4. So Far

1553 Words
Haeun terbangun dari tidurnya, dirinya merasa jika Yongki masih ada di sebelahnya untuk menemaninya. Tapi, saat dirinya melihat sekeliling dia baru sadar Yongki telah pergi meninggalkannya. Haeun juga merasa tidak asing dengan ruangan yang dia tempati, dia tahu betul dimana dia sekarang. Seseorang membuka pintu kayu itu, terlihat wanita paruh baya membawakan sup ayam hangat untuknya, dan meletakkannya diatas nakas. Menatap Haeun dengan raut wajah khawatir. "Bibi Soo.." sapa Haeun namun wanita itu langsung memeluk tubuh ringkihnya. Ada getaran pada tubuh Soo saat memeluknya. Wanita paruh baya itu meneteskan air matanya ketika tahu kondisi keponakannya yang sangat menderita. "Bagaimana kau bisa bertahan hingga sampai seperti ini? Jika aku jadi kau, aku akan meminta Tuhan untuk berhenti sampai disini" Haeun tersenyum, "Aku sudah pernah berpikir seperti itu, tapi tidak ada gunanya.” Hembusan angin menyibak tirai jendela kamar itu takkala Haeun memberikan raut muka sedih. Helaan nafas bibi Soo terdengar jelas, dan mengambil kembali mangkuk sup itu untuk diberikan pada Haeun. "Makanlah, jika kau ingin sesuatu panggillah aku" Haeun mengangguk, mengambil sup itu dari tangan sang bibi. "Bibi, boleh aku meminta tolong padamu?" *** Keputusan Haeun adalah pergi meninggalkan semua luka-luka dihatinya termasuk kenangan lalunya bersama Lee Yongki. Semua keputusannya sudah bulat dan dia harus menghindari masa-masa sulitnya di waktu lalu. Haeun masih percaya jika dirinya pasti akan mendapatkan sesuatu yang lebih indah dari pada ini. Baru saja dia pergi dari gereja untuk berdoa, dan dia kembali ke tempat dimana bibi dan paman Dongwok menunggunya. “Aku kan pergi. Jika Yongki mencariku tolong rahasiakan ini” pinta Haeun dengan berat hati. Keduanya hanya mengangguk mensetujui ucapan Haeun. “Pergilah nak, jaga dirimu baik-baik” Haeun hanya mengangguk pelan dan segera memasuki bus yang akan membawanya pergi jauh. Hanya lambaian tangan yang dia berikan pada paman dan bibinya. Bus itu melaju meninggalkan halte dan semua kenangan yang sempat dia ukir beberapa hari lalu. "Maafkan aku... Aku hanya ingin melupakanmu" guman Haeun sambil melihat jalanan di balik jendela kaca bus yang dia tumpangi. Perjalanannya sangat panjang sekali, Busan adalah tempat dimana dia akan memulai kembali suasana hatinya. Padahal sebelum dia memilih untuk pergi dengan bus, paman Dongwok sudah menawarkannya untuk diantar ke Busan tapi Haeun menolak dan memilih pergi sendiri. Tidak banyak yang Haeun bawa, dia hanya membawa apa yang dia miliki yaitu koper yang berisi pakaiannya. Haeun sengaja tidak membawa ponselnya. Menurutnya itu lebih baik dari pada masih memakainya. Lelah baru saja bus itu pergi meninggalkan Daegu dan mata Haeun terasa mengantuk sekali, menyenderkan kepalanya di kaca bus dengan memejamkan matanya berharap semuanya akan bahagia dengan kepergiannya dan tidak akan pernah ada yang mencarinya lagi. *** Pagi hari yang buruk menurut Yongki. Semuanya terasa hampa di dalam rumahnya, bisanya Haeun akan membangunkannya hanya dengan membuka pintu kamarnya. Tapi saat ini tidak akan ada lagi yang membangunkannya. Yongki mengusak kasar surai rambutnya, dia tau ini adalah hari tersibuk untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan yang sudah di selesaikan oleh Haeun terkait pernikahannya dengan Valleta. Dia tahu karena pernikahannya dengan Valleta akan berlangsung beberapa hari ini. Malas sekali mengingatnya, berhubung pernikahan ini ada unsur paksaan dari sang ibu. Yongki menyalakan kembali daya ponselnya yang sudah penuh, lalu dia ingat untuk menelpon Haeun agar mengetahui keadaan wanitanya itu. ''Maaf nomor yang anda tuju tidak dapat dihubungi, silahkan...." Tidak diangkat bahkan operator berkata demikian. Sudah beberapa kali dia memanggil dan hasilnya tetap sama, segera dia beralih mengetik sebuah pesan singkat untuk Haeun dan berharap jika pesannya akan dibalas. 'Haeun-ya kuharap kau sudah sembuh, maaf aku meninggalkanmu malam itu. Kau tau aku malas sekali jika mengingat besok adalah pernikahanku. Kuharap kau akan datang. Aku mencintaimu' -Sent. Pesan itu terkirim. Dan Yongki mengusak selimutnya hingga jatuh ke lantai. Dia tau hari ini ada jadwal dengan kliennya. Sebenarnya ada jadwal lain di hari ini tapi Yongki malas meladeninya, biarkan saja ibunya yang mengurus pernikahannya dengan Valleta. Toh dia juga tidak peduli. *** "Nona maaf ini sudah di Busan" seoarang wanita yang duduk di sebelahnya berusaha membangunkan Haeun yang tertidur. Hanya anggukan sebagai jawaban atas ucapan wanita itu. Mengerjapkan matanya berkali-kali agar tersadar dari tidurnya. Haeun melihat sekelilingnya dan benar dia sudah berada di Busan. Dengan segera dia turun dari bus dengan wanita yang membangunkannya. "Jadi kau akan kemana Nona?" tanya wanita itu ramah. Haeun tersenyum sambil membawa barang bawaannya. "Kerumah nenek, Nyonya. Em.. apa perlu di bantu membawanya?" tawar Haeun saat mengetahui jika wanita itu kesusahan membawa barang-barang. Segera dia menentengnya, membantu membawanya. "Kau juga membawa barang. Kalau begini aku jadi kasihan, biar aku saja yang membawanya" ucap wanita itu berusaha merebut barang bawaannya dari tangan Haeun. "Tidak usah, aku tidak apa. Sungguh" Mereka berjalan beriringan untuk ke tempat dimana wanita itu akan menemui seseorang. "Hem, kau benar-benar wanita baik. Andai saja aku memiliki menantu sepertimu aku akan senang" Haeun hanya tersenyum kecil saat mendengar ucapan dari wanita itu. Hingga teriakan seseorang gadis kecil yang nyaring menghampiri keduanya. "Nenek... Aku rindu nenek" gadis kecil itu memeluk wanita yang di sebutnya nenek. Haeun hanya tersenyum, melihat interaksi antara keduanya. Seseorang wanita lain datang menghampiri keduanya dan melihat Haeun yang membawa barang milik ibunya itu. "Oh biar aku saja yang membawakan barang bawaan ibu" Meraih tas ibunya dan membawanya untuk dimasukan di bagasi mobil miliknya. "Carissa sayang, nenek juga rindu." Gadis kecil itu bernama Carissa, gadis imut dan lucu yang tengah mengeliat pelan di gendongan sang Nenek. Gadis itu hanya tersenyum pada neneknya sebelum mengetahui jika Haeun berasa di sekitar mereka berdua. "Nenek… dia siapa?" tanya Carissa kecil. Gadis kecil itu bercicit takala tahu jika bukan hanya keluarganya saja yang ada disini, tetapi juga ada orang asing yang tidak dikenalnya. Netra coklatnya menatap Haeun dari helaian poni yang menutupi indra pengelihatannya. "Hallo, kau sangat cantik" mendengar sapaan dari Haeun gadis kecil itu malah bersembunyi di balik cerucuk leher neneknya. Mungkin gadis kecil itu sedikit malu berhadapan dengan orang asing. "Maafkan cucuku, dia pemalu. Kalau sudah kenal dia akan selalu merepotkan" tegas wanita itu. Haeun hanya memakluminya, toh gadis kecil itu juga masih anak-anak yang takut dengan orang baru sepertinya. Sejenak mereka melupakan ibu dari gadis kecil itu yang selalu mengamati setiap apa yang ada di depannya. "Issa, Ibu ayo kita pulang. Apa kau ikut dengan kami?" ajak ibu Carissa yang sudah memasukkan koper di jok mobil. Haeun menggeleng, berusaha menolak ajakan baik itu. "Tidak, aku akan memesan taksi. Saya pergi dulu" pamit Haeun pada mereka semua. “Hati-hati nak, terimakasih sudah membantuku" ucap wanita itu. Haeun hanya tersenyum sambil mengangguk. *** Selama di perjalanan Haeun hanya menatap pemandangan Busan yang terlihat begitu cantik. Ada banyak taman dan lampu-lampu jalan yang indah serta para pemuda pemudi yang dimabuk cinta. Haeun selalu ingat sekali dirinya pernah merasakan hal seperti itu di waktu muda. Bergandengan tangan dan mengobrol disepanjang jalan. Hingga tanpa sadar taksi yang Haeun tumpangi mendadak berhenti di gang rumah yang dia tuju. Dengan segera dia bergegas untuk membayarnya. "Terimakasih" ucap Haeun seusai sang sopir membantunya mengeluarkan barang-barangnya dari dalam jok. Haeun kembali mengeret kopernya kembali, berjalan beberapa, meter untuk mencapai rumah seseorang. Hingga dia sampai tepat dirumah kecil yang sederhana berbeda sekali dengan rumah-rumah pada umumya yang orang biasanya bilang rumah minimalis. Mengetuk pintunya berkali-kali hingga seseorang di dalam mau menyambut kedatanganya. Haeun tersenyum lebar saat pintu itu terbuka, menampilkan nenek tua yang sehat walau termakan usia. Sepertinya nenek itu sedikit takut padanya, ah Haeun lupa setahunya dia pernah kesini sudah terlalu lama, sekitar dua puluh tahun yang lalu. “Halo nenek apa kabarmu. Aku Song Haeun putri Song Kanna” Mendengar ucapan Haeun, nenek tua itu baru ingat dan langsung memeluknya, "Haeun, Song Haeun cucuku dari Kanna? Bagaimana kabar ibumu? Apa dia baik-baik saja?" tanya sang nenek sambil mengajaknya memasuki rumahnya. Jujur, jika Haeun mendengar tentang ibunya raut wajahnya mendadak sedih kembali diingatkan lagi. “Ibu sudah pergi terlalu jauh dan aku tidak bisa menemuinya kembali” Nenek Kang menatapnya sendu, dia tahu apa yang dimaksud oleh Haeun tentang keadaan ibunya. “Maafkan nenek” *** Haeun merasa senang jika kembali ke rumah tua ini, sudah lama dia tidak mengunjungi nenek Kang kembali itu pun semenjak Haeun menginjak usia dewasa dan setelah berita kecelakaan yang menewaskan kedua orang tuanya. "Minumlah nak" nenek Kang memberikan secangkir teh herbal untuk Haeun yang terduduk di kursi kayu sambil menatap sekeliling pemandangan belakang rumah yang dipenuhi dengan hamparan bunga gandum. "Terimakasih" Nenek Kang tersenyum takala Haeun meresponnya, senang bisa melihat kembali gadis kecilnya yang dia temui dulu di usianya yang sudah tua. "Apa kau sudah menikah nak?" tanya nenek Song ingin tau. Haeun kembali meletakkan cangkir teh itu dan menatap kembali hamparan bunga-bunga gandum yang bergoyang lembut manakala tertiup angin. "Aku sudah tidak bersamanya lagi, kami sudah berpisah" cicit Haeun. Mendengar berita itu membuat sang nenek menjadi iba. Nenek Kang merasa bersalah. Seusai mengucapkan kabar Kanna sekarang dirinya mengutarakan apa Haeun sudah menikah apa belum, malah jawabannya pun juga terlihat membuat gadis disampingnya itu bertambah sedih. Oh betapa beratnya menjadi Haeun yang harus diuji beberapa kali. "Maafkan nenek, jika sehari ini aku mengucapkan kata-kata yang membuat hatimu sakit.” Haeun menoleh dan memberikan senyuman, seolah-olah senyuman itu menggambarkan jika dirinya tidak merasa tersakiti. “Tidak apa, nenek juga tidak tahu. Tapi jika nenek tidak bertanya mungkin nenek juga tidak akan tahu” Nenek tua itu menagngguk paham. “Sudahlah jangan terlalu berlarut dalam kesedihan. Pernikahan itu memang yang terberat dalam menghadapinya. Yang penting kau sudah disini jadi kau bisa memulai kembali menguatkan hatimu” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD