhadap pergerakan sekecil apa pun, bahkan daun yang jatuh dari pohon! Mulutku ternganga, keringat mulai mengucur. "Kau tampak pucat," bisiknya dengan nada yang hampir mengejek, membuat jantungku semakin berdebar kencang. Bisikannya seperti hembusan angin dingin yang menyusup ke telinga, membawa aroma kayu kuno dan rahasia yang terkubur. SYUUUTTTTT! Penasaran sekaligus was-was, aku memutuskan untuk menguji kemampuannya. Dengan Rune Angin, aku berpindah tempat dalam sekejap, melesat ke sisi lain lapangan desa. Angin menderu di sekitarku, membentuk pusaran kecil yang mengaduk debu dan daun kering. Kecepatan ku seperti kilat, meninggalkan bayangan samar di udara, teknik yang telah ku sempurnakan selama perjalanan panjangku melintasi hutan-hutan gelap dan sungai-sungai deras. Namun, anehnya, White Sphere tetap berada di samping kananku, seolah tak pernah bergerak. Aku mempercepat gerakanku, mendorong Rune Angin hingga batasnya. WUUUUSSSSSSHHHHHH! Angin meraung, mengguncang benda-benda di sekitar, pohon-pohon di pinggir lapangan bergoyang hebat, daun-daun beterbangan seperti badai mini yang lahir dari kemarahanku. Penduduk desa berteriak ketakutan, beberapa berlari mencari perlindungan, tapi Kakek White Sphere tetap ada di sana, wajahnya tak berubah, ekspresinya datar seperti patung batu kuno yang tak tergoyahkan oleh waktu. Aku mencoba mengecohnya, berpindah ke kiri, ke kanan, ke belakang—tetapi ia selalu ada di sampingku, tak tergoyahkan. Setiap gerakan seperti tarian maut, angin menyapu tanah membentuk corak spiral yang indah tapi mematikan, tapi ia seolah bagian dari angin itu sendiri. Keringatku mengalir deras, napas ku tersengal. Ini bukan kecepatan biasa. Ini bukan soal mengikuti gerakanku. Ia seolah *menempel* padaku, seperti bayangan yang tak bisa kulepaskan. Apa ini kemampuan dari rune? Apakah ini hanya halusinasi? Pikiranku berputar, mencari jawaban. Aku ingat cerita nenek tentang rune-roh, kekuatan yang bisa memanipulasi persepsi, membuat musuh terjebak dalam mimpi buruk abadi. Tiba-tiba, kenangan pelajaran nenekku muncul di benakku. Di bawah pohon beringin, ia pernah berkata, "Wing, jika kau merasa terjebak dalam tipuan, fokuslah pada inti Rune milikmu. Biarkan ia memurnikan jiwamu." Pohon itu, dengan dahan-dahannya yang menjuntai seperti tangan pelindung, adalah saksi bisu pelajaran-pelajaran itu. Aku segera memasang kuda-kuda, merenggangkan kedua kakiku, dan membuka telapak tanganku lebar-lebar. Dengan gerakan mantap, aku merapatkan kedua telapak tangan di dadaku, menarik napas dalam-dalam, dan menahannya beberapa detik. Kekuatan Rune Angin mengalir di nadiku, membentuk pusaran kecil yang mengelilingiku, seperti badai kecil yang lahir dari dalam diriku. Energi itu berdenyut, hijau pucat seperti cahaya aurora di malam gelap, membersihkan pikiranku dari kabut ketakutan. Lalu, dengan hentakan kuat, aku menghembuskan napas dan menghantamkan kedua tanganku ke bawah. JREEEEEENNNNNGGGG! Cahaya hijau pucat memancar dari tubuhku, memecah udara di sekitar. Dunia seolah bergetar sejenak, tanah lapangan retak-retak kecil, angin meraung seperti jeritan roh-roh kuno, dan ketika pandanganku kembali jernih, White Sphere masih berdiri di depanku, tak berubah sedikit pun. Namun, kini aku yakin—ini bukan ilusi. Kekuatannya nyata, dan ia jauh melampaui apa yang pernah kulihat sebelumnya, bahkan dari pelajaran nenekku. Ini seperti menghadapi dewa rune itu sendiri, kekuatan yang bisa membengkokkan realitas. Ia tiba-tiba tersenyum lebar, mengelus janggutnya. "Sepertinya Angela dan Dharma sudah banyak mengajarimu! SHISHISHISHI!" Tawanya menggema, hangat namun penuh rahasia, seperti seorang guru yang bangga sekaligus menyimpan rahasia besar. Tawanya bergema di pegunungan, seolah memanggil gema dari lembah-lembah jauh, membuat burung-burung beterbangan dari sarangnya. Aku membeku. Dharma? Itu nama kakekku! Bagaimana ia tahu? Kenangan tentang kakek meluap—sosok tinggi dengan mata tajam, yang menghilang dalam kabut pegunungan setelah pertempuran melawan bayang-bayang gelap, meninggalkan misteri yang belum terpecahkan. "Apa kau mengenal nenek dan kakekku?" tanyaku, nafasku masih tersengal, berusaha menenangkan diri. Tubuhku gemetar, campuran antara kelelahan dan kegembiraan atas kemungkinan jawaban atas misteri keluargaku. Ia melangkah mendekat, tongkatnya mengetuk tanah dengan ritme yang menenangkan, seperti detak jantung bumi. Setiap ketukan seolah menyuntikkan ketenangan ke udara, meredakan angin yang masih berpusar di sekitarku. "Sebelumnya, perkenalkan, aku White Sphere," katanya dengan sopan, seolah baru kali ini ia benar-benar memperkenalkan diri. Nama itu seperti legenda—White Sphere, penjaga rune yang konon hidup ratusan tahun, teman seperjuangan kakek dan nenek di masa lalu. "Tenanglah, tadi aku hanya main-main saja denganmu. Aku hanya menguji kemampuanmu! SHISHISHISHI!" Ia menepuk pundakku, tawanya cengengesan, namun aku tetap waspada, memasang kuda-kuda untuk berjaga-jaga. Pengelana seperti aku belajar untuk tidak mudah percaya, bahkan pada kakek yang tampak ramah. Tepukannya seperti hembusan angin hangat, tapi aku tahu di balik itu ada kekuatan yang bisa menghancurkan gunung. "Apa maksud dari semua ini?" tanyaku, kebingungan memenuhi pikiranku. Apa yang ia inginkan dariku? Dan mengapa ia menyebut nama nenek dan kakekku dengan begitu akrab? Pikiranku berpacu, membayangkan kemungkinan—mungkin ia bagian dari aliansi kuno, mungkin musuh yang menyamar, atau mungkin kunci untuk membuka rahasia Rune Power yang lebih besar. "Apa Angela tak pernah bercerita tentangku?" balasnya, alisnya terangkat, seolah kecewa namun tak terkejut. Ekspresinya seperti seorang sahabat lama yang ditinggalkan, penuh nostalgia. "Aku mengerti. Ia tak ingin kau tahu sebelum waktunya. Ikutlah denganku." Aku ragu sejenak, memandang penduduk desa yang kini mulai tenang, tapi mata mereka masih penuh tanya. Langit semakin gelap, badai mendekat, dan angin mulai menderu lagi, seolah memanggilku untuk mengikuti. Dengan hati penuh pertanyaan, aku mengangguk, siap memasuki babak baru petualangan ku yang epik, di mana rahasia leluhur dan kekuatan rune akan terungkap, membawa aku ke pertempuran yang lebih besar dari yang pernah kubayangkan. Desa Sukawana, dengan pegunungan nya yang menjulang, seolah menyaksikan kelahiran pahlawan baru, di tengah hembusan angin yang tak pernah berhenti.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD