Episode 3: Penetrasi Logika dan Kopi di Jarak Pandang

1274 Words
Setelah mengirimkan tantangan logistik kepada Dika, Lala segera menarik kembali jemarinya yang dibalut vinil dari layar ponsel. Jantungnya berdebar, bukan karena aktivitas fisik, tetapi karena pelanggaran Logika yang ia lakukan. Ia telah menyerahkan kendali plot Logistik kepada Pahlawan Lumpur. Untuk menenangkan gejolak internalnya, Lala menghabiskan sisa waktu dua hari untuk merancang alasan yang mutlak di hadapan Arya, suaminya. “Aku sudah menemukan titik lemah struktural pada karakter utama naskahku,” kata Lala pada Arya, yang sedang menyusun daftar inventaris peralatan smart home mereka. “Dia adalah konglomerat yang tidak pernah mengotori tangannya, yang bekerja hanya melalui data dan laporan. Tetapi aku perlu merasakan suasana di mana data itu diciptakan kantor pusatnya, Menara Optima.” “Dan untuk itu, kamu harus keluar dari Ruang Putih?” tanya Arya, nadanya netral, tetapi tatapan matanya skeptis. “Ya. Aku menyebutnya Operasi Observasi Optik Jarak Jauh,” jelas Lala, menggunakan jargon yang selalu berhasil menenangkan Arya. “Aku akan duduk di kafe The Endpoint di seberang Optima. Aku akan menyerap aura kepalsuan, kepenatan, dan ambisi yang tersembunyi. Ini penting untuk kedalaman karakter.” Arya, yang selalu menghargai presisi, akhirnya setuju, tetapi dengan serangkaian instruksi keamanan yang ketat, yang Lala sebut Protokol Ekspedisi Non-Kontaminasi (PENA). Durasi Waktu Maksimal: 90 menit (Toleransi 5 menit untuk lalu lintas). Perlindungan Partikulat: Masker N95 wajib dipakai di luar pintu apartemen. Sarung tangan vinil baru. Sterilisasi Area: Disinfektan alkohol 70% di kursi kafe sebelum diduduki. Kontak Non-Eksistensial: Tidak ada kontak mata, verbal, atau fisik yang disengaja dengan entitas luar. Pagi itu, Lala keluar dari bentengnya. Ia mengenakan pakaian yang serba tertutup, topi fedora hitam, dan kacamata hitam besar, mengubah dirinya menjadi siluet yang tidak terdeteksi. Ia merasa seperti mata-mata di wilayah musuh. Di kafe The Endpoint, ia memilih meja di sudut yang gelap, menghadap langsung ke lobi kaca Menara Optima yang berkilauan. Aroma kopi yang kuat dan bau asap knalpot yang sesekali terhirup membuatnya merasa mual, tetapi adrenalin dari misi yang sedang berjalan lebih mendominasi. Lala mengeluarkan buku catatan dan pulpen. Ini adalah riset karakter. Bukan pengintaian pribadi. Lala meyakinkan Logikanya. Disisi lain. Tepat pada pukul 10.00, Dika tiba. Dia turun dari taksi dan berdiri di trotoar. Lala seketika merasa seluruh ruangan kafe menghilang. Semua perhatiannya tertuju pada pria itu. Dika mengenakan kemeja katun rapi, celana chino gelap, dan sepatu kets putih bersih. Penampilannya sangat jauh dari Pahlawan Lumpur yang berlumuran lumpur. Dia terlihat sepenuhnya profesional dan terkendali, sesuai dengan Logika Pernikahan Lala. Namun, pengamatan Lala yang dilatih oleh bertahun-tahun menganalisis drama, melihat sesuatu yang lebih dalam. Analisis Kontras Lala. Sepatu Kets Bersih. Ya, tetapi mereka tidak mengkilap dan tidak menuntut perhatian seperti pantofel Arya. Mereka bersih karena itu adalah fungsional, bukan karena itu adalah status. Postur. Berbeda dengan para eksekutif yang berjalan kaku, Dika berdiri dengan bahu rileks. Dia tidak melihat ke bawah; dia melihat sekeliling, menghirup kota, seolah-olah dia sedang menilai medan baru, bukan terperangkap dalam rutinitas. Fakta Lapangan. Ada kerutan kecil di sudut matanya yang hanya muncul jika ia menghabiskan banyak waktu di bawah sinar matahari yang terik dan menghadapi masalah nyata. Dia adalah integritas yang bersinar dalam bungkus pakaian bisnis yang disewa. Dia adalah antitesis yang sempurna. Saat Dika melangkah menuju lobi Menara Optima, dia berhenti. Gerakannya lambat, terukur. Dia tidak melihat ke depan, dia melihat ke atas. Pandangannya tertuju pada kompleks apartemen Lala di seberang jalan. Dan kemudian, dia fokus pada balkon Lala. Balkon Lala, meskipun terlindungi oleh kanopi, memiliki sedikit sentuhan biologis yang ia izinkan. Beberapa pot anggrek bulan yang terawat, kontras dengan beton abu-abu di sekitarnya. Anggrek itu adalah simbol kecil dari kerentanan Lala keindahan biologis yang harus ia kontrol secara ketat. Dika tersenyum. Senyum itu bukan senyum sapaan Itu adalah senyum pengakuan. Lala merasakan hawa dingin menjalari punggungnya. Protokol Kontak Non-Eksistensial telah gagal. Dika tidak hanya melihatnya; dia telah mengidentifikasi bentengnya. Dika mengeluarkan ponselnya, dan Lala tahu apa yang akan terjadi. Ia membiarkan pena yang ia pegang jatuh ke meja. Sesaat setelah Dika masuk ke lobi Menara Optima, ponsel Lala bergetar. Dika (via Direct Message Telegram): "Anggrek itu adalah kelemahan terindah di benteng Logika Anda, Lala. Saya melihatnya. Anggrek itu butuh air, butuh sinar, butuh kotoran organik. persis seperti Logika Hati yang Anda kunci. Dan saya yakin, Anda melihat saya dari tempat persembunyian Anda. Jarak Optik kita telah teruji. Anda telah menembus logika fisik saya, dan saya telah menembus logika optik Anda. Kesimpulan: Kontak Berhasil." Lala terkesiap di balik maskernya. Dia tidak hanya tahu dia ada di sana, dia telah menganalisis alasan di balik balkon anggrek. Dika telah membaca dirinya lebih baik daripada yang dilakukan Arya dalam sepuluh tahun. Itu adalah kejujuran tanpa filter, sebuah deklarasi bahwa mereka tidak lagi terpisah oleh ribuan kilometer atau lapisan logika. Tiba-tiba, Dika muncul lagi di ambang pintu putar Menara Optima, seolah lupa membawa sesuatu. Matanya menyapu jalan, dan ia berhenti, kali ini, melihat ke arah kafe. Tepat ke arah sudut tempat Lala bersembunyi. Meskipun Lala terlindungi oleh kacamata dan topi, Lala merasa telanjang. Dia tahu Dika tidak melihat dirinya, tetapi dia melihat ketegangan yang tidak alami, melihat pola yang salah di tengah kekacauan kafe. Lala panik. Logikanya, yang dirancang untuk mengatasi ancaman kuman, kini menghadapi ancaman emosional yang jauh lebih besar. Dia melompat berdiri, melanggar PMR. Dia meninggalkan kopi hitamnya. Dia lari keluar dari pintu belakang kafe. Lala berlari ke area parkir yang berdebu dan kemudian ke gang sempit yang penuh dengan kardus dan tumpukan sampah restoran. Ini adalah Zona Merah Terekstrem yang pernah ia kunjungi. Dia tidak peduli dengan kuman. Dia hanya ingin keluar dari pandangan Dika. Dia berlari melintasi jalan raya menuju apartemennya, mengabaikan klakson kendaraan yang marah. Setibanya di Ruang Putih, ia langsung memulai Prosedur Darurat Dekontaminasi (PDD). Pakaian dilepas, dilempar ke mesin cuci. Ia mandi dengan air panas hingga kulitnya memerah. Setelah itu, ia berdiri di depan jendela, terbungkus handuk tebal, menatap Menara Optima. Dika sudah tidak terlihat. Dia telah kembali ke dalam sistemnya. Lala meraih ponselnya, tangan yang kini bersih terasa dingin. Lala (via Direct Message Telegram) "Anda salah. Saya pergi karena saya menyadari kopi di The Endpoint terlalu asam, melanggar standar pH yang ditentukan Logika saya. Jangan pernah membuat kesimpulan emosional dari data yang terbatas. Dan Anggrek itu hanyalah sebuah studi ketahanan biologis dalam iklim yang keras. Tolong hormati privasi saya." Itu adalah upaya terakhir yang menyedihkan untuk memulihkan kendali. Dika membalas, menghancurkan perisai Lala dengan fakta yang tak terbantahkan. Dika (via Direct Message Telegram) "Asam? Mungkin. Tapi saya melihat Anda lari. Saya melihat Anda meninggalkan buku catatan Anda di meja. Logika Anda tidak akan pernah membuat Anda berlari melewati sampah restoran yang kotor hanya karena kopi asam. Anda lari dari Fakta Optik yang Anda saksikan bahwa Anda tidak lagi tak terlihat. Dan Ratu, Anda terlihat sangat cantik ketika Anda panik. Sekarang, buktikan Logika Anda lebih kuat dari rasa penasaran Anda. Anda butuh kopi yang bersih. Saya Jointer. Tugas saya adalah mengirimkan cahaya murni melewati kabel kotor. Kirimkan saya alamat Anda. Saya akan mengirimkan kopi terbersih, tersteril, dan terhangat ke pintu Anda. Buktikan saya salah. Biarkan saya menantang Logika Anda dengan Logistik saya." Lala terdiam. Dika telah melihat kekurangannya: dia tidak hanya lari dari Dika, tetapi dari kebenaran yang diungkapkannya. Dengan sebuah helaan napas yang berat, Lala mengetik alamat lengkap apartemennya. Dia melanggar Logika, tetapi memajukan plot. Lala (via Direct Message Telegram): "Baik. Ini alamat saya. Jika kopi itu tidak memenuhi standar sterilisasi saya, Logika saya akan menuntut ganti rugi. Dan jangan bawa kotoran Anda ke sini." Dika (via Direct Message Telegram): "Akan saya pastikan Logistik ini sempurna. Kopi akan tiba dalam 30 menit. Sampai jumpa di pintu benteng Anda."  Lala menatap pintu putih bersih di depannya. Logika telah kalah dari Optik. Dan sekarang, ia harus menghadapi invasi terbersih yang pernah ia bayangkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD