Episode 4: Kopi, Perang Dingin dengan Arya, dan Sentuhan Pertama

1374 Words
Lala berdiri di balik pintu apartemen, terpaku. Tiga puluh menit. Itu adalah waktu yang diberikan Dika. Seluruh sistem Logikanya menjerit. Memberikan alamat apartemen adalah tindakan bunuh diri sosial dan fisik. Jika Dika membawa kuman, bentengnya akan runtuh. Jika Dika terlalu akrab, kendalinya akan hilang. Lala berusaha merasionalisasi. Dia hanya menguji Logistik. Jika dia gagal, aku punya alasan yang kuat untuk memblokirnya selamanya. Ia segera memulai Prosedur Penerimaan Barang Luar (PPBL). Ia meletakkan sebuah meja kecil di lorong depan, tiga meter dari pintu masuk, yang ia sebut Zona Dekontaminasi Primer (ZDP). Di atas meja itu, ia meletakkan kotak penyimpanan plastik transparan yang telah disterilkan dengan sinar UV. Ini adalah tempat di mana Dika harus meletakkan kopinya. Arya, suaminya, muncul dari ruang kerja, melihat persiapan aneh itu. “Ada apa dengan meja itu, Sayang? Kita tidak sedang menerima paket medis,” tanya Arya, alisnya terangkat. “Aku memesan kopi, Arya.” Jawab Lala, suaranya berusaha terdengar santai. “Tapi aku memesannya dari sumber yang tidak terverifikasi. Kita harus menerapkan Prosedur Lockdown selama transaksi.” “Kopi yang tidak terverifikasi? Sejak kapan kamu mengambil risiko makanan dari sumber yang tidak kamu kendalikan?” selidik Arya. “Dan mengapa kamu tidak menggunakan drone pengiriman milik kita sendiri?” Lala menelan ludah. “Ini... ini adalah bagian dari riset karakter. Aku ingin merasakan ketidakpastian logistik yang dihadapi orang biasa. Semacam simulasi risiko.” Arya, seorang insinyur yang sangat menghargai data, mengangguk perlahan. “Simulasi risiko. Baiklah. Asal semua sesuai standar sanitasi. Aku akan mengaktifkan sensor gerak lorong.” Lala tahu, Logikanya hampir saja runtuh di hadapan suaminya sendiri. Dia hanya bisa berharap, Dika, sang Pahlawan Lumpur, tidak membawa lumpur fisik maupun emosional ke pintu gerbangnya. Tepat 28 menit kemudian, bel pintu berbunyi. Lala melihat melalui lubang intip dengan hati yang berdebar. Di depan pintu, Dika berdiri. Dia tidak datang sendiri. Di sebelahnya berdiri seorang kurir yang tampak cemas. Dika tidak mengenakan kemeja linen lagi. Ia mengenakan kaus polo berwarna hijau zaitun yang bersih dan celana kargo yang terawat. Penampilannya santai, tetapi sangat terkendali. Dika berbicara kepada kurir itu, memberikan instruksi sambil memegang sebuah nampan. Di atas nampan itu terdapat sebuah French press kecil yang mengkilap, cangkir keramik, dan sebuah sachet gula kristal murni semua terbungkus rapi dalam plastik bening yang divakum. Lala terkejut. "Vakum?" Dia segera membuka kunci pengaman, tetapi hanya membuka pintu sedikit, menjadikannya sebuah celah tipis. “Selamat pagi, Ratu Kekacauan yang Terkendali,” sapa Dika, suaranya rendah dan hangat, tanpa ada nada lelah dari perjalanan panjang. Dia tersenyum, dan senyum itu terasa seperti sinar matahari yang mendesak masuk ke dalam Ruang Putihnya. Lala hanya memperlihatkan matanya di balik celah pintu. “Saya menghargai ketepatan waktu. Tapi saya melihat Anda melanggar Logistik. Anda tidak datang sendirian.” “Ah, itu adalah pelajaran dari Kalimantan,” jelas Dika santai. “Logistik yang baik membutuhkan eksekusi yang tepat. Saya tidak bisa menjamin sterilisasi kemasan jika saya membawanya sendiri dari jalanan. Jadi, saya menyewa jasa kurir pribadi, membelikan kopi dari kafe yang direkomendasikan kantor pusat, dan saya mengawasi proses vacuum packing secara langsung di ZDP kafe.” Dika menunjuk kurir itu. “Kurir ini bertugas membawa nampan vacuum dari kafe ke lobi apartemen Anda. Dan tugas saya, sebagai Jointer Logistik, adalah membawa nampan vacuum dari lobi, naik ke lantai 20, dan memastikan nampan itu diletakkan di Zona Dekontaminasi Primer Anda. Saya melihat Anda menyiapkannya. Cerdas.” Lala tercengang. Dika tidak hanya memenuhi tantangan Logistik, ia telah memperkuat protokolnya. Dika melangkah maju, tangannya memegang nampan yang terbungkus. “Nampan ini akan saya letakkan di atas meja itu. Kopi ini masih panas, dan uapnya masih terperangkap di dalam plastik vakum. Anda akan memprosesnya sendiri. Nol Kontaminasi, Logistik Sempurna. Sesuai Logika Anda.” Dika meletakkan nampan itu dengan hati-hati di atas ZDP. Ia mundur satu langkah, tetapi pandangannya tetap tertuju pada celah pintu, pada mata Lala. “Ada satu hal yang tidak saya penuhi, Ratu,” kata Dika, suaranya berubah serius. Lala menahan napas. “Apa itu?” “Anda meminta saya untuk membuktikan diri sebagai Pahlawan Logistik kota. Saya berhasil. Tapi saya juga Pahlawan Lumpur yang ingin melihat fakta lapangan yang sebenarnya. Saya telah melihat Logika Anda, tapi saya ingin melihat Optik Hati Anda.” Dika mengangkat tangan kanannya, yang kini bersih dan memiliki bekas-bekas luka kecil di buku jarinya, bukti kerja keras di alam liar. “Sebagai Jointer, saya memasukkan cahaya ke dalam kabel agar Anda dapat terhubung. Sekarang, saya ingin koneksi yang berbeda,” katanya, tangannya kini berada hanya beberapa sentimeter dari celah pintu. “Lala,” Dika menggunakan namanya, bukan panggilannya. “Bisakah Anda melepaskan sarung tangan vinil itu untuk sesaat, dan biarkan saya melihat sentuhan pertama Anda? Hanya untuk membuktikan kepada saya bahwa Anda tidak sepenuhnya terbuat dari data dan logika. Hanya satu detik. Itu adalah kompensasi logistik saya.” Lala merasa seluruh energinya tersedot. Dika tidak meminta apa pun yang kotor atau berbahaya. Dia meminta kerentanan Lala. Dia meminta penyerahan kendali yang paling mendasar. “Itu melanggar semua Protokol Non-Kontaminasi,” bisik Lala, suaranya sedikit serak. “Logika itu melarang kuman. Tapi sentuhan tidak membawa kuman, Lala. Sentuhan membawa energi. Energi adalah data yang jauh lebih murni daripada sinyal optik mana pun,” balas Dika, matanya memancarkan kehangatan yang kuat. “Saya hanya meminta fakta biologis yang tidak bisa Anda tulis di naskah Anda.” Arya muncul dari belakang Lala, terlihat tidak sabar. “Lala, transaksi sudah selesai. Tutup pintunya dan sterilkan barangnya. Batas waktu telah dilanggar. Ini berbahaya,” perintah Arya, Logikanya kembali bekerja. Dika melihat sekilas Arya di belakang Lala, tetapi fokusnya tetap pada Lala. Ia melihat Lala yang terperangkap antara Dinding Kaca yang ia bangun (Arya) dan Jarak Optik yang memanggil (Dirinya sendiri). Lala tahu Arya benar. Logika menuntutnya menutup pintu. Tapi Optik, penglihatan hatinya, tidak bisa mengabaikan mata Dika yang memohon, menantang dirinya. Dengan gerakan yang terasa monumental, Lala perlahan menarik sarung tangan vinil transparan dari tangan kirinya. Ia membuangnya ke tempat sampah yang ada di sebelahnya. Ia melepaskan kendali. Lalu, ia memperluas celah pintu sedikit, memperlihatkan tangan kirinya. Telapak tangannya telanjang, kulitnya lembut, pucat, dan terasa dingin. Itu adalah tangan yang tidak pernah menyentuh kotoran, hanya pulpen dan keyboard. Dika tersenyum tulus. Ia tidak menyentuhnya. Dia hanya menatap tangan Lala. Dia menghormati jarak itu. “Terima kasih, Lala,” bisik Dika. “Itu adalah sentuhan yang paling jujur. Itu murni. Itu Logika Hati.” Ia mundur satu langkah lagi. “Sekarang, saya kembali ke Data Center. Tapi saya tidak akan offline. Logistik ini baru saja dimulai. Nikmati kopi terbersih Anda.” Dika berbalik dan berjalan menuju lift. Lala menutup pintu, mengunci semua palang pengaman. Ia bersandar di pintu, terengah-engah. Tangannya yang baru saja telanjang terasa panas dan geli. Ia tidak ingin segera mencucinya. Arya segera mendekati meja. “Bagus. Vakum. Lihat, Lala. Risiko Logistik bisa diatasi dengan Logika yang kuat. Kau menang. Kopi itu terkontrol.” Lala tidak menjawab. Ia berjalan ke ZDP, mengambil kotak kopi yang divakum. Ia membukanya, dan aroma kopi segar memenuhi udara Ruang Putih, mengalahkan bau disinfektan. Lala menyeduh kopi, menuangkannya ke cangkir. Ia mencium aromanya. Lalu, ia mengangkat cangkir itu, tetapi tidak meminumnya. Ia malah berjalan menuju jendela, menatap ke Menara Optima. Tiba-tiba, ia merasakan sesuatu di telapak tangan kirinya, di kulit yang baru saja telanjang. Ia melihatnya. Di sana, di kulitnya yang pucat, terdapat noda kecil berwarna cokelat kemerahan. Itu adalah lumpur dari tangan Dika. Lumpur yang sudah kering, lumpur yang tidak disengaja menempel saat Dika menyentuh nampan, dan kemudian nampan itu, sebelum divakum, sempat disentuh oleh Lala saat ia meraihnya. Atau, mungkin, noda itu menempel di gagang pintu yang disentuh Dika. Lala seharusnya histeris. Dia seharusnya lari kembali ke kamar mandi, menggosok kulitnya dengan antiseptik. Tetapi dia tidak. Ia menyentuh noda lumpur itu dengan ibu jarinya, merasakan tekstur kasar dan kering dari tanah Kalimantan. Itu adalah kontaminasi fisik yang paling ditakuti, tetapi secara aneh, ia justru merasakan koneksi yang paling kuat. Lala menatap Menara Optima, tersenyum kecil. Dika (via Direct Message Telegram): "Saya lupa memberi Anda kompensasi terakhir, Lala. Itu adalah fakta lapangan yang Anda butuhkan untuk riset Anda. Logistik telah gagal. Tapi Optik telah menang. Sekarang, Anda benar-benar terkontaminasi oleh dunia saya." Lala memegang noda lumpur itu di tangannya, dan ia meminum kopi itu sampai habis. Itu adalah kopi terbaik yang pernah ia minum.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD