Setelah menutup pintu, Lala berdiri diam, tubuhnya masih terasa panas dari larian dan adrenalin. Ia menatap noda kecil berwarna cokelat kemerahan di telapak tangan kirinya.
Logika Lala, selama bertahun-tahun, telah memprogram bahwa noda adalah sinonim dengan bahaya. Ia harus mencucinya. Ia harus mensterilkannya. Namun, Logika Hati yang baru terbangun menahannya. Noda itu bukan kuman; itu adalah tanah—materi biologis paling murni yang berasal dari dunia yang berlawanan dengannya. Itu adalah artefak nyata dari Kalimantan, sebuah hadiah non-verbal dari Dika.
Lala mengamati noda itu di bawah lampu LED terang apartemennya. Itu adalah data lapangan yang tidak bisa ia dapatkan dari Google Search. Itu mewakili perjuangan, kelelahan, dan integritas. Kontras antara kulitnya yang pucat dan noda tanah yang gelap itu begitu nyata, begitu jujur, sehingga Lala merasakan gejolak emosional yang aneh campuran rasa takut dan gembira.
Ia meminum kopi dari cangkir keramik yang baru saja diseduh. Rasanya pahit, kuat, dan asing seperti kehidupan nyata yang tiba-tiba. Ia menghabiskan kopi itu, sebuah tindakan yang melanggar Protokol Makanan Barunya yang sangat ketat (kopi dari sumber eksternal).
Ketika cangkir itu kosong, Lala akhirnya berjalan ke wastafel. Ia tidak menggunakan cairan antiseptik. Ia hanya menggunakan air mengalir dan sabun yang lembut. Ia mencuci tangannya, tetapi ia melakukannya perlahan, seolah-olah ia sedang mengucapkan selamat tinggal pada sebuah koneksi. Saat noda itu hilang, ia menatap telapak tangannya yang kembali bersih. Kotoran telah hilang, tetapi ingatan Optik dari sentuhan itu tetap ada. Logika telah menang secara fisik, tetapi Optik telah menang secara emosional.
Arya, yang masih sibuk di ruang tengah, memperhatikan perubahan perilaku Lala.
“Kenapa kamu lama sekali, Sayang? Dan kenapa kamu tidak menggunakan alkohol medical grade?” tanya Arya, nadanya tenang, tetapi matanya memancarkan rasa ingin tahu yang dingin.
“Aku… Aku hanya mencuci tanganku secara menyeluruh,” Jawab Lala, mencoba mempertahankan ketenangan. “Dan kopi itu, ternyata sangat murni. Tidak ada rasa aftertaste yang mengganggu.”
Arya mendekat, memandang Lala dengan saksama. “Lala, ada sesuatu yang berbeda. Kamu melanggar PMR-mu. Kamu berlari melalui Zona Merah, kamu meninggalkan kopi, dan sekarang kamu tidak panik setelah menerima barang yang tidak terverifikasi. Logika mu sedang kacau.”
Lala merasakan Arya adalah dinding kaca yang menghalangi dirinya dari matahari. Dinding itu indah, teratur, tetapi dingin dan membatasi.
“Logika ku sedang berevolusi, Arya,” balas Lala. Ia menggunakan jargon, mencoba menenggelamkan Arya dalam data yang tidak ia pahami. “Aku telah mendapatkan ‘Data Lapangan’ yang aku butuhkan. Aku belajar bahwa terkadang, Logistik yang sempurna membutuhkan toleransi risiko tertentu. Aku tidak kacau, aku hanya menyerap data kontradiktif.”
Arya mengangguk, tampaknya puas dengan penjelasan ilmiah itu, tetapi matanya masih menyelidik. “Baiklah. Pastikan evolusi ini tidak mengancam stabilitas Ruang Putih kita. Logika adalah fondasi kita.”
Lala tahu, perang dingin baru telah dimulai. Arya adalah Logika Statis, dan Dika adalah Logika Dinamis. Lala, untuk pertama kalinya, menjadi medan perang itu sendiri.
Sore harinya, Lala kembali ke meja kerjanya. Ia membuka laptop, mengenakan sarung tangan vinil yang baru, dan mencoba kembali ke naskah dramanya: "Titik Nadir Sang Konglomerat."
Plotnya berpusat pada upaya konglomerat untuk menyabotase jaringan saingannya. Lala telah menulis adegan kunci di mana pahlawan harus menembus Data Center untuk menghapus server utama.
Saat ia membaca kembali dialognya, ia merasa jijik. Dialognya terasa datar, fiksi, dan tidak berdasar. Lala menyadari, setelah bertemu Dika, ia tidak bisa lagi menulis tentang kekacauan fiksi tanpa memahami logistik nyata di baliknya.
Tepat saat itu, ponselnya bergetar. Sebuah email dari Produser Eksekutifnya, Panji, dengan subjek: KRISIS TEKNIS. Skenario Tidak Berdasar!
Email dari Panji: "Lala, kita punya masalah besar. Konsultan teknis kita (Pak Budi) baru saja keluar karena alasan keluarga. Dia bilang, adegan Data Center kamu di Episode 8 itu ngawur. Tidak ada 'tombol merah besar untuk mematikan server utama' di Data Center. Dan kabel optik tidak bisa ditarik begitu saja seperti tali. Penonton teknis akan tertawa! Kita butuh seseorang yang benar-benar tahu jeroan dari sistem fiber optik dan Data Center di Jakarta. Seseorang yang hidup di dunia itu. Tolong, Lala. Kita butuh Konsultan Teknik Jaringan baru, dan dia harus tersedia dalam 24 jam ke depan. Jika tidak, seluruh naskah akan terasa seperti fiksi murahan. Urgensi Mutlak."
Lala merasakan Logika dan Optiknya berbenturan dengan kecepatan cahaya. Ini bukan lagi permainan. Ini adalah krisis profesional yang hanya bisa diselesaikan oleh satu orang yang ia kenal. Logika Lala, yang berusaha menghindari Dika, kini dipaksa untuk mengintegrasikan Dika ke dalam sistemnya yang paling personal: pekerjaannya.
Lala melepaskan sarung tangan vinilnya. Ia mengambil napas dalam-dalam. Ia harus mendekati Dika dengan Logika Profesional yang sempurna, tanpa sedikit pun indikasi kerentanan emosional.
Ia membuka Telegram, dan menulis pesan, menghilangkan semua nada genit atau provokatif.
Lala (via Direct Message Telegram): "Dika, selamat siang. Saya harap rapat di Menara Optima berjalan lancar. Saya langsung ke intinya. Saya menghadapi krisis profesional. Naskah saya 'Titik Nadir Sang Konglomerat' membutuhkan validasi teknis yang serius, terutama mengenai Logistik Infiltrasi di Data Center dan protokol splicing kabel optik. Kami kehilangan konsultan teknis kami. Saya membutuhkan seorang Jointer, seorang Pahlawan Logistik, yang dapat mengubah fiksi saya menjadi kenyataan yang kredibel.
Setelah interaksi Logistik Anda yang luar biasa di pintu apartemen saya, saya menyimpulkan bahwa Anda adalah satu-satunya orang yang memiliki integritas dan pemahaman lapangan yang kami butuhkan. Ini adalah tawaran kolaborasi profesional resmi. Saya akan membayar Anda tarif konsultasi per jam yang tinggi. Apakah Anda bersedia menjadi Konsultan Teknik Jaringan kami?"
Lala menekan tombol kirim. Ini adalah Logika murni: Kontrol risiko dengan pembayaran yang memadai.
Balasan Dika datang hampir seketika.
Dika (via Direct Message Telegram): "Lala, Ratu Kekacauan yang Terkendali. Saya sangat senang mendengarnya. Saya sudah memprediksi ini. Logika Anda, meskipun keras kepala, pada akhirnya harus tunduk pada kebutuhan Data Lapangan yang murni. Kabel optik, Lala, selalu mencari koneksi yang paling efisien, dan itulah kita."
"Tarif konsultasi? Saya akan terima. Tapi jangan bayar saya per jam. Bayar saya dengan Logika Hati. Saya ingin sesi konsultasi ini dilakukan di Ruang Putih Anda. Saya perlu melihat lingkungan kerja sang penulis drama yang ketakutan pada kekacauan. Kami akan menganalisis adegan sabotase itu, saya akan menjelaskan bagaimana kabel optik yang sensitif akan bereaksi, dan Anda akan melihat bagaimana kekacauan nyata bekerja di balik layar."
"Saya masih berada di Data Center di Karet. Saya dapat berada di apartemen Anda dalam waktu tiga jam. Kolaborasi Logistik-Optik ini akan menjadi yang paling efisien. Siapkan buku catatan dan kopi yang sudah terverifikasi. Dan Lala, jangan khawatir. Saya akan memastikan sepasang sepatu kets yang benar-benar bersih kali ini. Sampai jumpa di Episode 8 naskah Anda."
Lala menatap pesan itu, senyumnya tidak bisa ditahan. Dika tidak hanya menerima pekerjaan itu. Ia menetapkan persyaratan Optik-nya sendiri: di Ruang Putih Lala.
Lala melihat ke sekeliling apartemennya yang steril, Ruang Putih yang kini akan diinfiltrasi oleh Dika di bawah izin resmi. Arya sedang sibuk mengkalibrasi sensor suhu di dapur.
Lala membalas:
Lala (via Direct Message Telegram): "Tiga jam. Saya akan menyiapkan ruang pertemuan. Tapi tolong, pastikan sepatu Anda memenuhi standar kebersihan minimal. Logika saya tidak akan mentolerir lumpur di lantai parket saya. Sampai jumpa."
Ia telah mengundang Serigala Logistik masuk ke kandang Domba Logika-nya. Tapi Lala tahu, ia tidak ingin serigala itu pergi. Dia membutuhkan data mentah itu.
Ia harus membersihkan Zona Dekontaminasi Primer (ZDP) sekali lagi, kali ini bukan untuk menerima kopi, tetapi untuk menerima Kekacauan yang Terkendali Paling Berbahaya ke dalam hidupnya.