Setelah pintu Ruang Putih tertutup, Lala berdiri mematung di ambang pintu selama lima menit penuh, merasakan resonansi kehampaan yang ditinggalkan Dika. Ia tidak mencuci tangannya, meskipun tangannya yang baru saja menyentuh Diagram Kekacauan terasa panas. Ia membiarkan sensasi itu, sebuah data biologis murni yang tidak memerlukan pemrosesan Logika. Di mejanya, tergeletak kartu nama logam Dika, dingin dan beratse buah jangkar dari dunia luar yang keras.
Lala kembali ke meja kerjanya. Semua perlengkapan menulisnya, termasuk notebook dan pena, terasa steril dan mati. Ia menyadari bahwa naskah dramanya, "Titik Nadir Sang Konglomerat," adalah cerminan sempurna dari Logikanya yang lama terkontrol, tetapi tidak jujur.
Ia menghabiskan sisa sore itu dengan menganalisis data yang ditinggalkan Dika. Bukan data teknis yang dikirimkan Dika melalui email terenkripsi tentang geografi bawah tanah Jakarta, kedalaman bunker, dan suhu optimal penyambungan serat tetapi data naratif yang Dika tanamkan. Koneksi nyata tidak datang dari garis lurus, melainkan dari Fusi yang Rentan.
Lala mulai menulis ulang adegan sabotase. Karakter utamanya, Nona Aurora, tidak lagi bertindak bodoh dengan memotong kabel tebal. Dia menjadi cerdas, kejam, dan sekaligus rentan.
"Nona Aurora tahu bahwa kekuatan jaringan terletak pada Redundansi Logisnya, tetapi kerentanannya terletak pada Logistik Jaringannya. Bukan kekuatan yang dia hancurkan, tetapi titik fusi yang sensitif," Lala bergumam sambil mengetik dengan kecepatan tinggi.
Dia menyerap semua istilah Dika. Pusat Splicing Primer, Fusi Panas, Jointer. Logika teknis Dika menjadi metafora yang sempurna untuk Logika Hati Lala. Jaringan yang paling kuat adalah jaringan yang paling rentan, karena ia membutuhkan dua ujung yang rapuh untuk bersatu. Lala menyadari bahwa itulah mengapa ia membangun Ruang Putih: untuk menghindari fusi dengan dunia luar, untuk menghindari kerentanan.
Ketegangan di Ruang Tengah
Perubahan yang paling mencolok pada Lala adalah ritme. Biasanya, ia bekerja dengan siklus teratur: satu jam menulis, sepuluh menit peregangan, lima menit sterilisasi meja. Sekarang, ia bekerja tanpa henti, didorong oleh adrenalin kreativitas yang belum pernah ia rasakan.
Arya, yang biasanya mengukur waktu Lala dengan presisi seorang seismolog, merasakan getaran aneh. Ia mendapati Lala tidak makan malam, kopi single-originnya dingin, dan ia bahkan lupa mengganti sarung tangan vinilnya sebelum menyentuh pegangan pintu ruang kerjanya pelanggaran Protokol Kuman yang fatal.
Arya keluar dari ruang kerjanya, membawa tabletnya. Ia melihat Dika's Diagram Kekacauan terbentang di atas meja, garis-garis ruwet kabel optik di atas peta Jakarta yang tidak teratur. Itu adalah pemandangan yang kacau di tengah Ruang Putihnya yang zen.
“Ini diagram yang berantakan,” kata Arya, nadanya menghina. “Logika yang baik seharusnya memiliki flowchart yang rapi, bukan skema kusut seperti ini.”
“Itu adalah Logistik nyata, Arya,” balas Lala tanpa mengalihkan pandangan dari layar. “Kekacauan itu adalah Logika Lapangan. Sebuah jaringan harus beradaptasi dengan rintangan, meliuk di sekitar got, menghindari pembangunan. Ia tidak bisa berjalan dalam garis lurus yang kita inginkan.”
Arya terdiam. Dia melihat kartu nama logam Dika di samping notebook Lala. Dia mengambilnya.
“‘Pahlawan Lumpur’? Jargon yang sangat dramatis. Dan ‘Optik Hati adalah Jaringan yang Paling Jujur’,” Arya membaca ukiran laser itu dengan nada mengejek. “Lala, kamu menyewa seorang Jointer Jaringan yang tampaknya menghabiskan terlalu banyak waktu di hutan.”
“Dia ahli. Dia memberikan data yang menyelamatkan naskahku dari ketidakjujuran,” jawab Lala, menutup laptopnya. Mata Lala menatap Arya, dan untuk pertama kalinya, tatapannya tidak meminta persetujuan Arya. Tatapan itu menuntut pemahaman.
“Aku sudah mencari data Dika Prasetyo,” kata Arya, suaranya kini dingin dan terukur, Logika yang dipersenjatai. “Dia adalah freelancer lapangan, kontraknya tidak stabil, dan dia menghabiskan lima tahun terakhir di wilayah terpencil di Kalimantan, memasang tiang dan kabel di lingkungan yang tidak terkontrol. Dia adalah personifikasi dari Risiko Kontaminasi yang selalu kita hindari.”
Lala berdiri. Ia berjalan ke meja. “Kontaminasi? Arya, dia memberikan Fusi yang aku butuhkan. Dia membuat naskahku hidup. Kita telah hidup dalam Logika yang steril, tetapi Arya, apakah kamu membaca naskahku? Apakah kamu pernah benar-benar membaca naskahku, atau kamu hanya memverifikasi flowchart nya?”
Pertanyaan Lala mengenai titik rapuh Arya. Logika pernikahan mereka didasarkan pada keteraturan, bukan pada keterlibatan emosional.
“Keteraturan adalah yang membuat kita aman, Lala,” desak Arya, mengembalikan kartu logam itu ke meja. “Aku akan segera menginstal Modul Firewall Fisik Baru di pintu. Ini hanya sementara, sampai proyek konsultasi ini selesai. Keamanan adalah harga mati.”
Modul Firewall Fisik Baru. Bukan hanya pengamanan tambahan, tetapi juga dinding yang lebih tebal antara Lala dan dunia luar. Lala merasakan ketegasan Arya sebagai ancaman nyata terhadap kebebasannya yang baru ditemukan.
Kebutuhan akan Data Kegelapan
Tiga hari berlalu. Lala menyelesaikan penulisan ulang adegan sabotase. Adegan itu sangat brutal dan nyata. Nona Aurora menggunakan panas terarah untuk melebur simpul fusi, menyebabkan kegelapan data yang masif di kota, sebuah sabotase yang sangat pribadi dan menghancurkan. Konsultan Teknis baru Lala, Panji, mengirimkan pujian besar-besaran. Realismenya mencekam. Ini Logistik yang nyata!
Namun, Lala tahu dia belum selesai. Ia membutuhkan informasi lebih lanjut untuk adegan pelarian Nona Aurora.
Ia membutuhkan Data Kegelapan.
Dika telah menjelaskan Data Center dan Fusi Primer. Tetapi Dika belum menjelaskan bagaimana seorang Jointer jaringan menghadapi skenario pemutusan total. Lala tahu, di tengah kegelapan yang masif, pasti ada seorang Jointer yang dikirim untuk menyambung kembali cahaya.
Lala membuka laptopnya, menatap email terenkripsi dari Dika. Dia bisa saja membalas email itu. Tapi itu terasa terlalu formal, terlalu Logika.
Dia mengambil ponselnya, yang telah ia gunakan untuk berkomunikasi personal dengan Dika.
Lala (via Direct Message Telegram): "Dika, saya telah menyelesaikan penulisan ulang adegan sabotase. Berkat Fusi yang Rentan, naskahnya menjadi hidup. Namun, saya menghadapi masalah Logistik baru: Dark Fiber. Jika sabotase Nona Aurora berhasil, seluruh kota akan gelap data. Bagaimana seorang Jointer seperti Anda, bekerja dalam kegelapan mutlak, mencoba menyambungkan kembali cahaya? Saya butuh Logistik respons darurat. Apakah Anda tersedia untuk konsultasi on-site mendadak malam ini?"
Lala tahu, meminta Dika datang ke Ruang Putih pada malam hari, di bawah pengawasan Arya, adalah provokasi langsung terhadap Logika suaminya. Tapi ia membutuhkan data itu, dan ia membutuhkan kehadiran Dika.
Balasan Dika datang dalam waktu singkat.
Dika (via Direct Message Telegram): "Konsultasi on-site mendadak di malam hari? Itu adalah risiko yang jauh lebih menarik daripada bertarung dengan Logika Anda di siang hari. Logistik Dark Fiber adalah keahlian utama saya, Lala. Kami tidak takut pada kegelapan; kami adalah pembawa cahaya ke sana. Saya akan berada di apartemen Anda dalam dua jam. Saya akan membawa diagram Logistik Respons Bencana terbaru. Dan jangan khawatir, saya akan menggunakan pintu darurat, sehingga Modul Firewall Fisik baru Arya tidak akan terganggu. Sampai jumpa, Ratu Kegelapan yang Terkendali. Bersiaplah untuk fusi data yang lebih dalam."
Lala tersenyum. Dika tidak hanya menerima tantangan itu. Dia menunjukkan bahwa dia tahu tentang upaya Arya untuk mengisolasi Lala. Dika telah menemukan titik rentan Arya, yaitu sistem keamanannya, dan bersiap untuk menyerangnya secara cerdas.
Lala melihat ke arah dapur, tempat Arya kini sedang memasang alat sensor tambahan. Logika Statis Arya bersiap untuk perang. Tetapi Dika sedang merencanakan infiltrasi Logistik yang sempurna. Lala, untuk pertama kalinya, bersemangat menantikan kekacauan yang akan terjadi.