Chapter 03

1223 Words
Meninggalkan hutan, Tae Hwa dan Chang Kyun memasuki sebuah desa di pinggiran hutan. Keduanya memutuskan untuk membeli dua ekor kuda agar lebih cepat sampai di tempat tujuan. Seakan ingin berkejaran dengan waktu, kedua ekor kuda itu terpacu dengan kencang. Membuat siapapun yang berada di tengah jalan pasti akan menyingkir. Senyum itu terpatri di kedua sudut bibir Tae Hwa tatkala ia yang sebelumnya mengajak Chang Kyun untuk balap kuda, dan hal itu cukup efektif untuk mempercepat perjalanan mereka. Namun meski dipercepat sekalipun, keduanya harus sampai di istana ketika langit cerah sore hari di gantikan oleh langit gelap malam hari. Memasuki Seorabol, keduanya memilih turun dari kuda dan menuntun kuda masing-masing. Berusaha untuk tidak mengganggu orang-orang di sekitar mereka. Seorabol : Ibu Kota kerajaan Silla. Keadaan yang cukup ramai di malam hari membuat Tae Hwa enggan untuk meninggalkan tempat yang kini ia singgahi. Namun setiap kali ia merasa enggan untuk pergi, saat itu pula sang Hwarang memberikannya sebuah tatapan seperti tengah ingin memberinya sebuah peringatan. Dan pada akhirnya perjalanan panjang mereka berakhir malam itu. Di bawah gelapnya malam, sang Hwarang memimpin jalan sang Putra Mahkota untuk melewati gerbang istana dan mengantarkan keduanya berhadapan dengan beberapa prajurit yang berjaga di luar gerbang. "Siapa di sana?" gertak salah seorang prajurit yang menyadari siluet keduanya muncul dari kegelapan. "Hwarang Park Chang Kyun, aku datang bersama dengan kakakku," ucap Changkyun, melontarkan sebuah kebohongan yang merupakan keinginan dari Tae Hwa sendiri. Dan itulah sebabnya tak banyak orang yang mengetahui wajah Putra Mahkota Silla saat ini, karena si Putra Mahkota bisa muncul menjadi siapa saja, di mana saja dan kapan saja. Kedua kuda mereka berpindah tangan, dan Chang Kyun kembali membimbing langkah Tae Hwa untuk memasuki istana. Setelah berjalan beberapa meter dari gerbang, Chang Kyun menghentikan langkahnya dan berbalik dengan kepala yang tertunduk. "Kita sudah sampai, Putra Mahkota." Kedua sudut bibir Tae Hwa terangkat dengan begitu lembut. "Pulangnya dan istirahat. Besok aku ingin melihatmu berada di paviliunku." "Izinkan hamba mengantar Putra Mahkota sampai paviliun." "Tidak perlu, aku tahu jalan yang benar menuju paviliunku... terima kasih dan sampaikan salamku pada ayahmu." Chang Kyun menunduk semakin dalam ketika Tae Hwa menepuk bahunya sebelum berjalan melewatinya. Kepala itu kemudian terangkat, menatap punggung sang tuan yang berjalan dengan begitu tenang menerobos gelapnya malam itu hingga ia yang berbalik dan pergi berlawanan arah dengan jalan yang diambil oleh sang tuan. Asrama Hwarang menjadi tujuan akhir dari perjalanannya hari ini. °°°° Menembus kegelapan malam, langkah Tae Hwa memasuki area paviliunnya di mana masih terlihat beberapa orang yang mondar-mandir di teras paviliun Putri Mahkota. Meski keduanya telah menikah, namun Tae Hwa menempati paviliun yang berbeda dengan sang istri. Paviliun keduanya berdiri berdampingan, jadi meski dipisahkan pun keduanya masih bisa melihat keadaan satu sama lain di setiap waktunya. Alih-alih kembali ke paviliunnya sendiri, Tae Hwa justru berjalan menuju paviliun Putri Mahkota dan sempat mengejutkan beberapa orang yang berpapasan dengannya. Pintu paviliun terbuka, membimbing langkahnya untuk masuk ke dalam dan menemukan kamar sang Putri Mahkota setelah berjalan menyusuri lorong di mana tak ada satupun orang yang ia temui di sana. Pandangan Tae Hwa kemudian menangkap sosok Dayang Kepala yang melayani Putri Mahkota keluar dari salah satu ruangan, dan bisa dipastikan bahwa ruangan tersebut tidak lain adalah ruangan milik Putri Mahkota. Istrinya sendiri. Langkah Tae Hwa semakin mendekat dan sontak kehadirannya di sana berhasil mengejutkan di Dayang Kepala yang segera menundukkan kepalanya. "Putra Mahkota sudah kembali?" "Apa Putri Mahkota sudah tidur?" pertanyaan yang terucap dengan begitu lembut diiringi oleh seulas senyum tipis yang begitu menenangkan. Namun sayangnya kepala yang tertunduk di hadapannya tak akan mampu melihat hal itu. "Putri Mahkota baru saja tidur." "Bagaimana dengan kondisi kesehatannya?" "Kesehatan Putri Mahkota beserta calon bayi dalam keadaan yang baik, Putra Mahkota tidak perlu mencemaskan hal itu." "Baiklah, kau boleh pergi sekarang. Malam ini, aku akan bermalam di sini." "Ye, Putra Mahkota. Hamba mohon undur diri." Dayang Kepala lantas meninggalkan Tae Hwa, dan saat itu Tae Hwa melangkah mendekati pintu. Dengan sangat berhati-hati, ia membuka pintu di hadapannya dan setelah melangkah masuk, lalu kembali menutup pintu. Pandangannya seketika tertuju pada sebuah tempat yang tertutupi oleh tirai transparan yang berada tepat di ujung ruangan. Melangkah dengan penuh ketenangan, langkah tanpa suara itupun membimbingnya untuk semakin mendekati sosok yang saat ini tengah terlelap di balik tirai tipis tersebut. Hanya dalam hitungan detik, langkahnya terhenti tepat di depan tirai. Pandangannya seketika langsung terjatuh pada sosok wanita yang kala itu tengah terlelap di atas ranjang yang berada di balik tirai tersebut. Setelah sempat terdiam untuk sesaat, tangannya terangkat guna menyibakkan tirai di hadapannya. Menciptakan sedikit jalan baginya untuk masuk ke balik tirai sebelum tirai itu kembali menutup ketika ia menarik kembali tangannya. Langkahnya kemudian mendekat dan berhenti tepat di samping ranjang, memperhatikan wajah cantik yang saat ini tengah terlelap dalam penantiannya. Park Hwa Goon, gadis kecil yang ia nikahi ketika ia berumur lima belas tahun, sedangkan saat itu Hwa Goon sendiri berusia enam belas tahun. Satu tahun lebih tua darinya. Setelah empat tahun usia pernikahan mereka, keduanya baru mendapatkan Kehendak Langit. Calon penerus takhta yang kini baru berusia tiga bulan di dalam kandungan sang Putri Mahkota. Bergerak dengan hati-hati, Tae Hwa naik ke ranjang setelah melepas pakaian safarinya dan menyisakan pakaian malam berwarna putih. Menyusup ke balik selimut yang juga dikenakan oleh Hwa Goon hingga pada akhirnya ia berbaring di samping sang istri yang saat itu tidur dalam posisi miring menghadap ke arahnya. Menggunakan lengannya sebagai bantal, seulas senyum itu kembali menghiasi wajahnya ketika pandangannya hanya tertuju pada wajah cantik yang kini terlelap di hadapannya. Sepertinya sudah sangat lama sejak terakhir kali ia melihat wajah itu. Perlahan tangannya yang terbebas mendarat pada wajah Hwa Goon, disusul oleh usapan lembut dari ibu jarinya. Mencurahkan kerinduan yang tak mampu ia ungkapkan dalam sebait kata yang mungkin justru akan melukai orang lain. Pergerakan ibu jarinya terhenti, digantikan oleh belaian lembut di sekitar wajah wanita cantik yang sebentar lagi akan menjadi seorang ibu tersebut hingga satu kecupan lembut ia daratkan pada kening sang istri dengan tangan yang kembali menangkup wajah yang tampak kecil di telapak tangan lebarnya. "Sudah membuatmu menunggu selama ini, aku minta maaf," gumamnya, menyampaikan penyesalannya yang belum bisa melakukan tugasnya dengan sempurna. Dia lantas membebaskan tangan yang menahan kepalanya dan perlahan menyusupkannya ke bawah kepala Hwa Goon, membiarkan sang ibu dari calon bayinya terlelap dalam dekapan lembutnya. Mengutarakan permintaan maaf tanpa melibatkan sebuah lisan untuk merebut semua momen manis yang akan mereka lewati ketika lisan itu lebih memilih untuk bungkam. Dalam waktu yang cukup lama, pada akhirnya Tae Hwa kembali merengkuh wanita yang selalu setia menunggunya meski tanpa mendengar kabar darinya sekalipun. Tae Hwa sangat bersyukur telah di berikan wanita seperti Hwagoon. Namun di sisi lain, dia merasa telah berdosa kepada ibu dari calon bayinya ketika hingga detik ini ia masih belum bisa terlepas dari bayangan masa lalu yang hanya akan menghancurkan semuanya jika sampai ia tetap mempertahankan perasaan yang terlarang untuk sekedar diharapkan tersebut.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD