“Misteri Desa Tersembunyi”

1448 Words
Langit di atas dataran selatan berwarna jingga keemasan saat matahari mulai tenggelam, menciptakan bayang-bayang panjang yang menari di antara pepohonan. Wing Glory, pangeran muda yang baru memulai petualangannya, melangkah dengan mantap meninggalkan Desa Pasundan, tempat ia dibesarkan dengan cinta dan kehangatan. Delapan jam perjalanan tanpa henti membawanya ke sebuah desa kecil yang terlihat dari kejauhan, dikelilingi oleh bukit-bukit hijau dan sawah yang terhampar luas. Namun, saat ia mendekat, suasana desa itu terasa aneh—terlalu sunyi, terlalu sepi, seolah waktu telah berhenti. Tiba-tiba, sebuah benturan keras mengguncang punggungnya. BRUUUGGGGHHHH! Wing tersentak, hampir tersungkur, dan berbalik dengan cepat. Di belakangnya, seorang anak kecil berusia sekitar sembilan tahun terduduk di tanah, wajahnya basah oleh air mata. Pakaiannya compang-camping, dan matanya penuh ketakutan. Wing berjongkok di depannya, berusaha menenangkan. “Apakah kamu terluka karena tadi menabrakku?” tanyanya lembut, mengulurkan tangan untuk membantu anak itu berdiri. Namun, dengan gerakan cepat, anak itu menepis tangan Wing dan berlari kearah desa, menghilang di antara bayang-bayang bangunan. Wing mengerutkan kening, bingung. “Hmmm… Apa aku salah mengucapkan kata, yah? Atau dia lari karena melihat lelaki tampan seperti aku, yah? Hihihi… itu tidak mungkin!” gumamnya, mencoba menghibur diri sendiri. “Sudahlah, mungkin aku akan bertemu dia lagi. Aku juga mau beristirahat dulu di desa itu!” Ia melanjutkan langkahnya, bersiul riang sambil memutar-mutar ranting kecil yang ia pungut di jalan. Nyanyian kecil mengalir dari bibirnya, mencoba mengusir rasa lelah setelah perjalanan panjang. Namun, saat tiba di desa, suasana mencekam menyambutnya. Jalanan kosong, rumah-rumah berdiri kokoh namun tanpa tanda-tanda kehidupan. Tidak ada suara anak-anak bermain, tidak ada asap dari dapur, bahkan burung-burung pun seolah enggan berkicau. “Desa ini seperti tak berpenghuni!” gumam Wing, matanya menyipit saat ia menengok ke sana kemari, mencari tanda-tanda kehidupan. “Padahal desanya serta bangunan rumahnya nampak masih kokoh. Ini kan masih sore, tidak mungkin mereka tak keluar rumah. Mungkin ini budaya mereka? Setiap desa kan punya budayanya sendiri,” pikirnya, mencoba berpikir positif. Namun, keraguan mulai merayap di hatinya. “Ada apa sebenarnya di desa ini? Kenapa tak ada penghuninya? Tadi kan ada anak kecil yang masuk ke desa ini! Tidak mungkin aku salah lihat!” Ia mendekati sebuah rumah dengan kursi kayu di terasnya, duduk sejenak untuk meluruskan kaki yang pegal. Sambil memainkan ranting di tangannya dan bersiul pelan, ia mencoba menenangkan pikiran. Tiba-tiba, bulu kuduknya berdiri. Rasa dingin yang tak wajar menjalar di tulang punggungnya, giginya menggigil seolah kedinginan meski udara sore masih hangat. Ia menoleh ke kanan dan kiri, jantungnya berdegup kencang. “Jangan-jangan yang tadi… han… nnn… tuu!” gumamnya, suaranya bergetar. Usahanya untuk berpikir positif gagal total, ketakutan mulai menguasai. Dengan hati-hati, Wing bangkit dan mulai mengelilingi desa, berjalan mengendap-endap seolah tak ingin mengganggu keheningan yang mencekam. Ia mendekati sebuah rumah, mengetuk pintunya dengan sopan. TOKKKK… TOKKKK… TOKKKK! “PERMISI! PERMISIIIIII! PERMISIIIIII…! Apakah ada orang di dalam?” teriaknya, suaranya bergema di tengah keheningan. Tidak ada jawaban. Ia melangkah ke jendela, mengelap kaca yang berdebu tebal dengan telapak tangannya, lalu mengintip ke dalam. Ruangan di dalam gelap, kosong, tanpa tanda-tanda kehidupan. Ia mencoba membuka pintu, namun terkunci rapat. “Desanya cukup besar untuk ditinggali, aneh rasanya jika tak ada satu pun penghuni di desa sebesar ini,” pikirnya, menghela napas panjang. “Apakah ini desa hantu?!” gumamnya, keringat dingin mulai membasahi dahinya. Ia tertawa kecil, mencoba mengusir ketakutan, namun suaranya terdengar canggung di tengah kesunyian. Tiba-tiba, sebuah sensasi kuat mengguncang indera keenamnya. DEEEEGGGGGGGGGGHHHHHH! “Aku bisa merasakan adanya aura 'Rune Power' di desa ini!” serunya, matanya tertuju pada sebuah rumah besar di ujung desa, berdiri megah namun tampak lebih gelap dari bangunan lainnya. Ada sesuatu yang janggal, seolah rumah itu menyimpan rahasia yang tak ingin diungkap. WUUUUSSSSHHHH! Dengan Rune Power Angin, Wing berpindah tempat dalam sekejap, kini berdiri di depan pintu rumah besar itu. Aura Rune Power terasa semakin kuat, seperti denyut jantung yang berdetak di balik dinding-dinding tua. Ia mencoba membuka pintu, namun seperti rumah lainnya, pintu itu terkunci rapat. “Apa yang terjadi sebenarnya?!” gumamnya, kebingungan bercampur rasa ingin tahu yang membara. “Lalu Rune Power milik siapa yang aku rasakan saat ini?” Wing mundur beberapa langkah, mencoba memutar otak meskipun ia tahu berpikir bukan keahliannya. “Hmmm… Aku mengerti apa yang terjadi di desa ini!” tiba-tiba ia berseru, sebuah ide muncul di benaknya. “Desa ini bukan tak berpenghuni, mereka bersembunyi! Tapi dari apa?” Ia tertawa kecil, menyadari betapa konyolnya ia karena sempat takut pada “hantu.” “Berpikir bukan gayaku,” gumamnya sambil cengengesan, “tapi kata hati bilang mereka bersembunyi karena ancaman!” Kelelahan mulai terasa setelah perjalanan panjang. Wing memutuskan untuk beristirahat sejenak. Ia melepas ranselnya, meletakkannya di lantai, dan duduk bersandar di kursi teras rumah besar itu. Matanya terpejam, dan tanpa sadar, ia terlelap. Dengkurannya menggema di tengah keheningan desa, satu-satunya suara yang memecah kesunyian. Tiba-tiba, sebuah teriakan memecah mimpinya. “TOLONG… TOLONGG… TOLONGLAH KAMI…!” Suara itu berat, penuh kepedihan, seolah datang dari seseorang yang sedang menderita. Wing tersentak bangun, keringat membasahi wajahnya. “Apakah aku bermimpi?” pikirnya, napasnya tersengal seperti habis berlari. Ia menoleh ke sekitar, mencoba mencari sumber suara itu, namun desa tetap sepi. Matanya tertuju pada sebuah sumur tua di dekat rumah. Dengan langkah cepat, ia mendekati sumur itu, menimba air dengan ember yang tergantung. Ia terkejut—sumurnya dangkal, namun airnya jernih dan segar. Ia menciduk air dengan kedua telapak tangannya, membasuh wajahnya hingga rasa segar kembali. Rambutnya yang basah ia kibaskan, tetesan air berhamburan di udara. Kembali ke teras, ia mengambil ranselnya dan menggendongnya, tekadnya kini semakin kuat. “Aku tak akan meninggalkan desa ini sampai tahu apa yang terjadi,” gumamnya, rasa penasarannya mengalahkan ketakutan. Wing melanjutkan penelusurannya, memeriksa setiap sudut desa dengan teliti. Ia mulai menyadari bahwa aura 'Rune Power' yang sama terdeteksi di setiap rumah, namun pusatnya jelas berasal dari rumah besar itu. “Mereka bersembunyi, dan ada seseorang dengan 'Rune Power' yang kuat di sini,” pikirnya. Dengan sebuah lompatan, SYUUUUUUUTTTTT! ia menggunakan 'Rune Power Angin' untuk melesat ke udara, berpijak di angin seolah melayang. Dari ketinggian, ia memandang desa dengan mata tajam, seperti elang yang mengintai mangsa. Rumah besar itu menonjol, auranya seperti mercusuar di tengah kabut. “Aku bisa merasakan pusat 'Rune Power' ada di dalam rumah besar itu,” gumamnya. “Penduduk desa bersembunyi, tapi kenapa? Itulah yang harus aku cari tahu!” Dengan penuh gaya, ia turun perlahan, kaki kanannya menyentuh tanah terlebih dahulu. Ia berjalan menuju rumah besar, bersiul pelan untuk mengusir rasa takut—atau lebih tepatnya, ketakutan akan “hantu” yang masih menghantui pikirannya. Sampai di depan rumah besar, ia merasakan sesuatu yang aneh. “Ini bukan rumah biasa,” pikirnya. “Aku harus mencari pintu masuk yang sebenarnya! Mungkin anak kecil itu masuk melalui pintu yang sengaja disembunyikan untuk mencegah orang asing seperti aku.” Ia mulai mengelilingi rumah, matanya mencari petunjuk. Setelah beberapa saat, ia menemukan sesuatu yang janggal, dua pohon besar berdiri berdekatan, dengan celah sempit di antaranya yang tampak seperti pintu tersembunyi. Wing mengambil sebuah batu dari tanah dan melemparkannya ke celah itu. JRENGGG! Batu itu lenyap seketika, seolah ditelan oleh kegelapan. “Keangkeran dan misterinya terpecahkan!” serunya, terkekeh pada dirinya sendiri. “Ternyata aku bisa pintar juga!” Dengan hati-hati, ia melangkah mendekati celah itu, mengulurkan kaki kanannya untuk menguji. Kakinya menghilang ke dalam celah, sementara tubuhnya masih di luar. Tertawa kecil, ia mulai bermain-main, memasukkan tangan dan kaki, lalu menariknya kembali, lupa sejenak pada tujuan awalnya. “Konyol banget aku,” gumamnya, namun akhirnya ia memutuskan untuk masuk sepenuhnya. JREEEEENNNGGGGG! Begitu melangkah masuk, ia disambut oleh pemandangan yang mengejutkan. Puluhan orang berdiri di hadapannya, wajah mereka penuh kemarahan dan ketakutan. Tombak, pedang, dan busur ditodongkan ke arahnya, ujung senjata hanya beberapa inci dari wajah dan tubuhnya. Cahaya obor yang redup menerangi ruangan bawah tanah yang luas, penuh dengan warga desa yang tampak ketakutan namun siap bertarung. Di antara mereka, ia melihat anak kecil yang menabraknya tadi, bersembunyi di balik seorang pria tua yang memegang tongkat kayu. “Apa tujuanmu kemari?!” tanya seorang pria berbadan tegap, suaranya menggema di ruangan itu. Matanya menyala dengan kecurigaan, dan aura 'Rune Power' yang kuat terpancar darinya—kemungkinan besar pemilik kekuatan yang Wing rasakan sebelumnya. — Epilog — Di bawah tanah, di ruangan rahasia yang tersembunyi di balik pintu misterius, Wing berdiri di tengah warga desa yang ketakutan. Di kejauhan, di kerajaan Mirror Heart, Sir Alex Mercury dan Hack Maximus terus memperkuat cengkeraman mereka atas dunia. Namun, di desa kecil ini, benih perlawanan mulai tumbuh. Wing Glory, sang pangeran yang ditakdirkan, kini berdiri di ambang ujian pertamanya, siap mengungkap rahasia desa dan menghadapi kegelapan yang mengintai. Perjalanan epiknya baru saja dimulai, dan dunia menanti langkah berikutnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD