JALANAN ibu kota yang macet kali ini menjadi objek berita Alena. Seperti biasa, wanita itu memang sudah akrab dengan bisingnya klakson dan sumpeknya asap knalpot. Sesekali bila memang terdapat narasumber yang bersedia di-interview, Alena harus membuat pertanyaan dadakan untuk santapan beritanya. Tingkatnya yang masih wartawati baru belum diberi kepercayaan meliput secara berkala acara kenegaraan atau eksklusif tayang dari kalangan selebriti. Dia juga tidak berminat jadi reporter gosip.
Di pagi hari Rabu ini, Alena sedang bertugas di daerah Jalan Sudirman dengan rekannya Jonathan selaku kameramen. Tidak biasanya Alena mendapat tugas di daerah itu meski sudah sering meliput akibat kemacetan jalan ibu kota. Alena seringnya mendapat tugas meliput jalanan besar seperti gerbang tol Jagorawi atau daerah Bundaran HI yang minim memerlukan narasumber.
Wanita itu sedang menyusuri trotoar diikuti pria di belakangnya yang membawa tripod—Alena lupa namanya—serta kamera untuk liputan siang nanti. Di jam kerja seperti ini memang tak banyak pengguna jalan berlalu lalang di sekitar jalan dekat sebuah pemukiman itu dan jalanan macet selain karena pegawai bubar bisa jadi berita untuk Alena.
"Jo, gimana kalau kita ngeliputnya di sini?" Alena bertanya pada Jonathan tentang posisi liputan mereka. Wanita dua puluh tiga tahun itu menyarankan agar meliput di dekat pangkalan ojek karena dekat dengan jalan utama yang sedang ramai—padat merayap.
Jonathan mengangguk. Posisi yang disarankan Alena memang strategis untuk memperlihatkan ramainya anak jalan raya Sudirman. Pria itu mulai menyiapkan kameranya dan mengatur agar berita kali ini mendapat gambar yang bagus dengan back ground yang sesuai.
"Ya udah, kamu siap-siap aja dulu. Kita live setengah jam lagi."
Pria berusia dua puluh lima tahun itu memperbolehkan Alena menyiapkan berita yang akan disampaikan sang wartawati. Tentunya Alena sudah mengerti apa saja hal yang harus ia sampaikan mengenai liputannya kali ini. Mungkin yang harus Alena lakukan ialah mencari narasumber untuk menyempurnakan berita hariannya.
"Aku keliling dulu ya, Jo. Mau cari narasumber yang bisa diwawancarai."
Alena berjalan-jalan di sekitar jalan setapak yang menuju pemukiman warga. Beberapa tukang ojek sedang mangkir di pangkalan ojek. Aktivitas warga yang dapat Alena tangkap juga sedikit. Hanya anak kecil yang sedang bermain, ibu-ibu rumah tangga yang sedang menyapu, atau beberapa warga yang berjalan kaki hendak pergi.
Mungkin tukang ojek itu bersedia Alena wawancara. Sekalian eksis katanya. Apalagi kebanyakan tukang ojek sedang melajang yang gencar mencari pasangan.
"Permisi, Bapak ...." Alena menyalami satu persatu tukang ojek yang berjumlah tiga orang. "Saya dari acara breaking news ingin mewawancarai salah satu dari bapak-bapak ini. Adakah yang berkenan untuk saya wawancarai?"
***
Di sebuah perusahaan ternama di Jakarta, suasana lobi yang semula cukup ramai berubah sepi senyap saat seorang pria dengan angkuhnya berjalan dengan gayanya yang terkesan bossy. Pria dengan kaca mata hitam bertengger di hidungnya yang mancung itu tidak memedulikan para karyawati yang memekik tertahan di setiap ayunan kaki jenjangnya. Raut wajah datarnya di-copy paste oleh ketiga orang yang setia mengikuti di belakang.
Seorang pria paruh baya tergopoh-gopoh menghampirinya dari arah depan sang pria berkaca mata hitam. Tampak jelas kerutan di wajahnya menunjukkan seberapa lama usia pria itu. "Permisi, pak Darius, meeting akan dimulai lima menit lagi."
Ketiga pria itu saling bertatapan sementara bos mereka tetap tak berekspresi. Mereka berdecak pelan, menyayangkan sikap si sekretaris baru bos-nya itu yang menidurkan sisi tenang sang bos. Sementara sang sekretaris dengan wajah takut-takut menunggu reaksi dari atasannya—oh, tentu saja sama halnya dengan beberapa pasang mata yang melihat mengingat mereka masih di lantai dasar.
Tak lama, rahang sang pria berkaca mata hitam itu mengeras. Di balik kaca mata hitamnya, mata kelam pria itu membidik tepat di retina pria yang baru saja direkrutnya seminggu lalu. Dia menghempaskan kaca matanya sampai bingkainya patah menghantam dinding, menampilkan iris tajam sang bos yang menghunjam langsung lawan bicaranya.
"Masih lima menit, ‘kan? Kenapa kau mengatakannya sekarang?!”
Bentakan keras nan berat pria itu menghentikan seluruh aktivitas di beranda. Meski bukan hal baru, tetap saja temperamen buruk Direktur Utama perusahaan mereka itu selalu menjadi bahan gunjingan para bawahan. Walau tak jarang karyawati mengesampingkannya dan tetap berusaha mencuri hati sang atasan karena selain kaya, Darius juga mantan seorang model yang pastinya memiliki tubuh bak titisan dewa Yunani.
Sang pria—Dimas—gemetar. “Ma-maafkan saya, Pak. Sa-saya—”
“Mark, suruh pria ini menemui pihak Keuangan lalu berikan uang pesangon.” Darius memotong ucapan Dimas yang mematung. Dia ... dipecat?
Mark yang masih lebih waras dari Darius menyangkal, “Tapi Darius, dia—”
“Kau tau aku tidak suka dibantah, Mark.” Dia melirik arlojinya. “Siapkan seseorang untuk menjadi sekretarisku. Untuk sekarang, ambil bahan diskusi dari pria tak becus ini.”
Pria itu berlalu tanpa memedulikan Dimas yang masih membatu. Dia masih tidak menyangka dia dipecat hanya karena mengingatkan atasannya pada jam meeting yang sebentar lagi dimulai. Dan apa katanya tadi, tak becus?
Mark menepuk pundak Dimas singkat, bersimpati. Kawannya itu memang terlalu gila dalam bekerja. Jangankan dia, ibunya pun tidak bisa mengubah sikap temperamen Darius.
***
“Oke, meeting hari ini cukup sampai di sini. Terima kasih atas kerja sama ....”
Darius meninggalkan ruangan sebelum pembicara dari perusahaan lain itu selesai menutup meeting. Jika dia tetap tertahan di sana, satu menit berharganya terbuang sia-sia. Darius tidak akan pernah mau meluangkan waktunya hanya untuk berbasa-basi.
“Darius,” panggil Mark yang mengikutinya. Pria itu kewalahan mengimbangi jalan Darius dengan kakinya yang panjang itu. “We need to talk with Mister Kyle.”
Darius menghentikan langkahnya, langsung menoleh pada Mark dengan tatapan bertanya. “Mau apa tua bangka itu ingin menemuiku?”
Mr. Kyle atau Alexander D. Kyle adalah papanya yang berdarah Indonesia-Inggris. Pria dengan rambut kepirangan itu tidak pernah akur dengan Darius yang berwatak sama, tapi justru karena kesamaannya itu mereka sulit sependapat. Mr. Kyle lebih senang pada kakaknya Darius yang mudah mengalah dan lebih mementingkan perdamaian.
Mereka kembali berjalan menuju ruang kerja Darius begitu Mark berkata, “Ini tentang you-know-what.”
Ya, itu semacam kata rahasia yang tidak sepatutnya diketahui orang lain makanya orang-orang yang terlibat menyamarkan katanya. Itu hal rahasia yang amat penting. Hal yang mempengaruhi sikap Darius sampai jadi sekeras ini dalam bekerja.
“s**t,” umpat Darius. Jika ini melibatkan suami dari ibunya itu, berarti ini menyangkut hal besar yang bahkan tidak bisa ditangani sendirian oleh Mark.
Alis Darius menukik begitu dia memasuki ruang kerjanya, tidak ada siapapun. “Di mana dia? Kupikir dia sudi menemuiku terlebih dahulu jika menyangkut itu.”
Dapat kalian tebak dari mana sikap buruk Darius berasal? Yap, didikan Mr. Kyle. Papanya itu membiasakannya dengan sifatnya yang sekarang. Oleh karena itu dia tidak sungkan kurang ajar pada sang papa. Pria itu tidak pernah mempermasalahkan kata-kata kasar yang digunakan putra keduanya.
Mark menunduk begitu ponselnya bergetar di saku jasnya. Ponsel di saku jasnya sebelah kiri. Itu ponsel khusus pekerjaan untuk menghubungi Darius yang membutuhkannya sebagai tangan kanan, terutama bisnis gelapnya. “Darius,” panggilnya, “Mr. Kyle.”
Darius menatap sekilas ponsel Mark sebelum mengangkat panggilannya malas. Meski Mr Kyle jarang meneleponnya, tidak menjadikannya hal penting saat nomornya terdaftar di id caller. “Ada apa?”
“...”
Wajah Darius mengeras. “Apa? Tidak mungkin.”
“...”
“Aku tidak mau tau. Kau harus menyelesaikannya. Kau tahu ‘kan risikonya jika aku masuk jeruji besi?”
Mark terhenyak begitu Darius menyinggung-nyinggung soal penjara. Mark sendiri tahu duduk permasalahannya yang sulit dipecah itu benar-benar serius, makanya orang suruhan Mr. Kyle yang mengikuti perkembangan bisnis ini turun tangan. Namun, dia tidak menyangka hal ini sangat fatal, bahkan mengancam Darius dengan kurungan penjara.
“...”
“Baiklah. Mark sementara yang akan mengambil alih sampai b******k itu ditemukan. Suruh anak buahmu itu melakukan yang terbaik atau aku tidak akan mau lagi menjalankan bisnis ini.” Darius melempar ponsel Mark sembarangan yang untungnya bisa ditangkap pria itu. Dia duduk di kursi kebanggaannya.
“Jadi, bagaimana?” tanya Mark.
Darius mendengus lalu menggebrak meja sambil menatap Mark tajam. Ah, sepertinya tidak tertuju padanya secara spesifik, itu hanya karena hanya ada Mark di sana. “Bagaimana bisa dia menghianatiku begini, Mark? Apa kau tidak mengendus kelakuan piciknya itu?”
“Aku juga tidak mengerti, Darius. Bukankah dia itu sahabatmu? Kukira dia tidak akan mungkin berkhianat seperti ini.”
“Aku tidak punya sahabat. Terbukti, orang yang berbahaya adalah orang yang terlalu dekat denganku,” kata Darius geram. “Kau harus tanggung semuanya. Ambil alih semua transaksi dan pastikan semuanya berhasil.”
Mark menelan ludahnya dengan susah payah. Perintah Darius menyeramkan. Harus berhasil semua? Tidak mungkin. Bisnis gelap ini tidak selamanya mudah membujuk customer. “Tapi itu tidak mungkin, Darius. Kau tahu sendiri—”
“Berhasil, atau pacarmu itu yang akan menanggungnya.”
Setelah mengancam Mark, Darius pergi tanpa peduli Mark mengikutinya atau tidak. Temperamennya memang buruk, tapi di dunia bisnis itu tidak penting. Hanya untuk pencitraan, selebihnya bullshit. Terkadang, hukum rimba berlaku, siapa yang kuat dia yang berkuasa.
Sekarang, ada hal penting yang harus Darius urus, menemukan si b******k itu beserta antek-anteknya.
***
“Al,” panggil Jonathan sewaktu mereka selesai liputan siang itu dan singgah di warung sembako pinggir jalan. Mereka duduk di dekat warung. “Apa kamu enggak tertarik ganti topik liputan? Kita sudah meliput jalanan hampir setengah tahun setiap harinya.”
Alena yang baru saja menghabiskan sebotol air mineral itu menggeleng. “Enggak sih. Memang kenapa? Kamu bosen?”
“Jelaslah. Lihat jalanan setiap hari, panas, beritanya itu-itu aja. Masih syukur ada yang mau lihat berita membosankan kayak begitu,” kata Jonathan.
Gadis itu menghela napas. Memang ucapan Jonathan ada benarnya, tapi Alena tidak masalah harus meliput jalanan setiap hari asalkan dia bisa liputan meski gajinya tidak seberapa. Dia menyukai, ah tidak, mencintai bagaimana dia harus menjelaskan situasi di depan kamera.
Alena juga sudah beberapa kali mendapat kesempatan meliput topik lain. Seperti kerusuhan, demo mahasiswa, atau liputan kriminal dan liputan dalam ruangan. Tidak ada yang disukai Alena seperti dia meliput acara jalanan. Alasan lainnya karena dia merasa belum pantas meminta pindah, Alena lebih senang jika atasan yang memindahkannya.
“Terus kamu mau gimana? Pindah acara?” tanya Alena lagi.
“Ya enggak, aku suka liputan live,” jawab Jo memanggul tripodnya. “Maksudnya, kita juga perlu suasana baru. Ketemu jalan setiap hari, pastilah ada rasa bosen.”
Mereka berjalan menuju mobil dalam diam, tidak ada lagi percakapan atau menyinggung hal tadi sepanjang jalan. Jalanan padat yang tadi diliputnya sudah lumayan senggang karena kemacetan mereda. Situasi juga sepi selain dari deru kendaraan, orang-orang sibuk kembali dengan aktivitas masing-masing.
“Memangnya, kamu mau ngeliput berita yang gimana, Jo?” tanya Alena sewaktu Jo sibuk memasukkan kamera dan tripod ke bagasi mobil milik stasiun teve.
Jonathan tampak berpikir. Pria itu mengibaskan kerah bajunya kegerahan. “Ya minimal gak jalanan melulu. Politik kek, acara kenegaraan gitu. Apa aja, asal bukan gosip,” katanya.
“Tapi ‘kan kita belum ada satu tahun, Jo. pak Burhan gak bakal kasih buat jangka lama.”
“Kata siapa? Bram kemarin bisa pindah, Al. Kalau pak Burhan gak kasih, fiks, dia pilih kasih.”
Dalam perjalanan mereka menuju stasiun untuk memulangkan peralatan liputan, Alena memikirkan perkataan Jo. Jika dipikirkan kembali, sepertinya kesukaan Alena terhadap liputan jalanan memang tidak semenguntungkan itu dibanding jadi reporter gosip atau hal-hal viral. Tidak menutup keinginannya, Alena juga perlu mengumpulkan pundi-pundi uang untuk biaya pendidikan sang adik.
“Jo,” panggil Alena sewaktu mereka terjebak macet dua persimpangan dari gedung. “Kamu beneran mau mengajukan ke pak Burhan soal pindah acara dan topik liputan?”
“Kamu mau?” Jo bertanya balik.
Alena mendengus. “Yah, coba sekali gak papa. Lagian kamu ‘kan tau adikku masih butuh biaya besar buat sekolah.”
Jo mengangguk. “Ya udah, besok kita ajukan. Tapi ya pak Burhan gak akan semudah itu memutuskan sih. Semoga saja beliau mau berbaik hati ngasih suasana baru buat kita.”
***
A.N :
Kesan kalian tentang Alena di chapter ini?
Tentang Darius?
Tentang Jo? Mark?
Dari sini mulai banyak tentang reporternya nih. Jadi, kalau ada yang salah, perlu dikoreksi tentang reporternya atau pun penulisan aku, kritik dan saran sangat amat terbuka di setiap bab atau pun chat pribadi.
Oke, see you tomorrow.