Chapter 19

1329 Words
Lewat tengah hari Tae Hwa terlihat di halaman Kuil dan sempat berbicara dengan para Biksu yang menghuni Kuil tersebut. Diakhiri oleh seulas senyum yang tampak ramah, Tae Hwa lantas berpisah dengan para Biksu tersebut. Berjalan menjauhi halaman hingga langkahnya terhenti ketika ia menyusuri jalan setapak di hutan belakang Kuil ketika ia menyadari bahwa seseorang tengah menguntitnya. Tae Hwa lantas berbalik, dan seulas senyum kembali di wajahnya ketika pandangannya menangkap sosok Chang Kyun yang saat ini berjalan ke arahnya. "Apa kau sedang menguntitku?" tegur Tae Hwa begitu Chang Kyun sampai di tempatnya. "Aku datang menyusul Hyeongnim, bukannya menguntit," jawaban jujur yang membuat senyum Tae Hwa melebar. "Berarti aku sudah salah paham padamu." "Hyeongnim ingin pergi ke mana?" "Mencari udara segar." "Aku akan mengantar Hyeongnim." "Tidak perlu. Aku ingin pergi sendiri ... aku tidak akan pergi jauh, aku akan. berdiam diri di tepi sungai. Kau istirahat saja, aku juga tidak akan lama ... aku pergi dulu." "Setidaknya bawalah sesuatu," gumam Chang Kyun ketika pandangannya mengarah pada kedua tangan Tae Hwa yang kosong. Chang Kyun kemudian kembali ke Kuil, sementara Tae Hwa tetap pada tujuan awalnya. Mengambil jalan menurun yang sedikit terjal, pada akhirnya Tae Hwa sampai di tempat tujuan. Sebuah aliran sungai di mana tidak akan ada orang yang berkunjung ke sana selain pemburu. Selama tinggal di Kuil, di sanalah tempat Tae Hwa sering menyendiri. Menikmati pemandangan alam di temani oleh gemericik air sungai yang menggelitik telinga. Melangkah dengan hati-hati melompati bebatuan yang menyembul di permukaan, Tae Hwa memilih batu paling besar yang memecah aliran sungai sebagai tempat bernaung. Duduk mengikuti arus sungai, Tae Hwa sejanak berusaha menjernihkan pikirannya. Namun sayangnya ketenangan itu tak berlangsung lama ketika ekor mata Tae Hwa menangkap sosok seseorang yang saat itu berdiri di tepi aliran sungai. Tae Hwa menoleh, memandang dengan raut wajah yang tetap tenang meski ia sedikit terkejut dengan kehadiran Juho di sana. Ekor mata Tae Hwa bergerak memandang ke sekitar, memastikan apakah Juho membawa para prajurit atau tidak. Juho yang sepertinya mengerti akan kekhawatiran Tae Hwa lantas berucap, "hamba tidak membawa satupun prajurit bersama hamba." Mendengar hal itu, Tae Hwa lantas beranjak dari tempatnya untuk menghampiri sang Hwarang. Keduanya lantas saling berhadapan di tepi sungai. "Apa yang membuatmu datang kemari, Bae Juho?" alih-alih bertanya bagaimana Juho bisa menemukan tempatnya, Tae Hwa justru melontarkan pertanyaan utama tanpa basa-basi. "Hamba mengantarkan seseorang yang ingin bertemu dengan Putra Mahkota." "Siapa?" Tae Hwa menatap penuh selidik."Pangeran Joon Myeon, kah?" Juho hanya memberikan sebuah anggukan tanpa jawaban yang pasti. "Di mana dia sekarang?" "Aku akan menunjukkan jalannya kepada Putra Mahkota." Juho lantas membimbing Tae Hwa untuk sampai di tempat Joon Myeon berada. Dan tempat yang mereka tuju nyatanya cukup jauh dari tempat Tae Hwa sebelumnya. Berjalan menyusuri jalanan yang menanjak, pada akhirnya Tae Hwa menemukan sosok Joon Myeon yang berdiri satu meter dari tepi tebing yang cukup curang dan membelakangi tempatnya. Juho lantas menghampiri Joon Myeon. Berdiri di samping sang Pangeran guna menyampaikan kedatangan sang Putra Mahkota. "Putra Mahkota sudah ada di sini, Pangeran." Sudut bibir Joon Myeon terangkat, membimbing langkahnya untuk berbalik dan menemukan Tae Hwa yang sudah berdiri pada jarak satu meter darinya. "Lama tidak bertemu, Putra Mahkota." Joon Myeon mengangkat kedua tangannya ke samping seakan ingin menyambut Tae Hwa. Dan Tae Hwa yang sempat bingung pun lantas mendekat dan memeluk Joon Myeon dengan canggung. "Kenapa kau bisa ada di tempat seperti ini?" Tae Hwa melepaskan pelukan itu dan kembali berhadapan dengan sang kakak tiri. "Kenapa Hyeongnim pergi sampai sejauh ini?" "Karena aku mengkhawatirkanmu." "Aku minta maaf. Tapi mungkin akan lebih baik jika Hyeongnim tidak pernah datang kemari." "Kau khawatir jika aku membawa prajurit istana?" Tae Hwa tak menjawab karena hal itu merupakan sebuah kepastian. "Aku datang bukan karena Baginda Raja. Melainkan karena keinginan pribadiku." "Kalau begitu, kenapa Hyeongnim pergi sejauh ini hanya untuk bertemu denganku?" Joon Myeon menghadap samping dan berujar, "sebenarnya, aku bertanya-tanya. Kenapa kau tiba-tiba meninggalkan istana?" "Ini bukanlah keputusan yang dibuat dengan tergesa-gesa." Sebelah alis Joon Myeon sekilas terangkat. Ia kemudian kembali menghadap Tae Hwa. "Maksudmu, kau sudah merencanakan hal ini sejak lama?" "Aku sudah memikirkannya. Bukan hanya sekali atau dua kali, namun ribuan kali. Aku sudah pernah menyinggung hal ini di hadapan ayahanda sejak lama. Aku sudah memikirkan semuanya, dan aku tidak akan menyesali keputusan yang sudah aku ambil saat ini." Joon Myeon tersenyum. "Lalu, apa yang akan kau lakukan setelah ini? Istana akan kacau jika kau tidak kembali." "Tidak, kepergianku tidak akan memberi pengaruh apapun. Sudah waktunya aku membuang gelar ini." "Jangan berbicara seperti itu? Kembalilah, semua orang mencemaskanmu." Tae Hwa menggeleng. "Hyeongnim lebih pantas mendapatkan posisi itu dibandingkan dengan diriku ... aku sangat senang jika Hyeongnim bisa mengambil tempat itu secepatnya. Dan dengan begitu, aku bisa hidup sebagai rakyat biasa." "Keinginanmu terlalu biasa dengan kasta yang kau sandang, Adikku. Tidakkah kau berpikir bahwa kau mungkin saja mengalami kesulitan saat mengambil jalan ini." Tae Hwa tersenyum. "Kesulitan itu ... aku pikir aku baru saja melewatinya." Sebelah alis Joon Myeon kembali terangkat. "Aku tidak ingin mengungkit luka lama. Mengetahui bahwa kau baik-baik saja sudah cukup untuk membuatku bersyukur ... aku datang untuk membujukmu, tapi aku juga tidak ingin memaksa. Kaulah yang bertanggungjawab atas hidupmu. Kau berhak memutuskan jalan mana yang akan kau lalui." Tae Hwa tersenyum lega setelah mendengar ucapan Joon Myeon yang terdengar begitu tulus. "Aku merasa lega setelah mendengar hal itu. Aku mohon jagalah ayahanda ... aku yakin bahwa Hyeongnim bisa menjadi Raja yang lebih baik dari ayah kita." "Kau terlalu berlebihan. Aku belum tentu bisa menggantikan ayahanda menjadi Raja." "Kenapa Hyeongnim berkata seperti itu?" "Karena kau ..." Batin Tae Hwa tersentak, seketika garis senyum di wajahnya menghilang. Berbeda dengan Joon Myeon yang justru tersenyum. "... ayahanda selalu mengkhawatirkanmu setiap waktu sehingga dia melupakan kewajibannya sebagai seorang Raja." Tiba-tiba saja Tae Hwa merasa lega tanpa sebab. "Bisakah Hyeongnim menyampaikan pesanku kepada ayahanda?" "Katakanlah. Jika memungkinkan, aku akan menyampaikannya." "Tolong katakan kepada ayahanda untuk melupakan aku. Aku tidak berniat untuk kembali ke istana, maka dari itu ... biarkan semua berjalan dengan semestinya." "Aku tidak yakin bisa menyampaikan hal itu." "Aku tidak memaksa. Aku memiliki harapan yang besar pada Hyeongnim. Tolong yakinkan ayahanda agar beliau memberikan takhta Putra Mahkota kepada Hyeongnim." Seulas senyum yang lebih misterius terlihat di wajah Joon Myeon. Dia kemudian berucap, "sepertinya akan terlihat sangat tamak jika aku sendiri yang berbicara pada ayahanda. Aku mungkin tidak akan pernah menjadi seorang Putra Mahkota." Tae Hwa tampak kaget. "Kenapa Hyeongnim berbicara seperti itu?" "Karena aku tidak menginginkannya," jawaban itu terucap oleh batin Joo. Myeon ketika mulutnya justru mengucapkan hal yang berbeda. "Kadang kala aku berpikir bahwa aku tidak begitu dekat dengan ayahanda. Aku cukup tahu diri dengan posisiku." "Hyeongnim tidak boleh berbicara seperti itu. Hanya Hyeongnim satu-satunya yang bisa aku harapkan. Aku mohon ... dampingilah ayahanda dan gantikan beliau ketika sudah waktunya nanti." Joon Myeon kembali tersenyum. "Aku pun memiliki harapan yang besar. Apapun yang akan terjadi nanti, janganlah membenciku. Bersediakah kau berjanji, Putra Mahkota?" "Aku percaya pada Hyeongnim." Keduanya saling melempar senyum, dan setelah pembicaraan singkat mereka selesai, keduanya memutuskan untuk berpisah. Keduanya saling berpelukan dalam waktu yang singkat. "Jaga dirimu baik-baik dan selalu berhati-hati. Kau tidak akan tahu apa yang akan terjadi setelah ini." "Aku akan mengingatnya, jaga diri Hyeongnim baik-baik." "Itu pasti. Selamat tinggal, Adikku." Joon Myeon lantas berjalan melewati Tae Hwa bersama Juho. Namun tak sampai satu meter langkah Joon Terhenti. Dia kemudian berucap, "ada satu hal yang terlupakan." Tae Hwa berbalik bersamaan dengan Joon Myeon. Namun saat itu Joon Myeon segera menarik pedang milik Juho dan langsung menghunuskannya ke perut Tae Hwa, menyentak tubuh pemuda itu. "Mengingatnya saja tidak akan cukup. Kau harus benar-benar berhati-hati, Bocah malang," bisik Joon Myeon tepat di samping telinga Tae Hwa. "H-hyeongnim ... kenapa?" suara Tae Hwa tercekat. Joon Myeon lantas melepaskan pedang yang menghunus perut Tae Hwa dan membuat tubuh Tae Hwa hampir limbung, namun masih tetap bertahan. Tanpa ada rasa belas kasihan, Joon Myeon berucap, "itulah balasan yang cocok untuk seorang adik yang sudah berselingkuh dengan kakak iparnya." Batin Tae Hwa tersentak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD