Chapter 02 : Kelopak Bunga Yang Terasingkan

1976 Words
Semilir angin musim semi menyapu hamparan rumput liar yang berjajar dengan rapi untuk menerima Kehendak Langit. Kelopak bunga yang saling menyapa, menyampaikan berita yang telah ditinggalkan oleh semilir angin yang baru saja lewat sebelum kabar itu hilang diterpa oleh semilir angin berikutnya. Menyampaikan pada kelopak lainnya bahwa Kelopak Bunga tercantik dari Negeri Bunga tengah berkelana, jauh meninggalkan tempat persembunyiannya. Air yang mengalir dengan tenang, berbanding terbalik dengan ombak yang tak henti-hentinya menggoyahkan karang seakan mereka tak bisa saling memaafkan atas dosa yang tak pernah tersampaikan. Suara burung yang saling bersahutan, saling melontarkan tanya jawab yang tidak akan pernah di mengerti oleh manusia yang hanya mendengar suara merdu mereka. Musim semi pembawa berkah bagi Tanah Silla, di mana para rakyat berpesta dengan hasil panen mereka yang melimpah ketika air dan panas matahari berjalan beriringan. Kedamaian yang diidam-idamkan ketika musim paceklik tiba-tiba datang. Namun hal itu sudah lama tidak terjadi di Tanah Silla semenjak kelahiran sang Putra Mahkota yang di gadang-gadang memiliki kecantikan yang melebihi para Hwarang yang merupakan sekumpulan prajurit yang diambil dari para laki-laki muda berparas cantik layaknya kelopak bunga. Musim semi datang, saatnya kelopak bunga untuk saling bermekaran dan menyapa Negeri Bunga yang masih tampak begitu tenang meski perang masih berlanjut. Jauh dari kerajaan Negeri Bunga, pemuda pemilik tatapan dingin sedingin rembulan itu memasuki halaman sebuah Kuil yang berada di tengah hutan belantara. Park Chang Kyun, satu-satunya Hwarang yang mengetahui bagaimana rupa Putra Mahkota Silla saat ini. Seorang pemuda yang memiliki tatapan tajam dan pembawaan yang begitu kaku, nyatanya mampu menarik perhatian dari sang Putra Mahkota yang kemudian menjadikannya sebagai kaki tangannya. Sebilah pedang yang berada di genggaman tangannya, membuatnya semakin terlihat sempurna dengan ikat kepala berwarna merah darah yang ujungnya di biarkan menjuntai menyusuri helaian rambutnya dan jatuh pada punggung tegapnya. Kedua tangan pemuda itu terangkat, mendorong pintu kayu di hadapannya hingga terbuka dengan lebar diiringi suara gesekan antar kayu yang terdengar sedikit berat. Langkahnya kemudian berjalan masuk. Menolak untuk menutup pintu, langkah tegapnya itu berjalan mendekati sosok pemuda yang saat itu duduk bersimpuh di lantai, menghadap patung Budha dan membelakanginya. Chang Kyun menghentikan langkahnya pada jarak satu meter di mana pemuda itu duduk dengan begitu tenang meski menyadari bahwa seseorang datang padanya. Chang Kyun lantas menjatuhkan satu lututnya bersamaan dengan pandangannya yang terjatuh pada lantai. "Hamba, Hwarang Park Chang Kyun, menghadap Putra Mahkota." suara berat itu berhasil mengusik pemuda di hadapannya. Sang Putra Mahkota yang di agungkan di Tanah Silla, Kim Tae Hwa. Kelopak tercantik yang pernah di miliki oleh Tanah Silla. Pemuda dengan pembawaan tenang dan juga tatapan teduh yang membuat semua orang tak akan rela berpaling darinya. "Aku menyuruhmu pergi untuk waktu yang lama, kenapa kau sudah kembali secepat ini?" suara berat yang terdengar begitu lembut, tutur kata yang benar-benar sempurna. Sangat tulus tanpa ambisi sedikitpun. "Mohon maaf atas kelancangan hamba ini, Putra Mahkota ... tapi sudah waktunya bagi Putra Mahkota untuk kembali ke Silla." Kedua sudut bibir Tae Hwa terangkat dengan begitu lembut, sekilas menyipitkan tatapan teduhnya. "Apakah aku sudah pergi terlalu lama?" "Ye, Putra Mahkota." "Kapan kau akan membelaku?" sebuah ungkapan yang ditujukan untuk sebuah candaan, meski tak pernah ada candaan di setiap pembicaraan keduanya. "Semakin lama Putra Mahkota meninggalkan istana, maka akan semakin bertambah pula kekhawatiran yang dirasakan oleh Putri Mahkota... Mohon jangan membiarkan Putri Mahkota memikirkan Putra Mahkota dan mengabaikan calon bayi yang saat ini telah berada dalam kandungan Putri Mahkota." Senyum Tae Hwa melebar, mendapatkan kalimat panjang yang seakan-akan tengah mencibirnya yang sedang berusaha melarikan diri dari tanggung jawab. Tidak, dia tidak pernah meninggalkan tanggungjawabnya. Dia pergi untuk mendoakan yang terbaik bagi istri serta calon bayinya. Namun sepertinya dia terlalu lama meninggalkan istana sehingga mungkin saja seseorang mengiranya telah melarikan diri. Tae Hwa kemudian beranjak berdiri dan berbalik, menjatuhkan pandangannya pada sang abdi setianya dengan segaris senyum yang tertahan di kedua sudut bibirnya. "Kalau begitu. Mari, tunjukkan padaku ke arah mana aku harus pergi." Chang Kyun mengangkat kepalanya, sedikit mendongak dan mendapati tatapan teduh itu kembali yang membimbing lututnya untuk terangkat. Berdiri menyamping dan membiarkan sang tuan berjalan mendahuluinya. Membimbing langkah Chang Kyun, Tae Hwa keluar dari Kuil. Sejenak menghentikan langkahnya untuk melihat seberapa jauh matahari telah menempuh perjalanan hari itu. "Chang Kyun," sebuah teguran terucap untuk pemuda yang berdiri di sampingnya. "Ye, Putra Mahkota?" "Menurutmu, kapan tepatnya kita akan sampai?" "Jika berangkat sekarang, kemungkinan kita akan sampai saat malam." Tae Hwa menjatuhkan pandangannya pada halaman Kuil dengan helaan napas lembutnya. Dia kemudian bergumam, "kenapa perasaanku buruk sekali?" lantas kembali melangkahkan kakinya, menuruni setiap anak tangga yang membawanya menyusuri halaman sebelum menapakkan kakinya menyusuri jalan setapak yang berada di tengah hutan. Berjalan dengan penuh ketenangan, keduanya menyusuri hutan belantara di mana tak ada satupun orang yang mereka temui. Dan di saat seperti ini, sang Hwarang sangat bersikap waspada mengingat bahaya bisa saja datang tiba-tiba meski tidak ada yang tahu bahwa pemuda di hadapannya tersebut merupakan Putra Mahkota Silla. Berjalan menuruni bukit, keduanya menyusuri dataran rendah dan mulai bertemu dengan beberapa rakyat biasa yang tengah melakukan aktivitas mereka. Ada begitu banyak hal yang tidak bisa di lewatkan begitu saja oleh Tae Hwa. Seakan ingin menikmati pemandangan alam di sana untuk yang terakhir kalinya, dia terkesan ingin menunda kepulangannya. "Chang Kyun." "Ye, Putra Mahkota?" "Apa jalanku terlalu lambat bagimu?" "Tidak, Putra Mahkota." "Kau tidak pandai berbohong. Bolehkah aku meminta sesuatu darimu?" Tae Hwa kembali melontarkan pertanyaan di saat ia yang enggan untuk berhenti dan berbalik menghadap lawan bicaranya. "Jika hamba mampu, hamba akan memberikan hal itu." "Jika berada di luar, tolong jangan memanggilku dengan sebutan itu." Chang Kyun bungkam, tak memiliki jawaban untuk merespon permintaan kecil Tae Hwa yang bisa saja membuatnya berakhir dengan kematian sebagai seorang pengkhianat. Dan Tae Hwa yang tak kunjung mendapatkan respon pun segera menghentikan langkahnya lalu berbalik, membuat langkah Chang Kyun terhenti. "Kau tidak ingin memberi jawaban?" "Bagaimana hamba bisa mengabulkan permintaan yang begitu sulit untuk hamba lakukan?" "Aku hanya meminta untuk tidak memanggil gelarku ketika berada di luar, kau tahu betapa berbahayanya hal itu." "Lantas dengan sebutan apa hamba harus memanggil Putra Mahkota setelah ini?" Senyum Tae Hwa sedikit mengembang, membimbing mulutnya untuk menggumamkan satu kalimat yang menjadi hantaman besar bagi Chang Kyun. "Kakak," satu kata yang terucap dengan begitu mudah namun sangat menyulitkan bagi Chang Kyun yang segera menundukkan kepalanya. "Hamba tidaklah pantas memanggil Putra Mahkota dengan sebutan itu. Mohon agar Putra Mahkota mempertimbangkannya kembali." "Hanya saat kita berada di luar. Jika kau memanggilku dengan sebutan 'tuan' bukankah orang-orang akan menaruh kecurigaan padamu karena kau seorang Hwarang... Panggil aku dengan sebutan 'kakak'. Jika kau tidak bisa benar-benar memanggilku, maka lakukan itu untuk melindungiku." Perlahan Chang Kyun mengangkat wajahnya, mempertemukan tatapan dingin yang kini di penuhi oleh keraguan itu pada tatapan teduh yang meyakinkan milik tuannya. Si Hwarang lantas berucap, "hanya jika kita berada di luar istana?" Tae Hwa mengangguk tanpa syarat. "Benar... Lakukanlah sekarang, aku ingin mendengar bagaimana caramu memanggilku." Chang Kyun kembali meragu, sang tuan memang selalu memiliki cara untuk memojokkannya. Namun yang ini adalah hal yang paling keterlaluan. Tapi seperti hari-hari sebelumnya, Chang Kyun yang sudah terpojok tak mungkin memiliki jalan untuk melarikan diri. Pandangan Chang Kyun terjatuh dan lantas bergumam, "Kakak." Kedua sudut bibir Tae Hwa tertarik sedikit lebih lebar. Dia pun berbalik, berniat untuk melanjutkan perjalanan. Namun tepat saat ia berbalik, saat itu pula dia tidak sengaja menabrak seorang kakek yang kemudian terjatuh. Hal itu sontak mengejutkan keduanya. Dari mana kakek itu berasal? Namun naluri Tae Hwa berjalan lebih cepat, dia segera meraih lengan kakek itu dan membantunya untuk berdiri. "Aku minta maaf. Sungguh, aku tidak menyadari kehadiran kakek sebelumnya," sebuah sikap yang seharusnya tak dilakukan oleh seorang Putra Mahkota, namun hal itu sudah sangat biasa bagi Chang Kyun. "Kau tidak perlu meminta maaf, aku yang sudah tua ini yang harusnya meminta maaf padamu," ucap si kakek dengan suara seraknya dan dengan tangan kurus yang masih memegang lengan Tae Hwa. "Kau memiliki mata yang bagus," si kakek kembali berujar setelah melihat kedua netra teduh milik Tae Hwa. "Kakek baik-baik saja?" "Khawatirkan dirimu sendiri, orang lain tidak akan tahu tentang kekhawatiranmu." Baik Chang Kyun maupun Tae Hwa, keduanya sama-sama bingung. Merasa tak mengerti dengan ucapan si kakek yang tiba-tiba muncul di hadapan mereka. "Jika boleh tahu, kemanakah kakek ingin pergi?" tegur Tae Hwa kemudian. "Nirwana." Tanpa sadar raut wajah Tae Hwa berubah menjadi datar, namun tidak dengan tatapan teduhnya. Dia sempat bertemu pandang dengan Chang Kyun, namun tidak ada yang bisa mengerti jalan pikiran dari si kakek yang tiba-tiba tertawa ringan dan melepaskan tangannya. "Kau ingin pergi kemana?" tanya si kakek kemudian. "Kami sedang dalam perjalanan pulang." "Sebaiknya jangan, pergilah sejauh mungkin." Guratan heran mulai terlihat di wajah kedua pemuda itu. Tae Hwa pun kembali melontarkan sebuah pertanyaan, "apa yang sedang kakek maksud? Istriku sedang mengandung dan menunggu di rumah saat ini. Bagaimana aku bisa pergi lebih jauh lagi?" "Lepaskan semuanya, apa yang kau miliki saat ini hanya akan membawa petaka bagi hidupmu." Tae Hwa terkejut, namun lebih terkejut lagi ketika Changkyun tiba-tiba menarik pedangnya dan menghunuskannya ke arah si kakek sebagai sebuah peringatan. Bukannya merasa terancam, si kakek justru kembali tertawa dengan suara seraknya. Tae Hwa lantas mengangkat tangan kirinya ke udara, menaruh jemarinya pada punggung pedang milik Chang Kyun dan menurunkannya di saat raut wajahnya terlihat lebih serius namun tetap dengan tatapan yang begitu teduh. Tae Hwa lantas kembali berucap tanpa menghilangkan kewibawaannya, "apa yang saat ini kumiliki, dan apa yang harus aku lepaskan? Jika memiliki karena keserakahan, maka Langit akan memberikan karma padaku. Namun jika memiliki karena sebuah tanggung jawab, maka Kehendak Langit akan menyertai langkah ini." "Itu pilihanmu, Nak. Tapi ingatlah baik-baik, semakin kau bersikeras untuk menahannya, maka akan semakin banyak jiwa yang akan terluka." "Terima kasih atas petuah yang telah kakek berikan, namun aku tidak bisa melepaskan apapun untuk saat ini... Kami permisi, jaga dirimu baik-baik." Tae Hwa kembali melanjutkan langkahnya bersama dengan Chang Kyun, meninggalkan si kakek yang menatap kepergiannya dengan seulas senyum yang menunjukkan sebuah keprihatinan. Setelah berjalan beberapa meter, Chang Kyun menoleh ke tempat si kakek. Namun netranya segera melebar ketika ia tak menemukan sosok si kakek. Langkahnya terhenti, menatap ke sekeliling. "K-kakak ..." sebuah gumaman yang kemudian menghentikan langkah Tae Hwa. Tae Hwa pun berbalik dan berjalan mendekati Chang Kyun. "Ada apa?" "Dia menghilang," ucap Chang Kyun tak percaya. Tae Hwa lantas mengarahkan pandangannya ke tempat yang menjadi perhatian Chang Kyun, dan seketika ia terdiam. Tak terlalu terkejut, namun dia juga tidak membenarkan hal itu. Melihat kondisi si kakek, akan sangat tidak mungkin jika si kakek tiba-tiba menghilang dalam waktu yang cepat. "Nirwana," gumam Tae Hwa dan berhasil menarik perhatian Chang Kyun. Keduanya saling bertemu pandang, namun seakan tak ingin berlama-lama berada di sana. Tae Hwa kembali berucap, "kita lanjutkan perjalanan." Tae Hwa lantas berbalik dan kembali memimpin langkah Chang Kyun yang sesekali menoleh ke belakang, belum menerima kenyataan bahwa kakek itu benar-benar telah pergi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD