Chapter 16

1514 Words
Hari yang tak mudah untuk dijalani bagi Tae Hwa masih berlanjut. Satu minggu setelah kabar kematian Hwa Goon, beberapa orang belum mampu menyembunyikan kesedihan mereka. Satu bulan berlalu, hanya Tae Hwa yang masih belum bisa terlepas dari keterpurukan. Tak ada lagi garis senyum di wajah sang Putra Mahkota. Kelopak bunga yang mekar telah layu dan gugur, meninggalkan tangkai dalam penyesalan ketika ia tak mampu mempertahankan kelopak bunga yang membuatnya terlihat sangat berharga bagi siapapun yang melihatnya. Tak ada lagi yang berharga bagi Tae Hwa. Bahkan ia tak lagi memiliki harapan. Tak lagi memikirkan apa yang harus ia lakukan pada esok hari. Tertidur saat fajar, terjaga sepanjang malam. Sang Putra Mahkota hanya hidup dalam dunianya sendiri yang begitu kelam. Namun dari semua hal yang pergi meninggalkannya, satu orang yang pasti selalu berada di sampingnya. Hwarang Park Chang Kyun, pemuda yang sudah seperti adik laki-laki bagi Tae Hwa itu selalu memastikan keadaan sang Putra Mahkota dan terkadang menjadi perantara bagi Raja Kim Jeon untuk mengetahui apa yang saat ini dilakukan oleh Tae Hwa. Berbagai cara Raja Kim Jeon lakukan agar Tae Hwa segera melupakan kesedihannya. Namun seakan semua hal yang ia lakukan sia-sia, sang putra bahkan sepertinya tak ingin memandangnya lagi. Pagi itu, untuk ke sekian kalinya Chang Kyun memasuki perpustakaan. Menghampiri Tae Hwa di tempat biasa sang Putra Mahkota itu membaca buku, Chang Kyun mendapati Tae Hwa lagi-lagi tertidur dengan tubuh bagian atas yang berada di atas meja. Chang Kyun menghentikan langkahnya di samping meja, menatap prihatin pada sang Putra Mahkota yang begitu menyedihkan. "Ini bukan salah Putra Mahkota. Mohon, hiduplah dengan cara yang lebih baik," gumam Chang Kyun, membimbing kelopak mata Tae Hwa untuk terbuka. Begitulah yang kerap terjadi selama sebulan ini. Meski terlihat tengah tidur, terkadang Tae Hwa masih terjaga dan mendengar apa yang diucapkan oleh Chang Kyun tanpa berniat menyahuti pemuda itu. Tak ingin menggangu Tae Hwa, Chang Kyun lantas berbalik. Memutuskan untuk pergi. Dan saat itulah Tae Hwa menegakkan tubuhnya untuk menghentikan Chang Kyun. "Kau ingin pergi?" Langkah Chang Kyun terhenti, sang Hwarang lantas berbalik dan kembali ke sisi Putra Mahkota. "Kapan Putra Mahkota tertidur?" "Cukup lama. Kapan kau kembali?" "Belum lama." "Kau sudah makan?" Chang Kyun mengangguk. "Kau dari mana?" "Hamba baru saja kembali dari paviliun Baginda Raja." "Apa yang dia katakan padamu?" "Baginda Raja menginginkan Putra Mahkota untuk mengunjungi beliau." "Aku tidak akan pergi," terlihat acuh seperti biasa. Tae Hwa membuka kembali buku di hadapannya. Chang Kyun kemudian menyentuh buku milik Tae Hwa dan membuat sang Putra Mahkota menatap penuh tanya. Tanpa mengucapkan apapun, Chang Kyun membenarkan posisi buku Tae Hwa yang terbalik. Dan itu sudah cukup menegaskan bahwa sang Putra Mahkota tidak benar-benar sedang membaca buku. Seulas senyum tipis pada akhir terlihat di wajah Tae Hwa. Dan hanya pada Hwarang itulah Tae Hwa bersedia untuk menunjukkan garis senyum di wajahnya. Tae Hwa kemudian berucap, "kenapa kau tidak membiarkannya saja?" "Putra Mahkota tidak akan bisa membaca jika bukunya terbalik." "Kau membuatku malu." "Hamba tidak bermaksud." Tae Hwa menghela napas sembari menyandarkan punggungnya. Pandangan itu lantas terjatuh pada jendela. Kembali merasakan suasana hening ketika mulut keduanya kembali terkunci. Dalam ketenangannya, Tae Hwa menegur, "Park Chang Kyun." "Ya, Putra Mahkota?" "Adakah gadis yang sudah menarik hatimu?" Chang Kyun tak memberi jawaban dan hal itu membuat Tae Hwa kembali memandang sang Hwarang. "Adakah?" "Tidak ada, Putra Mahkota?" jawab Chang Kyun kemudian. "Jangan menutup dirimu terlalu lama. Seorang gadis mungkin saja sedang menunggumu di luar sana." "Putra Mahkota tidak perlu mengkhawatirkan hamba." "Tapi aku selalu merasa khawatir padamu." Chang Kyun kembali terdiam. Tak begitu pandai untuk berbicara. "Haruskah aku datang ke sana?" tanya Tae Hwa kemudian. "Jika Putra Mahkota merasa baik-baik saja dengan hal itu, hamba tidak bisa memberikan saran apapun." Tae Hwa kembali tersenyum, "terima kasih." "Untuk apa?" pertanyaan itu hanya bisa diucapkan oleh batin Chang Kyun. FLOWER BREEZE Kegelapan menyergap, pertanda malam telah tiba. Malam itu Tae Hwa memutuskan meninggalkan apartemennya untuk memenuhi panggilan dari Raja Kim Jeon. Bersama Chang Kyun yang berada di belakangnya, keduanya melangkahkan kaki mereka dengan tenang menembus kegelapan malam. Dalam perjalanan keduanya bertemu dengan rombongan Joo Hyun. Namun layaknya orang asing, Tae Hwa berpapasan dengan Joo Hyun tanpa sedikitpun memandang wanita itu. Dan setelah berpapasan dengan Tae Hwa, langkah Joo Hyun terhenti. Hatinya masih terasa sakit setiap kali melihat Tae Hwa mengabaikannya. Meski seharusnya ia sudah mulai terbiasa dengan sikap Tae Hwa yang semakin dingin sejak berita kematian Hwa Goon. Joo Hyun lantas melanjutkan langkahnya, begitupun dengan Tae Hwa dan Chang Kyun. Setelah sampai di paviliun Raja Kim Jeon, Tae Hwa memasuki ruangan di mana sang ayah berada. Meninggalkan Chang Kyun yang berdiri di depan pintu bersama Kasim Hong. Raja Kim Jeon yang melihat kedatangan putranya lantas menegur, "setelah puluhan kali aku memanggilmu, akhirnya kau baru bersedia menemuiku sekarang ... bagaimana keadaanmu, Putra Mahkota?" Tae Hwa menjawab dengan pembawaan yang tenang seperti biasa namun terkesan dingin, "sangat baik untuk bisa menemui Ayahanda." "Itu adalah berita yang bagus," seulas senyum tercipta di wajah Raja Kim Jeon. "Aku mengerti bagaimana perasaanmu, tapi kita tidak bisa berhenti di saat waktu tetap berjalan." "Ada keperluan apa sehingga Ayahanda menginginkan pertemuan denganku?" Tae Hwa bersikap seakan-akan ia tak bisa berlama-lama berada di sana. "Kau tidak ingin berbicara lebih lama lagi dengan ayahmu? Kenapa kau terkesan ingin segera pergi dari sini?" "Aku tidak bermaksud untuk menyinggung hati Ayahanda. Jika perkataanku sudah menyinggung perasaan Ayahanda, aku mohon maaf." "Lupakan saja. Seperti yang kau inginkan, aku akan mengatakan tujuanku memanggilmu datang kemari," Raja Kim Jeon memberikan sedikit jeda. "Aku sudah mendapatkan gadis yang tepat untukmu. Persiapkan dirimu untuk pernikahan." "Aku menolak." Raja Kim Jeon tak terkejut, telah mengantisipasi hal itu sejak sebelum Tae Hwa menginjakkan kaki di tempatnya. Dia tahu bahwa putranya itu pasti akan menolak dengan alasan apapun. "Jika kau tahu betapa pentingnya posisimu, kau tidak akan mengatakan hal semacam itu, Putra Mahkota." Tae Hwa tak menjawab, dan keterdiamannya berlaku untuk beberapa detik setelahnya. Hingga pada akhirnya Raja Kim Jeon harus kembali menyambung pembicaraan. "Katakan sesuatu, Putra Mahkota." Menyimpan perkataannya, Tae Hwa lebih memilih untuk membiarkan satu persatu lututnya menyentuh lantai dan membuat sang ayah menatap dengan raut wajah yang datar. Masih dengan suara yang tenang, Raja Kim Jeon menegur sang putra yang kini berlutut di hadapannya, "apa maksud Dari semua ini, Putra Mahkota?" "Izinkan hamba pergi, Yang Mulia." Batin Raja Kim Jeon tersentak. "Apa yang sedang kau bicarakan, Putra Mahkota?" "Hamba ingin berhenti. Hamba tidak ingin melanjutkan jalan hamba sebagai Putra Mahkota." Suara Raja Kim Jeon lantas meninggi, "omong kosong macam apa ini, Putra Mahkota?" "Bukan hanya sekedar omong kosong. Hamba sudah memikirkan semuanya. Dan inilah keputusan hamba ... hamba akan meninggalkan posisi hamba apapun yang terjadi." "Kau jangan gila! Kau berpikir bahwa takhta ini hanyalah sebuah permainan?" "Hamba tidak pernah memikirkan hal semacam itu. Hamba hanya menuntut kebebasan dari Yang Mulia. Mohon ... pertimbangkan keputusan hamba." "Tidak akan pernah!" tandas Raja Kim Jeon. "Bahkan sampai aku mati sekalipun, aku tidak akan memberikan izin padamu." Tae Hwa mengangkat wajahnya dan bertemu pandang dengan Raja Kim Jeon. Tatapan mata yang tak lagi menunjukkan harapan apapun. Sang Putra Mahkota yang telah menjadi pria paling menyedihkan di dataran Seorabol dan sering menjadi bahwa gunjingan oleh rakyat. Raja Kim Jeon kembali berbicara, "kembalilah ke paviliunmu, sepertinya keadaanmu belum cukup baik. Tapi apapun alasannya, pernikahan akan tetap berlangsung ... aku tidak ingin kau mengacaukan semuanya." Tak juga mendapatkan apa yang ia inginkan, Tae Hwa lantas meninggalkan paviliun Baginda Raja. Namun bukannya segera kembali ke paviliunnya, Tae Hwa justru menghentikan langkahnya di taman yang berada di dekat aliran sungai buatan yang tidak terlalu besar. Chang Kyun yang berdiri di belakang Tae Hwa lantas menegur, "kenapa Putra Mahkota datang ke tempat ini?" "Chang Kyun," bukannya memberikan jawaban, Tae Hwa justru menegur. "Ya, Putra Mahkota?" "Sebenarnya ... ada tempat yang ingin aku kunjungi." "Di manakah tempat itu, Putra Mahkota?" "Nirwana." Batin Chang Kyun tersentak. Tak habis pikir melihat Tae Hwa masih mengingat ucapan kakek yang pernah mereka temui dalam perjalanan kembali ke istana. Sempat berada dalam keraguan, Chang Kyun lantas menemukan kepercayaannya. Dia kemudian berucap tanpa ragu, "kalau begitu, bawalah hamba pergi bersama dengan Putra Mahkota." Tae Hwa memutar tubuhnya hingga berhadapan dengan Chang Kyun. Ia kemudian berucap, "aku tidak memiliki apapun untuk diberikan padamu." "Hamba tidak meminta apapun dari Putra Mahkota. Hanya satu ... bawalah hamba ke manapun Putra Mahkota ingin pergi." Seulas senyum kembali pada wajah Tae Hwa. "Kau yakin akan melakukan hal ini? Aku tidak bisa memberikan harapan apapun padamu." "Seorang prajurit sejati tidak akan pernah mengingkari sumpahnya." "Kalau begitu, apa sumpahmu?" "Mengabdikan hidup hamba untuk melindungi Putra Mahkota." "Itu adalah sumpah yang menyedihkan. Kenapa kau melakukan hal itu ... pada orang sepertiku?" "Hamba belum memiliki jawaban yang Putra Mahkota inginkan." "Kau memang bodoh. Aku ... sudah membuat keputusan." Tae Hwa terdiam untuk menunggu respon yang akan Chang Kyun berikan. Namun hingga akhir pun Chang Kyun tetap berdiam diri. Tae Hwa lantas kembali berbicara. "Malam ini ... aku ingin menjadi seseorang yang bisa kau panggil dengan sebutan 'Hyeongnim' Park Chang Kyun." Chang Kyun menatap penuh tanya, namun mulutnya menolak untuk bertanya. "Aku ... ingin menemukan tempat yang lebih layak untuk disebut rumah. Ayo kita pergi, Kim Chang Kyun ... malam ini."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD