Di dalam Ruang Putih yang sunyi, Lala menatap layar ponselnya. Jemarinya yang dibalut sarung tangan vinil transparan terasa asing, seolah-olah ia sedang mempersiapkan diri untuk operasi bedah, bukan untuk memulai percakapan pribadi. Logikanya, yang telah ia bangun selama bertahun-tahun, berteriak bahwa ini adalah tindakan biologis yang ceroboh. Ia baru saja membuka pintu airlock bentengnya, dan ia tahu, di luar sana, Dika sedang membawa lumpur dan air bah.
Ia menghapus draf pertamanya, yang terlalu singkat dan dingin .
"Terima kasih atas laporan teknis. Koneksi kembali normal. Silakan dilanjutkan."
Ia menghapus draf kedua, yang terlalu panjang dan jelas menunjukkan rasa ingin tahu.
"Bagaimana Anda mengatasi badai? Apakah Anda merasa kedinginan? Apakah Anda terluka?"
Akhirnya, ia memilih jalur tengah. Profesional, tetapi dengan sentuhan Optik penglihatan hati yang melihat melampaui data murni.
Lala (via Direct Message Telegram) "Selamat pagi, Dika. Saya Lala. Saya adalah salah satu penulis yang karyanya tergantung pada stabilitas jaringan yang Anda perbaiki. Saya melihat laporan Anda di grup mengenai splicing di tengah badai, dan rawa. Saya hanya ingin menyampaikan apresiasi yang tulus. Sebagai seseorang yang bekerja dengan narasi, saya terkesan pada integritas teknis dan heroik yang Anda tunjukkan dalam pekerjaan Anda. Anda adalah jembatan yang menghubungkan dunia kami yang virtual dengan dunia nyata. Saya harap Anda dan motor Anda baik-baik saja."
Ia menekan tombol kirim. Seketika, ia merasa mual. Itu adalah momen paling berisiko yang ia ambil sejak ia memutuskan untuk hanya makan makanan yang disiapkan sendiri di rumah. Lala segera meletakkan ponsel itu di atas nampan disinfektan dan berjalan cepat menuju wastafel, mencuci sarung tangan vinilnya hingga tiga kali lipat.
Lima menit yang terasa seperti satu jam, ponselnya bergetar lagi. Lala kembali dengan hati-hati. Dika sudah membalas.
Respon dari Alam Liar.
Ribuan kilometer jauhnya, di pedalaman Kalimantan yang basah, Dika (33) baru saja selesai menyemprotkan air berlumpur dari motor trail bututnya. Ia sedang duduk di kursi plastik yang sudah pecah di pos jaganya, mencoba mengeringkan sepatu botnya di bawah kipas angin reyot, sambil menahan gerutuan seorang mandor yang mengeluhkan lambatnya proses perbaikan. Dika memiliki wajah yang ramah, dengan garis-garis kerutan senyum di sudut matanya—seorang pria yang terbiasa hidup di bawah matahari dan di tengah kesulitan.
Ketika notifikasi dari "Lala, penulis" masuk, Dika terkejut. Biasanya, ia hanya menerima pesan dari rekan-rekan atau pesan komplain dari kantor pusat.
Ia membaca pesan Lala. Senyum Dika melebar. Integritas teknis dan heroik. Dia hampir tertawa keras. Dia baru saja dipukuli oleh sebatang pohon yang tumbang dan kini disengat nyamuk berukuran koin, tapi pesan ini terdengar seperti ucapan dari permaisuri kerajaan yang mengirim ucapan untuk seorang ksatria yang bau.
Dika, tanpa memikirkan struktur kalimat yang rapi, langsung mengetik balasan, jarinya kotor oleh lumpur yang kini menempel di layar ponselnya. Dia tidak memiliki filter untuk apa pun, baik untuk air, udara, atau kata-kata.
Dika (via Direct Message Telegram): "Lala, terimakasih banyak. Jarang-jarang kami dihargai seperti ini. Jujur saja, setelah bergumul dengan rawa yang mirip bubur candil dan disambar petir, mendengar kata 'heroik' membuat saya merasa bersih lagi. Hehe. Untuk motor, dia baik-baik saja, hanya butuh banyak bensin dan sedikit doa anti-karat! Kami semua di sini adalah Tim Anti-Kotoran (walau kami sendiri selalu kotor). Kami harus memastikan cahaya itu sampai ke tempat Anda. Saya dengar Anda menulis drama. Pasti jauh lebih seru daripada drama kabel yang putus. Salam dari lumpur. Semoga Anda selalu aman di Ruang Putih Anda."
Lala membaca balasan itu, berdiri di tengah dapurnya yang berkilauan. Ia mencengkeram ponselnya erat-erat (melalui vinil, tentu saja). Reaksinya terbagi dua. Logika Lala mencatat.
Penggunaan emoji berlebihan: Tidak profesional.
Penggunaan istilah kotor (bubur candil) Tidak pantas.
Penggunaan jargon spiritual (doa anti-karat)Tidak stabil.
Tetapi sisi Optik Lala berdesir. Kejujurannya begitu murni. Dia tidak mencoba tampil heroik. Dia hanya berbagi kehidupannya yang real. Dan di kalimat terakhir, dia menyebutnya "Ruang Putih." Dia pasti tahu dari konteks profilnya yang sangat minimalis, atau dari aura yang ia pancarkan di grup. Dia melihat benteng itu.
Menjalin Jarak, Mempersingkat Optik
Percakapan pun berlanjut selama dua jam berikutnya, sebuah dialog yang dijembatani oleh fiber optik yang baru saja diperbaiki Dika, mengalir mulus, menghubungkan dua kontras yang ekstrem.
Lala mulai mengajukan pertanyaan, membungkus keingintahuannya dalam kata-kata yang terstruktur dan akademik.
Lala: "Anda menyebut diri Anda 'Tim Anti-Kotoran.' Namun, pekerjaan Anda adalah yang paling kotor di antara kita semua. Bagaimana Anda merekonsiliasi paradoks itu? Apa definisi 'bersih' bagi Anda?"
Dika: "Definisi 'bersih' bagi kami bukan soal bebas kuman, Lala. Bagi kami, bersih itu adalah koneksi yang bersih. Nol noise, nol putus, nol gangguan. Itu artinya, kami harus masuk ke sumber kotoran (rawa, badai, galian) untuk memastikan data yang Anda terima di Jakarta adalah 100% murni, bebas distorsi. Jadi, kotor di badan, bersih di sinyal. Saya senang berkotor-kotor asal sinyalnya murni. Bagaimana dengan Anda? Anda menghindari drama di hidup, tapi justru menuliskannya."
Lala terdiam. Dika baru saja membalikkan Logikanya. Dia mencari kemurnian emosional dan keamanan fisik dengan menghindari kotoran, sementara Dika mencari kemurnian sinyal dengan merangkul kotoran.
Lala: "Saya menulis drama karena itu adalah kekacauan yang terkendali. Saya menciptakan masalah, tetapi saya juga yang menulis solusi. Di Ruang Putih, saya bisa menjadi ratu kekacauan tanpa risiko kontaminasi ke kehidupan pribadi saya. Saya bisa menutup buku dan masalah hilang. Itulah keindahan fiksi."
Dika: "Ah, itu cerdas. Kami Jointer bilang, Anda adalah 'Sistem Operasi yang Tidak Boleh Crash.' Kalau begitu, kami adalah 'Tim Maintenance Lapangan'. Kami harus sering crash supaya sistemnya berjalan lancar. Tapi saya yakin, Anda tidak akan bisa menutup buku begitu saja. Itu tidak menyenangkan."
Dika benar. Lala merasa seperti novelnya telah dibuka, dan dia tidak memegang pena kendali.
Perintah Darurat dan Kekacauan yang Mendekat.
Tepat saat Lala hendak bertanya tentang pengalaman Dika menghadapi buaya (suatu hal yang logikanya tidak bisa ia bayangkan), ponsel Dika berdering. Itu adalah Manajer Proyek dari kantor pusat di Jakarta, suaranya tegang dan mendesak.
"Dika, putuskan semua yang ada di sana sekarang. Kita punya masalah serius di Data Center Karet."
Dika segera mengetik pesan kilat kepada Lala.
Dika: "Maaf, Lala. Ada panggilan darurat. Tapi sepertinya alam telah mengatur lelucon yang sangat aneh untuk kita berdua."
Lala: "Apa maksudnya?"
Dika: "Pekerjaan saya di Kalimantan adalah bagian dari infrastruktur Data Center di Jakarta. Sepertinya ada trouble shooting besar-besaran yang membutuhkan kehadiran Jointer di sana. Pusat Komando ingin saya ada di sana dalam 48 jam untuk rapat koordinasi tingkat tinggi dengan mitra kami. Tepatnya, di Menara Optima."
Menara Optima. Lala menelan ludah. Menara Optima adalah gedung perkantoran mewah yang tepat berada di seberang apartemennya. Dia bisa melihatnya dari jendela, sebuah tiang pancang yang dingin dan berkilauan dari Logika Jakarta.
Dika: "Jadi, Lala. Anda baru saja mengirimkan apresiasi kepada Pahlawan Lumpur. Dan 48 jam dari sekarang, Pahlawan Lumpur itu akan datang ke kota Anda. Saya akan mengganti boot saya yang kotor dengan sepasang sepatu yang jauh lebih baik, tapi jangan berharap ada pantofel yang mengkilap. Mereka hanya akan menjadi sepatu kets yang sangat bersih, saya janji. Mungkin saya akan mengirimkan selfie di lobi Menara Optima. Saya penasaran, apakah Logika Anda masih akan menang jika kita berada di jarak pandang Optik yang sebenarnya?"
Runtuhnya Benteng Logika
Lala merasa seluruh Ruang Putihnya berputar. Logika Pernikahannya tidak hanya dilanggar; Logika itu telah diinjak-injak oleh sepatu boot berlumpur. Pria ini, yang seharusnya hanya menjadi entitas digital yang jauh, kini akan berada secara fisik di jarak pandang optik-nya.
Ketakutan akan kekacauan fisik, kotoran, dan invasi privasi melanda dirinya. Dika adalah sebuah bug dalam sistem yang ia bangun, dan bug itu sedang bergerak ke lokasi utama.
Lala: "Dika, saya... Saya tidak bermaksud bahwa..."
Ia mencoba mengoreksi kesalahannya, menjelaskan bahwa percakapan itu hanya untuk memuaskan rasa ingin tahu profesional, bukan untuk membuka jalan bagi pertemuan.
Dika (memotong, dengan nada riang) "Sudah, jangan dipikirkan! Saya tahu, kami para pekerja lapangan seringkali terlalu jujur. Tapi saya janji, saya akan pastikan tidak ada debu Kalimantan yang mampir ke Ruang Putih Anda. Sampai jumpa di Jakarta, Ratu Kekacauan yang Terkendali! Sekarang saya harus mengejar penerbangan kargo. Saya akan offline."
Dika offline. Lala menatap pesan terakhir itu.
Sampai jumpa di Jakarta, Ratu Kekacauan yang Terkendali.
Dia menyadari betapa kuatnya dampak Dika terhadapnya. Dalam waktu dua jam, Dika telah memberinya nama panggilan, menjebol keanggunannya yang terkendali, dan memaksakan pertemuan yang tak terhindarkan, semua itu melalui sebuah sambungan fiber optik.
Lala menjatuhkan ponselnya ke sofa. Ia menarik sarung tangan vinilnya dan membuangnya ke tempat sampah medis yang tertutup rapat. Untuk pertama kalinya, ia menyentuh gagang pintu tanpa vinil, membukanya ke lorong yang bersih, dan berjalan ke kamar tidurnya.
Ia berdiri di depan jendela besar, menatap Menara Optima yang menjulang tinggi di seberang jalan. Hanya butuh 48 jam.
Logika Lala telah kehilangan kendali. Kini, ia harus menghadapi kenyataan bahwa kekacauan yang paling kuat bukanlah yang ia ciptakan di naskahnya, melainkan kekacauan yang akan datang, berjalan kaki, dan tersenyum, membawa aroma lumpur dan petualangan. Ia telah memasang Perangkap Optik dengan rasa ingin tahu, dan sekarang, ia sendiri yang terjebak di dalamnya.