bc

A Cup Of Sweet Cream

book_age18+
638
FOLLOW
3.4K
READ
possessive
goodgirl
drama
office/work place
first love
wife
like
intro-logo
Blurb

Hubungan persahabatan, terkadang bisa membuahkan cinta di hati mereka. Tapi apa jadinya jika cinta itu hanya dirasakan oleh satu pihak? Sementara pihak lain justru memilih untuk menikah dengan kekasihnya sendiri?

chap-preview
Free preview
episode 1
Perempuan itu tampak membolak – balik kertas di hadapannya, memastikan sekali lagi jika surat lamaran pekerjaan yang ia buat itu sudah benar. Hari ini, Kanaya berniat untuk mengajukan sebuah lamaran pekerjaan baru di sebuah perusahaan consumer goods yang cukup memiliki nama. Kanaya meneguk minumannya. Ia sudah menunggu selama beberapa menit di rumah makan itu. Seorang teman mengatakan jika ia bisa membantu Kanaya masuk ke dalam perusahaan itu, lantaran ia memiliki seseorang yang cukup berpengaruh di sana. Dan, hari ini orang tersebut ingin bertemu Kanaya secara langsung. Memang, sesuatu yang tidak biasa tapi barangkali di situlah letak keberuntungan perempuan itu. Kanaya menarik napas dalam – dalam, ia terus saja melihat ke arah pintu dan berharap mereka menepati janjinya itu. Kanaya memang sangat ingin bekerja di sana, semua itu semata karena gaji yang ditawarkan cukup menarik, dan Kanaya sangat yakin akan kemampuan dirinya. Kanaya lulus dengan nilai yang cukup memuaskan, sekalipun tidak menjadi lulusan terbaik di kampusnya dulu. “Naya?” Suara yang tak asing itu memanggil, Kanaya menoleh dan segera berdiri ketika melihat Nadine dan seorang laki – laki berjas sudah berdiri di dekatnya. “Ini Pak Elang, salah satu manajer di perusahaan itu.” Kata Nadine memperkenalkan. Kanaya sedikit membungkukkan badan untuk memberi salam kepada laki – laki itu, “Selamat siang, Pak. Saya Kanaya, yang ingin bekerja di perusahaan itu.” Kanaya berbicara dengan sangat sopan sambil menatap ke dalam mata Elang. “Sebaiknya kita duduk dulu, agar lebih santai.” Nadine menarik kursi untuk dirinya sendiri, diikuti oleh Elang dan Kanaya. “Jadi begini, Naya. Kebetulan Pak Elang membutuhkan seorang assistant untuk membantu pekerjaannya. Pak Elang bertanya kepadaku, apakah aku memiliki kenalan yang berpotensi di bidang itu. Kebetulan kamu sedang mencari pekerjaan baru, jadi aku mempertemukanmu dengan Pak Elang secara langsung.” Jelas Nadine, yang merupakan teman Kanaya di masa kuliah dulu. Nadine sendiri bekerja di salah satu cabang perusahaan tersebut. “Jadi, kamu yang bernama Kanaya?” Elang menatap Kanaya dengan lekat. Memperhatikan perempuan cantik itu dengan sungguh – sungguh. Sesekali bibirnya tampak tersenyum, saat tatapan mereka beradu. Kanaya mengangguk, “Benar, Pak. Saya Kanaya, suatu kehormatan dapat bertemu dengan anda secara pribadi.” “Sebenarnya, urusan mencari karyawan itu bukan wewenang saya. Ada bagian personalia yang lebih berhak untuk melakukan seleksi. Tapi, karena pekerjaan ini berhubungan dengan pekerjaan saya, saya ingin mencari rekan yang benar – benar pas dan cocok untuk saya. Itulah mengapa saya menghubungi Nadine, dan kebetulan dia memiliki kamu. Nadine mengatakan kalau kamu sudah pernah bekerja di bidang yang sama, saya rasa itu tidak akan sulit untukmu, Kanaya. Saya memutuskan untuk merekomendasikan kamu ke bagian personalia, tapi kamu tetap harus melewati proses wawancara dan mungkin juga sedikit tes. Tapi, jika saya yang membawamu masuk, maka peluangmu jauh lebih besar. Apakah kamu mau?” Elang menatap Kanaya dengan lekat, dan gadis itu membalasnya dengan sebuah senyuman. “Saya sangat berterima kasih, jika Bapak bersedia membantu.” “Saya senang mendengarnya, apa boleh saya melihat berkas – berkas surat lamaranmu itu, Kanaya?” Kanaya dengan segera memberikan map berisi surat lamaran itu kepada Elang, dan lelaki itu membukanya dengan cekatan, membaca setiap lembarnya dengan hati – hati. Sesekali Elang terlihat mengangguk, membuat Kanaya cukup cemas akan tanggapan laki – laki itu nanti. “Saya rasa, kamu sesuai untuk pekerjaan itu, Kanaya. Kamu memiliki pengalaman yang lumayan. Saya akan membawa berkas ini ke bagian personalia.” Kanaya menarik napas lega, ia bersyukur atas kemudahan yang diberikan padanya itu, “Terima kasih, saya sangat berterima kasih kepada Bapak.” “Jangan sungkan, Kanaya. Bagaimana kalau kita makan siang sekalian?” “Ehm, Pak, Elang? Sepertinya saya harus segera pergi, saya memiliki janji dengan seseorang di kantor. Saya minta maaf, karena tidak bisa ikut makan siang hari ini.” Ucap Nadine menyesal. “Baiklah, kita bisa makan siang di lain waktu. Terimakasih, Nadine.” “Nadine, terima kasih untuk bantuanmu. Aku akan telephone nanti.” Kanaya tersenyum kepada perempuan itu, dan Nadine menepuk bahu Kanaya pelan, “Sukses untukmu, ya? Aku pergi dulu.” Kanaya hanya diam, saat Nadine tak berada di tempat itu lagi. Rasa canggung mulai meliputi perempuan itu. Sesekali ia tersenyum, dan semakin gelisah karena lelaki di hadapannya ini terus saja menatapnya dengan lekat. “Sebaiknya saya pergi, Pak. Saya tidak ingin mengganggu kesibukan Bapak.” Ucap Kanaya dengan ramah. “Oh, tidak. Lagipula ini jam makan siang. Aku memiliki waktu satu jam untuk istirahat. Lagipula aku seorang manajer, yang tidak harus selalu berada di kantor.” Kanaya mengangguk, dan mengulaskan senyum kecil di bibirnya. “Kanaya, kurasa usia kita tidak terpaut jauh. Kau tidak harus berbicara formal begitu. Lagipula kita hanya berdua di sini. Kau bisa memanggilku Elang saat kita berada di luar kantor. Aku lebih nyaman dengan itu.” “Tapi, saya belum terbiasa.” “Karena itu buatlah dirimu terbiasa. Aku lihat di CV-mu kau belum menikah, apakah kau punya seseorang?” “Maksud anda?” Kanaya mendongak, kali ini ia memberanikan diri untuk melihat ke dalam mata laki – laki itu. “Kekasih, maksudku. Apa kau memilikinya?” Kanaya mengangguk pelan, “Ya, saya memilikinya.” “Oh, begitu.” Elang tersenyum tipis, ia meraih gelas minumannya dan meneguknya perlahan. “Maaf, aku tidak bermaksud ingin mencampuri urusan pribadimu, tapi aku akan kesulitan jika kau tiba – tiba menikah dalam waktu dekat ini. Karena aku membutuhkan seseorang yang benar – benar bisa memusatkan dirinya untuk pekerjaan, setidaknya sampai satu tahun penuh.” “Saya belum memiliki rencana untuk menikah. Tujuan utama saya saat ini memang untuk pekerjaan, Pak, Elang.” “Aku senang mendengarnya, Kanaya. Makanlah sebelum dingin.” Elang menatap Kanaya dengan pandangan yang berbeda, dan Kanaya sadar jika lelaki itu terus menatapnya dengan mata yang tidak biasa. .......... Kanaya melepas sepatunya, begitu ia kembali dari acara makan siang itu. Perempuan itu menghembuskan napas, antara lega juga sedikit cemas. Kanaya memang sangat berharap bisa bergabung dengan perusahaan besar itu, dan sepertinya ia memang memiliki peluang untuk masuk. Perempuan itu membuka tas kecilnya, dan mencari – cari ponsel yang sejak tadi sudah berdering, dan melihat nama Nadine tertera di layar ponsel itu. Kanaya bergegas menjawab ponsel itu dengan senang. “Halo, Nadine?” Sapa Kanaya melalui ponselnya itu. “Naya, kurasa kau memiliki peluang yang besar untuk masuk ke dalam perusahaan kami.” Suara Nadine terdengar ceria, ia begitu senang saat mendengar Kanaya memiliki peluang. “Benarkah?” “Hmm, Pak, Elang, memiliki kekuasaan yang cukup besar di sana. Kau beruntung, karena dia bahkan datang sendiri untuk melihatmu. Sepertinya dia sangat tertarik saat aku mengatakan tentang dirimu, Kanaya.” “Begitu rupanya, aku berterima kasih padamu, karena kau sudah banyak membantuku.” “Ah, kau tidak perlu berterima kasih padaku. Aku senang bisa membantumu, Naya.” Kanaya tersenyum tipis. Ia beruntung, karena bertemu Nadine kembali setelah beberapa tahun tak tahu menahu kabar gadis itu. “Apa kau memiliki waktu luang, Nadine? Aku ingin bertemu denganmu.” “Ehm, bagaimana kalau akhir pekan? Aku libur di akhir pekan.” “Baiklah, sampai bertemu di akhir pekan.” Kanaya menutup telephonenya. Perempuan itu melangkah ke dapur dan membuat segelas kopi untuk dirinya sendiri. Kanaya memang tinggal seorang diri di rumah itu. Rumah yang tidak besar tapi sangat nyaman untuk dia tinggali. Sebagai anak tunggal, Kanaya memang memiliki kewajiban untuk merawat rumah itu, apalagi setelah kedua orang tuanya tiada. Kanaya menyesap kopinya, perempuan itu duduk di teras kecil rumahnya. Pandangannya jatuh kepada seekor anak kucing yang berusaha masuk ke dalam, melewati pagar rendah rumah itu. Kanaya meletakkan kopinya, menghampiri anak kucing yang tubuhnya hampir terjepit pagar. Dengan sangat hati – hati, Kanaya mengeluarkan anak kucing itu dan membawanya ke teras rumah. Perempuan itu mengusap bulu lembutnya, dan tersenyum saat matanya beradu dengan mata kucing itu. “Kau lapar? Tapi aku hanya punya sedikit roti isi, apa kau mau?” Kucing kecil itu mengeong, seolah mengerti apa yang diucapkan Kanaya padanya. Kanaya meletakkan kucing itu di atas kursi terasnya, dan bergegas masuk ke dalam untuk mengambil sepotong roti isi. Perempuan itu menunduk, mengusap kepala kucing itu dengan lembut dan meletakkan roti yang sudah ia potong kecil – kecil di hadapan anak kucing itu. “Makanlah, ada daging di dalam roti itu.” Ucap Kanaya, tersenyum lembut. Kucing itu mulai mengendus roti yang diberikan Kanaya, dan perlahan mulai menikmati makan siangnya dengan lahap. “Astaga, kau benar – benar lapar rupanya. Di mana kau tinggal? Ehm, kurasa kau tidak memiliki rumah. Bagaimana kalau tinggal saja denganku? Aku sendirian di rumah ini dan terkadang kesepian kalau Dave tidak datang. Tapi sebentar lagi, aku akan sibuk dan bekerja. Ah, kurasa aku harus memberimu tempat yang nyaman dan juga makanan sebelum aku berangkat bekerja, bukan?” Kanaya terus berbicara kepada kucing itu, dan sesekali kucing berbulu cokelat itu pun terdengar mengeong untuk memberi jawaban. “Kuanggap kau setuju tinggal denganku. Aku memberimu nama Luna, nama yang cantik, bukan?” Kanaya begitu asyik berbicara dengan kucing itu, sampai tidak menyadari kehadiran Dave di sana. Lelaki berparas elok itu mengamati kekasihnya, sesekali ia tampak tersenyum melihat tingkah Kanaya yang lucu. “Kanaya..” Kanaya menoleh, senyum mengambang menunjukkan dengan jelas, jika perempuan itu sangat senang melihat kedatangan Dave. “Kau tidak bekerja, Dave?” Kanaya berdiri, menyambut kehadiran laki – laki itu. “Aku baru saja berkeliling untuk memantau mereka, dan mampir ke mari.” Dave memberikan sebuah bungkusan berisi makanan kepada Kanaya, “Kau belum makan siang, kan?” “Ehm, kebetulan sudah. Tadi aku bertemu dengan seorang manajer yang akan membantuku bekerja di perusahaan itu. Dia membawa kami sekalian makan siang.” Jelas Kanaya ragu. “Begitu, ya? Apakah Nadine juga ikut?” “Ya, dia bersama denganku.” Kanaya terpaksa sedikit berbohong, ia tak ingin Dave berpikir yang tidak – tidak tentang makan siang itu. Dave duduk di kursi teras itu, menatap anak kucing yang masih menikmati makanannya, “Kau memelihara kucing?” “Dia datang sendiri, aku kasihan padanya. Bukankah dia lucu?” Kanaya mengusap Luna, si kucing kecil itu. “Namanya Luna, aku akan memberinya sebuah rumah. Kira – kira di mana aku harus membeli rumah kucing untuknya, Dave?” “Luna? Itu seperti nama kucing di dalam film kartun anak – anak, bukan?” Dave tertawa kecil, dan menatap Kanaya dengan tatapan lembut. “Hmm, kau benar.” “Aku bisa membuat rumah untuknya kalau kau mau, Naya. Kita hanya membutuhkan beberapa lembar papan juga perlengkapannya.” “Sungguh? Kau mau membuatnya?” Mata Kanaya berbinar, dan lelaki itu mengangguk sambil mengacak rambut Kanaya gemas. “Aku tidak perlu cemas kalau begitu, Dave. Apa yang kau bawa ini?” Kanaya menunjukkan bungkusan yang tadi diberikan laki – laki itu. “Sebenarnya itu makan siang untukmu, tapi kau bisa menyantapnya untuk makan malam nanti. Hangatkan saja sebelum kau memakannya.” “Tentu. Aku akan memakannya nanti malam.” Kanaya tersenyum, menatap Dave dengan cinta yang begitu dalam. Kanaya mengenal laki – laki itu bukan sebentar. Dave adalah laki – laki yang ia jumpai semasa kuliah dulu. Sebuah hubungan yang mereka bangun dengan susah payah. Dan, selama itu Dave sama sekali tidak berubah, ia tetap menjadi Dave yang mencintai Kanaya dengan sepenuh hati. Dave begitu ingin membuat Kanaya bahagia dengan hasil keringatnya sendiri. Itulah mengapa Dave bekerja keras agar bisa menikahi perempuan itu dengan layak. “Dave, apakah pekerjaanmu lancar hari ini?” Kanaya menyuguhkan segelas kopi kepada laki – laki itu, lalu duduk di dekatnya. Kanaya bahkan mampu melihat peluh yang membasahi kemeja kekasihnya itu. “Ya, bawahanku bekerja keras demi target bulan ini. Aku bahkan mendapat toko baru, kurasa aku akan menjadi marketing terbaik bulan ini, Naya.” Dave berbicara dengan penuh semangat, laki – laki itu memang pekerja keras. “Aku bangga padamu, Dave. Aku selalu berdoa untuk kelancaranmu.” “Terima kasih, Naya. Aku senang kau selalu memberi dukungan untukku.” Dave menyesap kopi panas itu, dan seketika menyengir karena membuat lidahnya terasa seperti terbakar. “Hati – hati, Dave! Itu masih panas!” Kanaya terlihat panik, saat melihat Dave kesakitan karena kopi itu. “Tunggu sebentar, aku akan mengambil buah dingin untukmu.” Kanaya bergegas masuk ke dalam dan segera kembali dengan semangkuk semangka di tangannya, “Makan buah dulu, ini akan meredakan sakit di lidahmu.” Perempuan itu mengambil potongan buah dan memberikannya kepada Dave. “Terima kasih, Naya, aku merasa lebih baik.” Dave tersenyum lembut kepada perempuan itu, dan kembali menikmati minumannya. Lelaki itu melihat jam tangannya, ia kemudian berdiri setelah menghabiskan minumanya itu, “Naya, aku harus kembali ke kantor untuk membuat laporan. Apakah kau baik – baik saja sendirian di rumah?” Dave tampak mencemaskan perempuan itu, ia menatapnya dengan sayu. “Aku tidak sendiri, Dave, ada Luna yang menemaniku sekarang.” Kanaya tersenyum lebar, tak ingin membuat laki – laki itu cemas. “Baiklah, besok aku akan datang untuk membuat rumah bagi Luna. Kebetulan aku mendapat jatah cuti.” “Benarkah? Aku senang karena kau mengambil cutimu, Dave.” Dave mencondongkan tubuhnya ke depan, dan mengecup kening Kanaya, “Jaga dirimu baik – baik, kalau butuh sesuatu segera hubungi aku.” Kanaya mengangguk, dan membuka pagar kecilnya untuk Dave. Lelaki itu segera melangkah pergi dan masuk ke dalam mobil dinasnya. .................. Elang memberikan berkas – berkas milik Kanaya kepada kepala personalia di perusahaan itu, dan lelaki paruh baya tersebut segera memeriksanya. “Apa hubunganmu dengan perempuan ini, Pak, Elang?” Lelaki itu mendongak, menatap Elang dengan seksama. “Tidak ada. Tapi, aku sangat yakin dengan potensi yang dimiliki Kanaya. Lihat, dia memiliki pengalaman yang sama di bidang itu, kan?” Jelas Elang, membalas tatapan mata tua itu. “Ya, aku membacanya. Tapi, darimana kau mendapatkan Kanaya?” Kepala personalia itu tampak menyelidik. “Kau tahu Nadine? Wanita yang bekerja di salah satu kantor cabang perusahaan ini?” “Ya. Akuntan itu. Aku tahu.” Jawab Lelaki itu. “Kanaya adalah teman Nadine semasa kuliah dulu. Dia yang membawa perempuan itu kepadaku. Kau tak perlu meragukannya, aku yang akan bertanggung jawab. Lagipula, Kanaya akan bekerja langsung di bawahku. Aku membutuhkan orang yang kompeten seperti dia.” Elang menatap lelaki paruh baya itu dengan tajam. “Baiklah, aku akan mempelajari berkas ini dan segera memberitahumu.” Elang berdiri dari kursinya, tersenyum tipis, “Bagus, kau akan menerima perempuan itu.” “Apa yang bisa kulakukan, kalau kau sudah menentukannya, Pak, Elang?” Elang tertawa, dan mengedipkan sebelah matanya kepada laki – laki itu, lalu bergegas melangkah ke luar. “Tentu saja, posisimu itu hanyalah formalitas belaka, tapi aku jauh memiliki hak untuk menentukan orang – orang yang akan bekerja di bawahku.” Gumam Elang, dan tersenyum dengan begitu angkuhnya. ............. Elang menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi eksekutif itu, bibirnya tampak selalu tersenyum saat mengingat Kanaya. Ia tak sabar, ingin segera melihat Kanaya bekerja di perusahaan ini. Lelaki itu menekan tombol telephone yang terletak di meja kerjanya, tak butuh waktu lama untuknya menerima jawaban. “Selamat siang, Pak, Elang? Apakah Bapak membutuhkan sesuatu?” Suara seorang perempuan terdengar dari sana. “Ya, aku ingin menanyakan soal meja yang kupesan beberapa hari yang lalu. Apakah sudah ada kabar?” Tanya Elang kepada perempuan itu, yang tak lain adalah sekretarisnya. “Oh, mereka belum memberi kabar. Besok saya akan mencoba untuk bertanya kembali, Pak.” “Oke, tolong tanyakan. Jika memang sudah selesai kau bisa membawanya ke ruanganku. Aku sudah menemukan orang yang akan membantuku secara langsung.” “Dia akan bekerja di ruangan anda?” Nada heran terdengar dari sana. “Tentu saja, itu membuatku lebih mudah untuk berkomunikasi dengannya, bukan?” “Baiklah, saya mengerti.” Jawab perempuan itu dan menutup telephonenya. “Kanaya...nama yang cantik, secantik pemiliknya.” Elang tersenyum lebar, sembari memainkan pena yang ada di ujung jemarinya itu. Lelaki berkulit kuning itu menghela napas, ia terus saja teringat akan wajah Kanaya yang begitu manis, serta cara bicara perempuan itu yang seakan telah membuatnya terpesona. “Aku tak sabar melihatmu duduk di sana, Kanaya. Setiap hari.” Gumam Elang, dan menatap ke sudut ruangan yang akan digunakan Kanaya nanti. Saat Elang masih mengingat – ingat akan perempuan itu, tiba – tiba sesuatu mengganggu pikirannya. Elang ingat kalau Kanaya mengatakan jika dirinya telah memiliki seorang kekasih, sebuah kenyataan yang sangat tidak ia harapkan. Lelaki itu terlihat mengerutkan keningnya, ia seolah sedang berpikir dengan keras. Memikirkan siapa laki – laki yang begitu beruntung itu, dan apa pekerjaannya, sehingga membuat Kanaya bersedia menjalin hubungan dengannya. “Tapi kurasa, laki – laki itu tidak memiliki posisi sebagus aku. Jika dia memilikinya, dia pasti bisa membantu Kanaya untuk mendapatkan pekerjaan tanpa harus mencari di tempat lain, bukan?” Elang menyipitkan matanya, ia sangat yakin dengan asumsinya itu. “Jika Kanaya gadis pintar, dia pasti akan memilih laki – laki yang jauh lebih mapan. Dan laki – laki itu adalah aku. Jadi, begini rasanya jatuh cinta pada pandangan pertama? Setelah sekian kali, baru sekarang aku benar – benar menyukai seseorang. Kanaya..kau sudah mendapatkan tempat di hatiku, bahkan sejak pertama kali aku melihatmu.” Elang kembali tersenyum, lelaki itu memejamkan matanya, entah apa yang sedang ia pikirkan. “Elang, kau sedang apa?” Elang membuka matanya, saat mendengar suara itu. Lelaki itu duduk di sana, di sofa tamu yang berada di sisi kanan ruangan. “Kau? Kenapa tidak memberi kabar? Kapan kau datang?” Elang melangkah mendekati laki – laki itu, dan duduk di sana. “Aku ingin memberimu kejutan.” Ucap Rian, sepupu Elang yang baru saja datang dari Los Angeles itu. “Ya, aku benar – benar terkejut. Kau bahkan menemuiku di perusahaan ini.” Elang menatap sepupunya itu dengan senyum tipis. “Kenapa? Kau keberatan?” “Bukan begitu, tapi lebih nyaman jika kita bertemu setelah aku kembali ke rumah, bukan?” “Hmm, tapi aku tak sabar untuk segera melihatmu, Elang. Kau benar – benar berbeda setelah sekian tahun aku tak melihatmu.” “Ha..ha, kau yang berbeda, Rian. Rambutmu bahkan berubah pirang sekarang. Apa kau senang tinggal di L.A?” Rian tertawa kecil, lelaki seumuran Elang itu tampak mengusap rambutnya, “Yah, aku senang tinggal di sana. Kau tak akan menemukan gadis – gadis seperti mereka di sini.” Bisik Rian, membuat Elang terkekeh. “Aku tak peduli dengan itu, Rian. Aku juga tak menyukai gadis yang kerap memperlihatkan perutnya. Ehm, tapi di mana kau meletakkan barang – barangmu?” Elang melihat ke belakang laki – laki itu, tapi tak satu koper pun ia temui. “Aku meninggalkannya di hotel. Aku akan menginap di sana.” “Oh, kenapa di hotel? Rumahku cukup luas untukmu, bukan?” “Kau tak keberatan aku tinggal di rumahmu untuk sementara waktu, Elang?” Tanya Rian dengan senyum lebar. “Astaga, apa yang kau bicarakan? Tentu saja aku senang kalau kau mau menginap di rumah. Lalu bagaimana dengan debutmu? Apakah itu sukses?” “Kau merendahkanku. Tentu saja aku selalu berhasil di setiap debutku, dan sekarang aku sedang menikmati liburan panjang sebelum membuat album baru.” “Aku mendengar lagumu. Itu lumayan bagus.” Elang mengangguk – angguk sambil membuka akun media sosial melalui ponselnya. “Benarkah?” “Lihat, kau bahkan terkenal di media sosial.” Elang menunjukkan sebuah foto ketika Rian sedang melakukan debut di City Of Angels itu. “Ah, kau membuatku tersanjung. Foto itu diambil oleh para wartawan yang sedang meliput.” Jelas Rian. “Tapi, apakah kau tidak mengalami kesulitan saat kembali ke sini, Rian? Bagaimana kau bisa lolos dari mata para wartawan itu?” Elang menatap Rian lurus ke dalam manik matanya. Ia tak pernah menduga, jika sepupunya itu akan setenar sekarang di dunia entertainment. “Apalagi yang bisa kulakukan selain pergi dengan diam – diam? Aku hanya ingin berlibur sampai saat di mana aku harus kembali bekerja. Aku melarang pihak manajemen untuk memberitakan soal keberangkatanku ini.” “Wah..wah, kau benar – benar luar biasa. Aku salut padamu. Kau mau kopi?” Elang berdiri dari kursinya dan hendak memesan kopi untuk Rian. Tapi lelaki itu menolak dan segera memakai kacamata hitam serta topinya. “Sebaiknya aku pergi, aku akan kembali ke hotel dan menunggumu datang menjemput. Selamat bekerja, Elang.” “Oke, aku akan menjemputmu nanti malam.” Elang melangkah ke pintu, membuka pintu itu dan mengantar Rian sampai di lobi depan.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Siap, Mas Bos!

read
13.2K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
205.6K
bc

My Secret Little Wife

read
97.6K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.0K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook