bab 14

1376 Words
Tawa Lala menggema tanpa henti. Ia tampak menikmati kesengsaraan yang dialami Lana saat ini. Lana tidak menceritakan insiden kejadian permen lunak rasa stroberi kemarin, tapi wanita di hadapannya itu seakan tau apa yang menimpa Lana. Dika memang terlihat berusaha menahan diri untuk tidak melanjutkan omelan di rumah, maupun di kantor. Tapi sepertinya lelaki itu memiliki sifat pendendam seperti Lana. "Lo ngapain Dika, sih? Sampai kebagian tumpukan kerjaan sebanyak ini?" Tanya Lala, setelah suara tawanya sedikit berkurang. "Aku nggak ngapa-ngapain." Balas Lana. "Dika nggak mungkin ngasih kerjaan sebanyak ini kalau dia nggak kesel sama seseorang. Gue hafal betul bagaimana sifat ketua tim divisi kita yang super ganteng itu." Cibirnya. "Aku nggak ngelakuin kesalahan, semua berjalan sesuai rencana." Apa yang dilakukan Lan memang sudah sesuai dengan prosedur kerja. Klien merasa senang, makan pekerjaan dianggap berhasil. Tapi kenyataannya tidak seperti itu, Dika merasa Lana mengkhianatinya. "Yang salah Pak Dika, bukan aku." Lanjut Lana. "Kalau dia nggak sombong dan nyebelin, aku nggak mungkin pakai jurus kotor seperti itu." Bagian kalimat sombong, Lana benar-benar mengecilkan volume suaranya. Jika Dika sampai mendengar, maka hukuman yang akan diterimanya bisa lebih berat lagi. "Dia kan, Bos. Bos selalu benar, kalau Lo lupa." Lala mengingatkan. "Tugas dia menilai kinerja karyawannya, tugas dia menyusahkan hidup kita. Termasuk ini," tunjuk Lala tertuju pada setumpuk dokumen di hadapannya. "Dia bukan bos besar, lagaknya aja yang udah kelewat tinggi." Cibir Lala, tentu saja dengan suara pelan. Lana tidak berani mengutarakan kekesalannya secara frontal seperti biasanya, dia mulai sadar bahwa Dika bisa muncul dimana saja dan kapan saja tanpa diketahuinya. Bahaya jika lelaki itu kembali mendengar Lana mengumpat dan mengatainya. "Kalau dia nggak searogan itu, dia pasti menyenangkan. Memiliki wajah yang enak dipandang dan," Lana menghentikan ucapannya, ketika Lala menatapnya dengan kedua mata menyipit. "Tumben Lo bilang Dika tampan?" Satu alis Lala terangkat dengan kedua tangan terlipat di depan tubuhnya. "Kamu kan sering bilang, kalau Pak Dika dan Pak Andra itu vitamin mata." Jelas Lana. "Bener sih. Mereka seger banget di lihat. Mata gue nggak anak salah melihat barang bagus." Lala mengangguk. "Meski sifat Dika luar biasa nyebelinnya." Tambah Lala. "Baiklah, kalau begitu selamat bekerja keras Lana. Semoga badan Lo nggak makin kurus karena keseringan lembur." Lala menepuk pundak Lana untuk memberi semangat. Sementara Lana sudah terkulai lemas melihat setumpuk dokumen yang harus segera diselesaikan. Dika memang sialan! Tepat pukul empat sore sebagian besar karyawan mulai meninggalkan kantor. Lagi-lagi Lana menjadi orang terakhir di divisinya. Ketiga temannya sudah terlebih dulu pulang, sementara Lana harus menyelesaikan tumpukan tugas dari Dika. Tubuhnya mulai terasa pegal, bahkan hawa dingin mulai menyelinap memasuki kemeja putih yang dikenakannya. Sepertinya ia merasa tubuhnya mulai menunjukan tanda-tanda tidak enak badan. Lana sempat melewatkan jam makan siang dan hanya sarapan sepotong roti saja, semua itu dilakukannya supaya pekerjaan bisa selesai tepat waktu. Tapi ternyata, seberapa keras Lana berusaha tetap saja waktu yang dibutuhkan tidak cukup. Lana melirik jam di pergelangan tangannya, waktu sudah menunjukan pukul enam sore. Rasanya sudah tidak memungkinkan memaksa diri bekerja lebih lama lama lagi. Bisa-bisa ia pingsan di kantor jika tetap memaksa. Akhirnya Lana memutuskan pulang, setelah mengirim pesan singkat padat Dika, bahwa ia tidak bisa menyelesaikan semua pekerjaan dalam satu waktu. Tidak ada pesan balasan dari Dika, bahkan dibaca saja belum. Lana tidak bisa menunggu hingga Dika membalas, karena tubuhnya mulai terasa menggigil. Lana pun memutuskan untuk pulang. Saat menunggu ojek online di lobi, Lana sempat melihat mobil Dika dan Andra berjalan beriringan. Lana tidak tau kemana tujuan mereka, tapi Lana yakin keduanya pasti akan menghabiskan waktu di salah satu bar bersama teman kencan masing-masing. Atau mungkin jug mereka akan kembali mengunjungi Sarah di apartemennya seperti penuturan Lala tempo hari. Entahlah, tapi Lana merasa sedikit kesal setelah tau Dika masih ada di area kantor tapi tidak membalas pesan darinya. Padahal membalas pesan tidak membutuhkan waktu lama, hanya beberapa detik saja. Tapi kenyataannya Dika memang tidak berniat membalas pesannya. Ojek onlin datang, cuaca mendung dan gerimis mulai turun. "Mau pakai jas hujan, mbak?" Si bapak ojek menawari Lana mengenakan jas hujan sebagai antisipasi hujan akan semakin lebat nantinya. "Nggak usah, Pak. Paling nggak akan besar hujannya." Bapak ojek kembali memasukan jas kedalam jok motor. Mereka pun segera meninggalkan area kantor, yang sayangnya baru beberapa menit perjalanan saja hujan turun dengan derasnya. Lana tidak sempat memakai jas hujan, sebab tubuhnya sudah terlanjur basah kuyup. Ia hanya berhasil melindungi beberapa barang penting saja, seperti ponsel dan laptop. Semua yang dikenakannya basah, tidak tersisa. Sampai di apartemen, Lana hanya bisa menggunakan tangga darurat karena ia tidak mungkin menggunakan lift dengan kondisi basah kuyup. Ia semakin merasa kedinginan dan tubuhnya benar-benar menggigil. Begitu Lana membuka pintu, ia melihat Dika sudah berada di rumah, tengah mengambil minuman di dalam lemari pendingin. Lana merasa senang melihat Dika, artinya lelaki itu tidak menemui Sarah. "Kenapa baru pulang?" Tanya Dika, dengan kedua matanya memperhatikan Lana dari ujung kaki hingga kepala. "Nanti aku selesaikan sebagian lagi, aku mau mandi dulu." Balas Lana. Dika tidak mungkin mengajaknya bicara jika bukan urusan pekerjaan. Jadi, ketika lelaki itu menanyakan kenapa dia baru pulang? Tentu saja karena Dika mengkhawatirkan pekerjaan tidak selesai tepat waktu. Bukan karena Lana pulang terlambat. Lana langsung menuju kamar untuk membersihkan diri. Mungkin setelah mandi dengan menggunakan air hangat, tubuhnya akan sedikit membaik. Tapi ternyata tidak. Lana justru merasa tubuhnya kian menggigil. Bahkan selimut tebal yang kini menutupi tubuhnya tidak terasa hangat sedikitpun. "Lana!" Suara Dika terdengar memanggil namanya. Lelaki itu pasti akan menagih sisa pekerjaan yang belum juga selesai. "Lana!" Panggil Dika lagi karena Lana tidak kunjung menjawab. Lana hanya menggumam pelan. Sejujurnya ia benar-benar merasa tidak enak badan, tapi Dika pasti akan semakin marah. Lana pun memaksakan diri berjalan menghampiri pintu. "Iya, pekerjaannya pasti aku selesaikan. Aku mau tidur sebentar. Hanya sebentar, nggak akan lama." Kepala Lana menyembul dari balik pintu dengan selimut menutupi semua tubuhnya. "Aku hanya butuh waktu satu jam aja. Bener, nggak." Belum sempat Lana menyelesaikan ucapannya, tiba-tiba Dika mendorong pintu hingga terbuka lebar. "Kamu sakit?" Tanya Dika. "Nggak. Aku cuma kedinginan aja." Dika melangkah memasuki kamar Lana. Kamar yang tidak pernah disentuhnya sedikitpun. Sama seperti pemiliknya. "Kamu demam." Tiba-tiba saja tangan Dika menyentuh kening Lana dan merasakan suhu tubuh wanita itu lebih hangat dari suhu tubuh normal. "Ayo keluar! Aku nggak biasa ada di kamar perempuan!" Dika menarik tangan Lana. Atau lebih tepatnya seperti seseorang menarik tangan anak kecil. Jangan berharap gandengan romantis ala manusia dewasa! "Duduk!" Perintah Dika. "Sudah makan?" Tanyanya. Lana menggeleng. "Nanti pesan makanan. Sebentar lagi." "Mau makan apa? Bubur? Kamu bukan bayi, sakit seperti ini jangan manja!" Dika bertanya, dia juga yang menjawab. Jika saja Lana tidak dalam keadaan sakit, mungkin ia sudah bersiap untuk pergi dan memilih berdiam diri di kamar saja. "Makan nasi saja." Lana hanya menghela lemah. "Makan apa saja yang penting jangan di kasih racun." Lana pun membandingkan tubuhnya di sofa, sementara Dika segera menuju dapur. Dapur yang tidak pernah berfungsi seperti semestinya, karena hanya digunakan untuk keperluan tertentu saja. Misal memasak mie. Hanya Mie dan menggoreng telur. "Kamu suka makanan kaleng, kan?" Dika membawa nampan berisi makanan. Dari bentuknya, sepertinya lelaki itu membuat nasi goreng dengan daging giling kalengan. Masakan sederhana, dengan tampilan yang.. ya.. sedikit tidak menarik. "Makan. Setelah itu minum obat." Ucapnya yang lebih mirip seperti perintah. "Iya. Terima kasih untuk nasi gorengnya." Lana tidak ingin membuat lelaki itu kembali tersinggung. Satu kali membuat lelaki itu kesal, maka tumpukan dokumen akan kembali menghampirinya. Lana tidak mau beruban di usia muda, sebab kebanyakan orang bilang uban datang lebih cepat kalau si pemilik kepala mudah stres. Meski tidak ada studi ilmiah yang membenarkan statement tersebut, tapi cukup masuk akal dan Lana percaya. "Setelah makan, aku pasti akan mengerjakan sisa dokumen tadi." "Tidak perlu. Istirahat saja. Jangan lupa minum obat." Dika memberikan obat cair penghilang masuk angin. Obat herbal yang hanya diminum orang pintar. Menurut iklannya. "Tapi," "Nanti aku bantu mengerjakannya." Ucap Dika lagi. Lana sedikit terheran dengan sikap dan nada bicara Dika. Sepertinya lelaki itu baru saja salah makan atau salah bicara, sebab tidak biasanya Dika bersikap seperti itu. Tapi Lana jangan sampai terkecoh, karena sikap baik Dika hanya bertahan sebentar. Setelah itu sifat j*****m nya akan kembali muncul. Bisa juga kali ini dia membantu Lana mengerjakan pekerjaannya dan akan menggantinya besok dengan lebih banyak lagi. Lana bergidik ngeri. Jadi sebaiknya dia jangan lengah dengan sikap baik Dika.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD