Lala telah mencurahkan waktu satu jam untuk mengubah ruang makan kecilnya menjadi Zona Konsultasi Logistik (ZKL). Meja kaca bundar di tengah telah disterilkan tiga kali. Ia meletakkan notebook baru, pena yang baru dibuka, dan French press yang telah diisi kopi single-origin terverifikasi (dari persediaan pribadinya, bukan yang dibeli Dika).
Yang paling penting adalah Garis Batas. Menggunakan selotip putih yang sangat tipis, Lala membuat garis di lantai, persis satu meter dari meja. Ini adalah pembatas di mana Dika diizinkan untuk berdiri, dan ini adalah batas yang tidak boleh ia langgar saat mereka bekerja.
Lala mengenakan pakaian kerjanya yang biasa. Blus sutra berwarna krem dan celana panjang linen yang rapi—semuanya disetrika dengan sempurna. Tidak ada sarung tangan vinil, tetapi ada tisu antiseptik di dekatnya.
Arya mengawasi dari ambang ruang kerjanya. “Aku telah mengaktifkan Sensor Udara. Jika ada partikel di atas 0.5 mikron melebihi batas normal, alarm akan berbunyi,” katanya, nadanya datar. “Dan aku telah mengatur kamera keamanan kecil di sudut. Ini bukan karena aku tidak memercayaimu, Lala. Ini karena aku tidak memercayai Logistik Luar.”
Lala merasakan amarah yang menusuk. Arya memperlakukannya seperti data yang perlu diawasi, bukan sebagai istri yang harus dia percayai. “Ini adalah konsultasi profesional, Arya. Logika yang dibutuhkan untuk naskah drama kita.”
“Dan Logika ku menuntut kendali lingkungan yang sempurna,” balas Arya sebelum kembali ke ruang kerjanya, meninggalkan Lala dalam keheningan yang dingin.
Tiga jam berlalu. Bel pintu berbunyi.
Lala melihat melalui lubang intip. Dika, sesuai janjinya, berdiri tegak. Dia mengenakan sepatu kets putih bersih yang tampak baru—bahkan solnya pun belum ada goresan. Bajunya adalah kemeja polo abu-abu yang terawat, dan ia membawa ransel laptop yang tampak mahal.
Lala membuka pintu.
“Selamat sore, Ratu Logika,” sapa Dika, senyumnya tidak selebar sebelumnya, lebih bersifat profesional dan formal tetapi matanya tetap hangat. “Saya memenuhi standar kebersihan Anda. Nol lumpur, nol partikel kasat mata.”
Lala mengangguk, merasa anehnya kecewa karena Dika terlalu bersih. “Saya menghargai kepatuhan Anda pada Logistik.”
“Logistik harus menghormati medan perang. Dan ini adalah medan perang Anda,” Dika masuk, berhenti tepat di Garis Batas. “Anda punya satu meter. Dan kopi Logika Anda yang terverifikasi.”
Arya keluar dari ruang kerjanya, menyambut Dika dengan tatapan dingin. “Arya Wijaya. Suami Lala. Kami memastikan Logistik yang ketat diterapkan di sini, Pak Dika.”
“Dika Prasetyo, Jointer Jaringan. Saya menghargai ketelitian Anda, Pak Wijaya,” balas Dika, menjabat tangan Arya dengan singkat dan tegas. “Integritas jaringan harus dipertahankan, di mana pun lokasinya.”
Dika mengeluarkan sesuatu dari ranselnya. Sebuah gulungan diagram jaringan yang besar, dicetak di atas kertas foto yang tebal, dan sebuah kotak kecil berisi alat splicing optik yang berkilauan.
“Untuk sesi Logistik ini, saya membawa properti penting,” jelas Dika. “Ini adalah Diagram Kekacauan kami skema nyata jaringan fiber optik bawah tanah di Jakarta. Dan ini adalah alat yang mengubah cahaya menjadi koneksi. Saya tidak bisa menjelaskan sabotase jika kita tidak melihat alat kerjanya.”
Dika dengan hati-hati meletakkan alat itu di sisi Garis Batas-nya.
Mereka duduk. Lala memulai presentasi naskahnya, menjelaskan skenario di mana karakter utamanya, Nona Aurora, harus menembus Data Center untuk memutus koneksi optik.
“Logika saya berpendapat,” jelas Lala, menunjuk ke notebooknya, “bahwa dia harus menyelinap, menemukan rak server utama, dan memutuskan kabel yang paling tebal. Itu adalah titik kerentanan Logistik yang paling jelas.”
Dika tertawa pelan. “Logika yang bagus, tetapi Logistik Lapangan tidak bekerja seperti itu, Lala. Kabel paling tebal? Itu biasanya adalah kabel listrik. Dan memutus kabel optik di rak server tidak akan mematikan jaringan. Itu hanya mematikan satu pelanggan, seperti memotong jari, bukan jantung.”
Dika membuka Diagram Kekacauan. “Jaringan optik dibangun berdasarkan Redundansi Logis. Jika satu kabel terputus, sistem secara otomatis re-route dalam milidetik. Pahlawan Anda, Nona Aurora, harus menyerang Pusat Splicing Primer tempat di mana semua Logika dari kota berkumpul dalam bentuk cahaya yang rentan.”
Dika membalik diagramnya, menunjukkan simpul padat di peta Jakarta Selatan. “Lihat. Di sini, di bawah area Karet sebuah bunker yang tidak ditandai. Jika dia ingin sabotase nyata, dia harus memutus di sini, di mana splicer kami menyambungkan setiap serat optik dengan fusi panas. Di situlah kekuatan fusi dan kerentanan Optik berada.”
Lala mencondongkan tubuh ke depan, melupakan Garis Batas. “Tunggu. Pusat splicing? Kenapa di sana?”
Dika memegang alat splicingnya. “Karena di sinilah kabel optik adalah urat nadi yang telanjang. Ketika kita menyambungnya, kita harus menyelaraskan dua helai kaca dengan ketelitian mikron. Jika sambungan itu gagal, semua data, semua Logika, semua cahaya, mati. Untuk menyambungnya, kita menggunakan panas. Dan untuk memutuskannya, Anda hanya butuh…”
Dika mengangkat matanya, menatap Lala lurus-lurus. “Anda hanya butuh sedikit kesalahan di Logika. Sama seperti hubungan manusia.”
“Apa maksudmu?” bisik Lala.
“Logika kita? Lala menuntut keteraturan, garis lurus, dan jarak yang aman. Tapi serat optik adalah kaca, Lala. Rapuh. Koneksi nyata di Logistik, di jaringan, di hati tidak datang dari garis lurus, melainkan dari Fusi yang Rentan. Anda harus memanaskannya, melembutkannya, dan menyatukannya dalam satu titik tunggal. Anda harus membuang Logika Logistik anda, dan membiarkan Optik bekerja.”
Lala merasa kata-kata Dika menembus Dinding Kaca, menargetkan inti dirinya. Ia menyadari Dika tidak sedang berbicara tentang kabel optik lagi.
Lala mencengkeram penanya, berusaha mengalihkan fokus ke data. “Jadi, Nona Aurora harus belajar splicing?”
“Tidak perlu,” Dika tersenyum, matanya memancarkan kepuasan. “Dia hanya perlu tahu Logistik. Dia harus tahu bahwa titik paling lemah dari jaringan, bukan di mana ia paling tebal, melainkan di mana ia paling sensitif di simpul fusi. Itu adalah Logika Hati. Anda tidak menghancurkan seseorang dari luar, Lala. Anda menghancurkannya dari titik rentan di dalamnya.”
Dika menggeser Diagram Kekacauan ke depan, melewati Garis Batas. “Ayo, Ratu. Datanya ada di sini. Logistik meminta Anda untuk melanggar Logika Anda sendiri. Sentuh kekacauan ini.”
Lala melihat diagram jaringan yang kusut dan penuh warna peta yang berantakan, persis seperti yang dia takuti. Tapi, anehnya, itu tidak terasa mengancam. Itu terasa nyata.
Lala mengulurkan tangan kirinya (tangan yang sama yang terkontaminasi oleh lumpur), melintasi Garis Batas, dan menyentuh Diagram Kekacauan itu. Tangannya menyentuh kertas yang tebal, merasakan tonjolan cetakan serat optik yang rumit.
Dari ruang kerjanya, Arya melihat pemandangan itu. Istrinya, Lala, yang tidak pernah melanggar batas fisiknya, kini melanggar Garis Batas yang ia ciptakan sendiri. Ia menyentuh peta Logistik Luar yang kacau, dan ia tersenyum. Senyum yang tidak pernah Arya lihat selama bertahun-tahun pernikahan mereka yang teratur.
Arya merasakan Logika Statisnya terancam. Ia tidak peduli pada naskah drama. Ia peduli pada Logika Hati Lala yang perlahan-lahan beralih ke Dika.
Dika menarik Diagram Kekacauan itu kembali, ke batas Garis Batas.
“Waktu Logistik kita sudah habis,” kata Dika, memeriksa jam tangannya. “Logika profesional harus menghormati waktu.”
Ia bangkit. “Saya akan mengirimkan semua data teknis yang Anda butuhkan melalui email terenkripsi. Dan untuk pembayaran, Lala…”
Dika mengambil alat splicingnya dan menunjuk ke meja. Di samping cangkir kopi Lala, ia meninggalkan sebuah kartu nama. Kartu nama yang terbuat dari logam tipis, dengan ukiran laser:
DIKA PRASETYO Jointer Jaringan. Pahlawan Lumpur Optik Hati adalah Jaringan yang Paling Jujur.
Dika menoleh ke Arya yang berdiri kaku di pintu. “Terima kasih atas Logistik yang ketat, Pak Wijaya. Saya menghargainya.”
Lala mengantar Dika ke pintu. Ketika Dika hendak masuk ke lift, dia berbalik.
“Satu Logistik terakhir, Lala. Nona Aurora tidak perlu memotong kabel. Dia hanya perlu tahu di mana menempatkan panas yang cukup untuk membuat sambungan rapuh. Itu yang harus Anda tulis,” bisik Dika, lalu masuk ke lift
.
Lala menutup pintu, mengunci semua pengaman, dan kembali ke meja. Ia tidak melihat Arya. Ia melihat kartu nama Dika yang terbuat dari logam dingin itu, dan Diagram Kekacauan di atas meja.
Logika Lala telah menerima kekacauan.