Chapter 18

1858 Words
Chang Kyun memasuki sebuah Kuil di tengah hutan dan berada di dataran tinggi. Tempat yang sangat jauh dari Seorabol. Tak menemukan seseorang yang dicari, Chang Kyun lantas keluar dan berjalan menyusuri halaman samping, menaiki tangga batu untuk menjangkau sebuah bangunan yang terpisah dari Kuil utama. Behernti di depan pintu, Chang Kyun sejenak mengetuk pintu di hadapannya. "Hyeongnim," tegur pemuda itu. Chang Kyun memasuki sebuah Kuil di tengah hutan dan berada di dataran tinggi. Tempat yang sangat jauh dari Seorabol. Tak menemukan seseorang yang dicari, Chang Kyun lantas keluar dan berjalan menyusuri halaman samping, menaiki tangga batu untuk menjangkau sebuah bangunan yang terpisah dari Kuil utama. Behernti di depan pintu, Chang Kyun sejenak mengetuk pintu di hadapannya. "Hyeongnim," tegur pemuda itu. "Masuklah," suara dari dalam menyahut. Chang Kyun lantas menggeser pintu untuk membuka pintu tersebut dan segera masuk. Kembali menutup pintu sebelum duduk berhadapan dengan Tae Hwa yang saat itu duduk menghadap sebuah meja kecil dengan sebuah kertas yang cukup lebar di atas meja dan sebuah kuas di tangan kanan. "Kau baru saja sampai?" Chang Kyun mengangguk. Tae Hwa menaruh kuasnya, sejenak menghentikan aktivitasnya untuk mendengarkan berita apa yang dibawa oleh Chang Kyun kali ini. Tae Hwa lantas kembali menegur, "seberapa jauh kau pergi hari ini?" "Tidak sampai memasuki Seorabol." "Kabar apa yang kau bawa hari ini?" "Hari ini, para Perdana Menteri mendesak Baginda Raja untuk segera menunjuk Pangeran Joo Myeon sebagai pengganti Hyeongnim." "Lalu bagaimana?" "Aku rasa Baginda Raja tidak akan melakukannya dalam waktu dekat." "Beliau masih mencari keberadaanku?" Chang Kyun mengangguk. "Yang aku dengar, Baginda Raja masih mengirim prajurit rahasia untuk menemukan keberadaan Hyeongnim." Tae Hwa sejenak tampak mempertimbangkan sesuatu sebelum kembali berbicara. "Aku harap mereka tidak akan pernah sampai kemari." "Apakah Hyeongnim akan benar-benar pergi?" Pandangan yang sempat teralihkan itu lantas kembali pada Chang Kyun. "Kenapa? Apakah kau merasa ragu?" "Bukan begitu, Hyeongnim. Hanya saja ... aku berpikir bahwa Dinasti Tang adalah tempat yang terlalu jauh." "Bertahan di sini pun, cepat atau lambat mereka akan menemukan kita." "Jika itu sudah menjadi keputusan Hyeongnim, aku tidak akan menghalangi." Seulas senyum terlihat di wajah Tae Hwa yang kini terlihat jauh lebih hidup setelah meninggalkan istana selama empat belas hari. Dan selama empat belas hari itu pula, Raja Kim Jeon masih berusaha untuk menemukan keberadaan sang Putra Mahkota. Dan hal itulah yang membuat sang Raja enggan untuk menunjuk Joon Myeon sebagai pengganti Tae Hwa. "Kembalilah," satu kata yang membuat Chang Kyun menatap penuh tanya. "Apa yang Hyeongnim bicarakan?" "Kembalilah ke Seorabol, aku akan pergi sendiri." "Kenapa Hyeongnim mengatakan hal seperti itu?" "Aku tidak ingin mempersulit hidupmu. Aku tidak ingin menjadi batasan untukmu ... kembalilah ke Seorabol, dan jalani kehidupan dengan cara yang kau inginkan." "Aku menolak," ucap Chang Kyun tanpa pikir panjang, dan segaris senyum di wajah Tae Hwa itu sekilas melebar. "Alasannya? Berikan aku sebuah alasan." "Seorang prajurit sejati tidak akan pernah melanggar sumpahnya." "Berikan aku jawaban yang lain, aku sudah pernah mendengar kata-kata itu." "Aku tidak memiliki jawaban lain. Jawabanku masih sama dengan sebelumnya, Hyeongnim." "Keras kepala." Chang Kyun tak menyahut dan seulas senyum lebar terlihat di wajah Tae Hwa ketika pemuda itu sejenak menundukkan wajahnya. "Apa yang sedang Hyeongnim lakukan?" Chang Kyun menatap penuh selidik. Mencurigai bahwa saat ini Tae Hwa tengah menangis. Membawa sisa senyumnya, Tae Hwa kembali memandang Chang Kyun. "Ayahmu, ibumu, kakakmu dan bahkan dirimu sendiri ... kalian sama-sama keras kepala." Chang Kyun menjatuhkan pandangannya ke lantai, tak ingin menunjukkan sebuah kesedihan dalam tatapan matanya yang terlihat teduh setiap kali berhadapan dengan Tae Hwa. "Terima kasih," ucapan itu yang pada akhirnya kembali menarik perhatian Chang Kyun. Namun pemuda itu segera menghindar dengan alasan yang cukup konyol. "Aku sudah berjalan cukup jauh, sekarang aku akan beristirahat. Jika Hyeongnim membutuhkan sesuatu, bangunkan aku." Chang Kyun pergi ke sudut ruangan, mengambil sebuah bantal dan berbaring membelakangi Tae Hwa. Membuat senyum di wajah Tae Hwa mengembang. Seperti itulah cara Hwarang Park Chang menghindar. Berpura-pura tidur dan akan langsung bangkit ketika Tae Hwa membuat pergerakan yang mencurigakan. Setidaknya meski hidup di tempat persembunyian, Tae Hwa merasakan sedikit kedamaian hanya dengan membawa Chang Kyun bersamanya. FLOWER BREEZE Di salah satu sudut istana Silla, Joon Myeon tengah bersantai di sebuah gazebo dengan ditemani oleh Joo Hyun. Namun tak ada pembicaraan yang terjadi di antara keduanya ketika keduanya sibuk dengan pemikiran masing-masing. Meski sebenarnya sedari tadi Joon Myeon tengah memperhatikan Joo Hyun yang tampak murung sejak kepergian Tae Hwa. Tanpa perlu ditanyakan sekalipun, Joon Myeon juga sudah tahu kenapa istrinya itu tampak murung. Joon Myeon yang saat itu dalam posisi setengah berbaring menghadap meja lantas menegur Joo Hyun yang duduk di samping meja dengan pandangan yang mengarah ke tempat lain, "apa yang sedang kau pikirkan?" Batin Joo Hyun tersentak. Teguran Joon Myeon yang tiba-tiba membuat wanita itu tersadar dari lamunannya. Joo Hyun lantas segera memandang dengan tatapan gugup. "Tidak ada," jawab wanita itu tanpa bisa menghilangkan kegugupannya. Joon Myeon tersenyum tipis sebelum berucap, "memikirkan pria lain di hadapan suamimu. Aku akui kau memang cukup berani." Kegugupan Joo Hyun semakin bertambah besar. Ia pun segera menyangkal, "itu tidak benar, aku tidak sedang memikirkan Putra Mahkota. Berhentilah salah paham terhadapku." Sudut bibir Joon Myeon tersungging, masih bersikap santai seperti awal. Dia kemudian berucap, "bahkan aku tidak menyebutkan nama adikku. Apa kau benar-benar sedang memikirkannya? Kau sedang mengkhawatirkannya?" Joo Hyeon menghindari kontak mata dengan Joon Myeon. Mau menyangkal ribuan kalipun sepertinya juga akan percuma karena pikirannya hanya tertuju pada Tae Hwa. Dan tiba-tiba perasaan takut itu kembali menghampiri Joo Hyeon ketika ia mendengar suara tawa Joon Myeon. Kedua tangannya lantas mencengkram roknya dengan kuat. "Kemarilah," ucap Joon Myeon kemudian. Joo Hyeon mendengarnya, namun tak kunjung membuat pergerakan dan mengharuskan Joon Myeon kembali menegur jika tidak ingin menunggu terlalu lama. "Kau lebih suka jika aku bersikap kasar padamu? Benar begitu, Bae Joo Hyun?" Joo Hyun tak berdaya. Dengan pandangan yang mengarah ke bawah, dia pun pergi ke tempat Joon Myeon dan duduk bersimpuh di kaki suaminya tersebut. "Kenapa kau menyembunyikan wajahmu?" tegur Joon Myeon. "Aku minta maaf," gumam Joo Hyun. "Apa? Coba katakan sekali lagi, sepertinya suaramu terlalu pelan." "Aku minta maaf, aku bersalah." "Bukan hanya bersalah, tapi kau sudah berdosa. Dosa yang sangat besar ... mengkhianati suamimu sendiri dan berselingkuh dengan adik iparmu." "Pangeran Joon Myeon," teguran bernada terkejut itu justru mengejutkan keduanya. Joon Myeon dan Joo Hyun serempak menoleh ke anak tangga dan melihat Lady Hee Sun berdiri di bawah anak tangga dengan tatapan terkejut, namun juga sangat menuntut. Lady Hee Sun lantas naik ke gazebo, sedangkan Joon Myeon segera menegakkan tubuhnya dan duduk dengan tegap. Meraih tangan Joon Myeon, pandangan keduanya kembali dipertemukan. Dan saat itulah Joon Myeon berbicara dengan suara yang lebih halus, "kembalilah ke paviliun." Joo Hyun mengangguk dan segera berdiri. Namun langkah yang hendak ia ambil itu terhenti oleh teguran dari sang ibu mertua. "Tidak ada yang boleh pergi sebelum kalian menjelaskan semuanya pada ibu." "Urusan Ibu denganku, biarkan dia pergi." Joo Hyun sejenak menundukkan kepalanya pada Lady Hee Sun sebelum pergi dari sana. Dan setelah kepergian Joo Hyun, Lady Hee Sun segera duduk berhadapan dengan Joon Myeon, tak lupa dengan tatapan yang sangat menuntut. "Jelaskan pada ibu." Joon Myeon memalingkan wajahnya dan berucap tanpa minat, "apa yang harus dijelaskan?" "Ibu mendengarnya dengan jelas. Apa maksudmu berbicara seperti itu?" Joon Myeon menghela napas yang terdengar pasrah. Tanpa berniat memandang sang ibu, Joon Myeon berbicara, "Ibu sudah mendengarnya, jadi aku tidak perlu menjelaskannya lagi." "Pangeran Joo Myeon," suara Lady Hee Sun mengeras dan membuat Joo Myeon bersedia memandang sang ibu. Lady Hee Sun berucap penuh selidik, "ada hubungan apa antara Joo Hyun dan Putra Mahkota?" "Mereka berselingkuh di belakangku, Ibu puas?" Lady Hee Sun terkejut, menatap tak percaya sebelum kemarahan terlihat dalam sorot matanya. "Dan kau masih bisa bersikap santai setelah mengatakan hal seperti itu? Apa yang sebenarnya sedang kau pikirkan?" Joon Myeon hanya menatap acuh, merasa suasana hatinya terlalu buruk untuk membahas pengkhianatan istrinya. "Jawab ibu dengan jujur. Apa yang kau katakan barusan memang benar?" Joon Myeon kembali menghela napas sebelum memberikan jawaban. "Mereka sudah saling kenal sejak sebelum anak itu menikah." "Kalau begitu kenapa kau masih membiarkan wanita itu berada di sampingmu?" "Ini masalahku, Ibu tidak perlu melibatkan diri." "Apa yang sedang kau bicarakan? Kau akan membiarkan wanita itu begitu saja?" "Dia sudah menerima hukuman, dan aku akan menghukumnya dengan lebih berat setelah ini." "Tapi tetap saja—" "Sudahlah, aku ingin berhenti membicrakan hal ini. Kenapa Ibu kemari?" Joon Myeon mengalihkan pembicaraan. Lady Hee Sun menghela napas, masih tampak sangat kesal. Dia kemudian berbicara dengan suara yang lebih tenang namun tak menghilangkan ketegasannya. "Di saat seperti ini, kenapa kau masih bisa duduk santai di sini?" "Memangnya apa yang terjadi? Apa Baginda Raja sudah menemukan anak itu?" "Lupakan dia! Para Perdana Menteri telah mendesak Baginda Raja untuk mengangkatmu menjadi Putra Mahkota." "Bukankah itu berita bagus? Lalu kenapa Ibu terlihat sangat gelisah?" "Maka dari itu lakukanlah sesuatu. Buatlah ayahmu terkesan dan bersedia menyerahkan takhta padamu." Sudut bibir Joon Myeon tersungging. "Kau tersenyum?" tegur Lady Hee Sun. "Tidak ada yang perlu dilakukan. Aku memiliki kepentingan lain." "Kepentingan apa yang kau bicarakan?" "Memberikan hukuman kepada istriku." Kemarahan Lady Hee Sun memuncak. "Berhenti mengurusi wanita itu! Hari ini juga, ceraikan dia. Wanita seperti itu tidak pantas mendampingimu." "Bukankah semua wanita memang seperti itu? Tidak! Bukankah semua hubungan pernikahan memang seperti itu?" Lady Hee Sun menatap penuh tanya. "Apa maksudmu?" "Biarkan aku bertanya. Kenapa Ibu bersedia menjadi selir Baginda Raja?" Batin Lady Hee Sun tersentak mendapatkan pertanyaan mengejutkan dari Joon Myeon. "Pangeran Joon Myeon." "Apakah Ibu mencintai pak tua itu? Tidak! Tentu saja tidak ... apakah aku salah?" "Tapi setidaknya ibu masih menghargai Baginda Raja. Tidak seperti istrimu ... kenapa kau tetap membelanya meski dia sudah berselingkuh di belakangmu?" "Karena aku mencintainya." Lady Joo Hyeon terperangah akan ucapan Joon Myeon. Dia kemudian tersenyum tak percaya seakan ingin meremehkan pengakuan Joon Myeon. "Mencintainya katamu? Apakah ibu tidak salah dengar?" "Tidak, Ibu mendengarnya dengan sangat baik. Aku mencintai wanita itu, jadi aku tidak akan membiarkannya pergi begitu saja. Tidak! Aku tidak akan membiarkannya pergi meninggalkan aku kecuali dia mati ... aku pikir jawabanku sudah cukup jelas. Aku harap Ibu tidak melibatkan diri dengan hubungan kami." "Kau benar-benar tidak bisa dimengerti, Pangeran Joo Myeon. Di mana akal sehatmu? Gunakanlah akal sehatmu ... kenapa kau mencintai wanita seperti dia?" "Aku tidak ingin membahasnya lagi. Sebaiknya Ibu kembali ke sisi Baginda Raja dan menangkan hati pria tua itu." "Pangeran Joon Myeon!" gertak Lady Hee Sun. "Aku minta maaf, sikapku hari ini terlalu kasar. Ibu bisa pergi sekarang." Tampak menahan kemarahannya, Lady Hee Sun lantas beranjak dan meninggalkan tempat itu dengan langkah yang tampak kesal. Sedangkan Joon Myeon yang melihatnya hanya menyunggingkan senyumnya. Tak beberapa lama setelah kepergian Lady Hee Sun, Hwarang Bae Juho datang menghampiri Joo Myeon. Sejenak menundukkan kepalanya sebelum duduk bersimpuh di tempat yang sebelumnya ditinggalkan oleh Lady Hee Sun. Joon Myeon lantas menegur, "kau sudah menemukannya, Hwarang Bae Juho?" Juho mengangguk lalu mengeluarkan sebuah kertas yang terlipat dari balik bajunya dan ia serahkan kepada Joon Myeon. Sang Pangeran lantas membuka lipatan kertas tersebut dan membacanya, hingga seulas senyum miring kembali terlihat di wajahnya. Dia lantas bergumam, "kenapa aku harus repot-repot menemuinya?" Joon Myeon kembali memandang Juho dan berucap, "besok pagi siapkan kuda untukku." "Baik, Pangeran."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD