“Awal Perjalanan Sang Pembawa Harapan”

1896 Words
Langit di atas pesisir pantai Desa Pasundan bersinar dengan pelangi yang memukau, sisa-sisa badai yang baru saja dihentikan Wing Glory masih terasa di udara. Teriakan warga menggema, penuh kegembiraan dan kebanggaan, mengisi malam yang kini cerah dengan sorak sorai. “Wing! Wing! Kau pahlawan kami!” teriak mereka, suara mereka bercampur dengan tawa dan tepuk tangan. Api unggun berkobar di tepi pantai, menerangi wajah-wajah penuh harap, sementara musik tradisional desa—dentang kendang dan alunan suling—mengiringi pesta yang merayakan kemenangan Wing atas tornado yang nyaris menghancurkan desa mereka. Di tengah keriuhan, Kakek Dharma Perkasa dan Nenek Angela Manik mendekati Wing, yang berdiri di dekat tepi air, masih memegang pedang kosong yang kini telah terbukti sebagai wadah kekuatan 'Rune Power Angin' miliknya. “Kau berhasil…!” ucap mereka serentak, wajah mereka berseri-seri dengan kebanggaan. Angela, dengan penglihatan batinnya yang tajam, bisa melihat aura hijau zamrud yang kini semakin kuat di sekitar Wing, sementara Dharma, sang Penjelajah Waktu, memandang cucunya dengan mata penuh harap. Wing membalas senyuman mereka, hatinya dipenuhi kehangatan meski masih bergulat dengan beban takdir yang baru ia sadari. Saat itu, di bawah sinar bulan yang mulai muncul dari balik awan, Wing merenungkan penglihatan yang ditunjukkan Dharma melalui 'Rune of the Time'. Gambar-gambar tentang Scout yang mengorbankan nyawanya, Raja Vince yang bertarung hingga titik darah penghabisan, dan terombang-ambingnya di tengah lautan telah mengubah pandangannya tentang hidup. “Sekarang aku bisa memahami apa yang Nenek dan Kakek ingin tunjukkan kepadaku,” pikirnya. “Semua kenyataan yang ditunjukkan kepadaku membuatku tersadar bahwa hidup bukan untuk diri sendiri, tetapi untuk orang-orang yang berharga di dalam hidupku ini.” Dengan tekad yang membara, ia menatap kakek dan neneknya, lalu berkata dengan suara tegas, “Kakek, Nenek! Aku sudah memutuskannya! Aku akan mulai berpetualang dan memenuhi takdirku!” Matanya menyala, penuh keyakinan yang tak tergoyahkan. Dharma dan Angela hanya tersenyum, menepuk pundaknya dengan lembut, seolah telah lama menanti momen ini. Mereka bertiga berdiri bersama, menyaksikan pelangi yang masih menghias langit, diiringi sorak sorai warga yang kini memutuskan untuk mengadakan pesta perpisahan untuk Wing. Pesta itu penuh dengan kehangatan. Warga bernyanyi dengan penuh semangat, memainkan musik khas Pasundan yang mengalun lembut namun penuh jiwa. Tawa dan canda mengisi udara, menciptakan kenangan indah bagi Wing sebelum ia memulai perjalanannya. Namun, di tengah keriuhan, Wing merasa perlu menyendiri. Ia diam-diam menyelinap ke pesisir pantai, duduk di atas pasir yang masih basah, memandang langit malam yang kini tenang. Deburan ombak lembut menyisir pantai, berbeda jauh dari keganasan tornado yang ia hadapi sebelumnya. Angin bertiup sepoi-sepoi, membelai wajahnya, seolah alam sendiri ingin menenangkannya. Dengan iseng, Wing menggerakkan jari-jarinya di udara, menggunakan 'Rune Power Angin' untuk menulis kata-kata di langit. “Hidup ini memang tidak adil!!!” tulisnya, huruf-huruf hijau zamrud berkilau samar sebelum memudar. Ia menghela napas, merasakan beban takdir yang kini ia pikul. Tiba-tiba, sebuah suara lembut namun penuh wibawa terdengar dari belakangnya. “Yang kau tulis barusan memang tidak ada yang salah!!!” Wing tersentak, buru-buru menghapus tulisan itu dengan gerakan tangan cepat. BWUSSSHHHH!!! Ia menoleh, jantungnya berdegup kencang, namun tak ada siapa pun di sekitarnya. “Aneh, padahal semua orang tak bisa melihat kelakuanku yang satu ini, kecuali Nenek…” pikirnya, bingung. Nenek Angela, dengan penglihatan batinnya, selalu bisa membaca tindakan Wing, tapi suara ini terasa berbeda—lebih mistis, lebih kuat. setengah jam kemudian Angela muncul dari kegelapan, langkahnya pelan namun pasti. Ia duduk di samping Wing, matanya yang terpejam seolah menembus jiwa pemuda itu. “Apakah ada yang mengganjal hatimu, Wing?” tanyanya, nadanya penuh perhatian namun juga cemas. Wing menghela napas berat, merasakan beban di dadanya. “Aku hanya merasa tidak yakin dengan yang akan aku lakukan nanti,” keluhnya, suaranya pelan. “Aku mengerti itu, Nek! Saat aku teringat akan kekuatan orang itu, aku merasa mustahil bisa mengalahkan orang itu!” Hawa dingin menjalar di punggungnya saat ia mengingat Hack Maximus, pembunuh berdarah dingin yang ia lihat dalam penglihatan Dharma. Bayangan kabut kegelapan yang melahap segalanya masih menghantuinya, membuatnya merinding. Angela tersenyum tipis, tangannya memegang pundak Wing dengan lembut. “Itu adalah hal yang wajar. Di usiamu yang muda, kau akan menanggung beban berat seluruh dunia. Di mana mereka akan bergantung kepadamu, dan kau harus memberikan harapan maupun semangat kepada mereka,” katanya, suaranya bijaksana seperti biasanya. “Tak ada yang mustahil selama kau masih tetap yakin kau bisa melakukannya, maka kau akan mempunyai kekuatan untuk bisa mewujudkannya! Ingatlah kata itu, Wing! Resapi di dalam hati!” Ia berdiri, meninggalkan Wing seorang diri di tepi pantai, memberikan ruang baginya untuk merenung. Wing memejamkan mata, mencoba mencerna kata-kata neneknya. Tiba-tiba, suara lembut yang sama terdengar lagi, seolah berasal dari dalam dirinya sendiri. “Di kehidupan hanya ada dua pilihan: benar dan salah! Jika kau merasa yang kau pilih itu benar, maka jangan pernah ragu! Majulah dengan keyakinan di hatimu!” Suara itu begitu nyata, begitu penuh kekuatan, hingga membuat bulu kuduk Wing merinding. CLINGAK… CLINGUK! Ia membuka mata, mencari-cari sumber suara itu, namun pantai tetap sepi. “Jangan-jangan tadi hantu yang ngomong!” pikirnya, panik. BRRRRRTTTTTT…! Dengan langkah tergesa, ia berlari kembali ke pesta, berusaha melupakan kejadian aneh itu. Pesta berlangsung hingga tengah malam, penuh tawa dan nyanyian. Namun, Angela dan Dharma menyuruh Wing tidur lebih awal. “Besok adalah awal petualanganmu,” kata Angela lembut, dan Wing hanya mengangguk, kembali ke kamarnya dengan hati yang bercampur antara semangat dan kecemasan. — Malam Sebelum Perpisahan — Di tengah riuhnya pesta, beberapa warga menyadari ketidakhadiran Wing. “Di mana Wing?!” tanya salah seorang penduduk, suaranya penuh kebingungan. Angela, yang sedang duduk di samping api unggun, segera menjawab, “Kalian lanjutkan saja pestanya, aku yang akan mencarinya! Aku tahu dia ada di mana sekarang!” Dengan langkah pasti, ia meninggalkan kerumunan, menuju pesisir pantai tempat Wing menyendiri. Beberapa saat kemudian, Angela kembali dengan wajah tenang. “Kita biarkan dia sendiri. Dia membutuhkan ketenangan,” katanya, duduk kembali di samping Dharma. Kakek itu memandang istrinya dengan cemas. “Apa yang terjadi, sayang?” tanyanya, menggenggam tangan Angela erat. “Percayalah, sayang. Tak ada apapun yang perlu kita cemaskan,” jawab Angela, suaranya penuh keyakinan. Namun, ia lalu menoleh ke arah warga, nadanya berubah serius. “Aku ingin meminta satu hal kepada kalian, jangan ada yang memasang wajah memelas besok, apalagi menangis di depan Wing!” Seorang kakek penduduk desa mengerutkan kening. “Kau kali ini meminta sesuatu yang sangat berat untuk kami lakukan, Nyonya Angela!” katanya, suaranya penuh emosi. “Itu benar, Nyonya! Bagi kami sangat berat untuk melakukannya!” seru penduduk lain, wajah mereka mencerminkan kesedihan. Dharma berdiri, suaranya lantang dan penuh wibawa. “Kalian pikir hanya kalian yang merasa berat untuk melakukannya?! Lalu bagaimana dengan perasaan kami?! Apakah kalian tidak memikirkannya?!” Warga terdiam, merasakan beban emosi dalam kata-kata Dharma. “Dengarkan aku semuanya! Hanya karena ego kita, jangan biarkan tekad dia untuk memenuhi takdir yang telah menunggunya goyah! Apakah kita mau dia pergi dengan perasaan menyesal karena telah meninggalkan kita?!” Suasana menjadi hening, hanya suara api unggun yang berderit samar. Warga menundukkan kepala, merenungkan kata-kata Dharma. Angela melanjutkan, memecah keheningan, “Kita sangat menyayangi dia, jadi apapun keputusan dia, kita harus mendukungnya! Hanya itu yang aku pinta dari kalian. Apakah kalian bisa menyanggupinya?” “Demi kebaikan Wing, kami sanggup melakukannya!” jawab warga serentak, tekad mereka kini menyatu. Mereka tahu, melepas Wing bukanlah hal mudah, namun mereka harus kuat demi masa depan pemuda yang mereka sayangi. — Pagi Perpisahan — Pagi itu, jam delapan, sinar matahari menyapa Desa Pasundan dengan lembut. Wing berdiri di kamarnya, mengenakan ransel sederhana yang berisi bekal untuk perjalanannya. “Persiapan sudah beres!” ucapnya, suaranya penuh semangat meski ada sedikit getar kecemasan. Dharma memasuki kamar, menyapanya dengan senyum hangat. “Kau sudah siap!” katanya, dan Wing hanya menjawab singkat, “Ya.” Angela bergabung, menambahkan, “Semua orang ingin memberikan salam perpisahan padamu.” Wing mengangguk, hatinya terasa hangat. “Iya, Nek! Aku juga ingin menyampaikan salam perpisahan kepada semuanya sekaligus berterima kasih untuk semua yang telah mereka berikan kepadaku!” jawabnya tegas. Mereka bertiga melangkah keluar rumah, menuju alun-alun desa tempat warga telah berkumpul. Wajah-wajah penuh harap menyambut mereka, namun sesuai permintaan Angela, tak ada yang menunjukkan kesedihan. Seorang penduduk melangkah maju, suaranya lembut namun penuh makna. “Wing, tak ada yang bisa kami berikan kepadamu, tapi kami akan senantiasa selalu mendoakan mu di sini!” Wing tersenyum, matanya berkaca-kaca namun ia berusaha tegar. “Kalian sudah memberiku kebahagiaan selama aku tinggal di desa, bagiku itu sudah menjadi hal yang sangat berharga. Sebelum aku pergi, aku ingin meminta maaf jika aku pernah melakukan kesalahan kepada kalian!” katanya, melontarkan senyuman tulus. Seorang warga lain menjawab, “Yang seharusnya meminta maaf adalah kami, karena kami selalu menyuruhmu, memintamu melakukan sesuatu yang seharusnya tak kau lakukan. Kami sudah banyak menyusahkan mu, maka dari itu kami semua minta maaf padamu!” Warga-warga itu, yang telah merawat Wing sejak kecil, menunjukkan kebaikan hati mereka dengan kata-kata penuh kerendahan. “Aku senang bisa menolong kalian semua!” ucap Wing, suaranya penuh keikhlasan. Angela dan Dharma menepuk pundaknya bersamaan, dan dari pandangan mereka, Wing tahu mereka bangga padanya. Dalam sekejap, ia menggunakan 'Rune Power Angin' untuk berpindah tempat, menghilang dari tengah kerumunan dengan suara, SYUUUUUUTTTTTT! Ia muncul kembali di belakang nenek dan kakeknya, langsung bersujud di hadapan mereka dan seluruh warga. “UNTUK SEMUANYA…! TERIMA KASIH BANYAK UNTUK SEGALANYA! NENEK… KAKEK! TERIMA KASIH UNTUK KASIH SAYANG YANG KALIAN BERIKAN KEPADAKU, SERTA ILMU DAN DIDIKAN KALIAN YANG SANGAT BERHARGA BAGIKU. AKU MINTA RESTUNYA… DOAKANLAH AKU… TERIMA KASIH… UNTUK SEGALANYA!” Perkataannya menggema, penuh rasa hormat dan kebanggaan. Air matanya menetes, membasahi tanah, namun ia bersujud agar tak ada yang melihat kelemahannya. Warga terdiam, terharu namun berusaha menahan tangis sesuai janji mereka. Angela dan Dharma menghampiri Wing, membantu pemuda itu berdiri. Mereka memeluknya erat, dan Wing membalas pelukan itu dengan penuh kasih. Dharma meletakkan tangan kanannya di kepala Wing, mengelus rambutnya dengan lembut. “Dimanapun kau berada dan dalam kondisi apapun juga… jangan pernah lupakan siapa kau yang sebenarnya,” katanya, suaranya bijaksana dan penuh cinta. Angela menatap Wing, matanya yang terpejam seolah melihat masa depan. “Dalam perjalanan nanti kau mungkin akan dihadapkan dengan berbagai rintangan, bagaimana cara kau menyikapinya, Wing?” tanyanya, suaranya berat namun penuh makna. Wing melangkah beberapa langkah ke depan, membalikkan badan, dan mengepalkan tangannya dengan keyakinan. “Apapun yang akan menghadang ku nanti, aku tidak akan lari ataupun sembunyi, aku akan menghadapi dan melewatinya!” katanya, matanya menyala dengan tekad yang tak tergoyahkan. Angela tersenyum, tanda bahwa ia percaya penuh pada cucunya. Dengan salam perpisahan terakhir, Wing melangkahkan kaki meninggalkan Desa Pasundan, tempat ia dibesarkan dengan cinta dan kehangatan. Di lehernya, kalung keluarga Glory bersinar samar, mengingatkannya pada warisan yang ia pikul. Angin bertiup lembut, seolah mengiringi langkahnya, dan di dadanya, 'Rune Power Angin' berdenyut, siap membawanya menuju takdir yang telah lama menantinya. — Epilog — Langit di atas Pasundan kini cerah, namun di kejauhan, bayang-bayang kerajaan Mirror Heart yang telah jatuh ke tangan Sir Alex Mercury dan Hack Maximus menanti. Wing Glory, pangeran yang ditakdirkan, melangkah dengan pedang angin di tangannya dan api tekad di hatinya. Di setiap langkahnya, ia membawa harapan warga Pasundan, kasih sayang Angela dan Dharma, serta semangat Scout yang telah mengorbankan nyawanya. Perjalanan epiknya baru saja dimulai, dan dunia menanti perubahan yang akan ia bawa. Dengan pelangi sebagai saksi, Wing berjanji untuk merebut kembali kejayaan Mirror Heart dan menjadi cahaya di tengah kegelapan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD