Bab 2

1053 Words
"Pa, aku nggak mau tunangan sama dia. Aku nggak suka sama dia."   "Tapi rasa itu akan muncul nanti dengan sendirinya. Seiring kebersamaan kalian, kalian akan saling suka. Kamu lihat kakak-kakak kamu. Semuanya baik-baik saja, kan. Mereka bahagia dengan pilihan papa. Sudah Kiza, tidak ada bantahan lagi. Kamu tetap akan tunangan dengan Arya besok."   Aku beralih pada mama, menggamit lengan mama dengan manjanya walau ini sama sekali bukan diriku. Aku hanya akan melakukan apa saja agar pertunangan besok dibatalkan. Bahkan dengan melarikan diri sekalipun aku akan melakukannya. Dan sepertinya itu menjadi pilihan terakhir dan malam ini akan menjadi kesempatan terakhir, mengingat waktunya adalah besok. Tidak ada kesempatan lain lagi untuk menolaknya bahkan dengan sejuta kata-kata penolakan, tidak akan ada hasilnya.   "Maksud papa kamu baik, Kiza. Papa hanya ingin yang terbaik untuk kamu. Mama juga setuju dengan pilihan papa kamu. Tidak ada yang salah kan dengan Arya. Dia juga tampan seperti bagaimana yang kamu inginkan. Dan yang lebih penting, dia bisa menjamin kehidupan kamu ke depannya."   Aku merengut kesal, melepaskan lengan mama begitu saja. Bagaimana bisa aku tunangan secepat ini dan akan dinikahkan secepatnya. Usiaku bahkan masih delapan belas tahun dan masih akan memasuki bangku kuliah bulan depan.   Usiaku memang terpaut cukup jauh dengan ketiga kakakku. Kak Kalani sudah tiga puluh tiga tahun, kembar kak Kevan dan kak Kevin memasuki tiga puluh tahun ini. Kata mama, dulu dia tidak ingin hamil lagi setelah kelahiran kakakku yang kembar, tapi papa sangat menginginkan anak perempuan. Entah bagaimana kesepakatan mereka membuat aku terlahir dua belas tahun setelahnya.   "Za, Arya itu baik kok. Kakak udah lama kenal dengannya. Kakak yakin dia bisa bahagiain kamu," bujuk kak Kevan.   Ah, dia ikut-ikutan juga dengan ide papa. Apa tidak ada seorangpun yang sepihak denganku? Bagaimana bisa ketiga kakakku dulu menerima perjodohan dari ayah dengan begitu mudahnya. Tidakkah mereka ingin memperjuangkan seseorang yang memang tulus mereka cintai? Atau jangan bilang mereka tidak mempunyainya.   Ough, kasihan sekali kakak-kakakku.   Eh, diriku juga sama saja. Hingga usia delapan belas tahun ini, tidak seorangpun laki-laki yang menyatakan perasaannya padaku. Disaat teman-teman kelasku pada jalan bergandengan tangan dengan pacarnya masing-masing, aku malah jalan diiringi oleh pak Anton dan beberapa pria yang bahkan tak bisa kulihat matanya. Disaat mereka hang out ke mall dengan kekasihnya, aku malah dikawal sepuluh pria berotot dan berbadan tegap dengan pakaian serba hitam dan kaca mata hitam juga. Saat mereka menonton bioskop dengan pacarnya, aku malah ada di teater rumah ditemani mbak Tata. Hidupku rasanya menyedihkan sekali.   Apakah diriku tidak menarik layaknya teman-teman kelasku yang lain?   Apakah aku tidak layak mendapatkan perhatian khusus seorang laki-laki?   "Kamu dengar tidak?" Suara papa membuyarkan lamunanku. Aku sama sekali tidak mendengar apa yang baru saja papa sampaikan. Meratapi nasibku yang buruk sepertinya menyita seluruh perhatianku.   "Eh, apa tadi, pa? Aku lupa," cicitku sambil menggaruk tengkuk yang tidak gatal.   Mama menyentuh pundakku dengan lembut. "Besok kamu harus bangun pagi buat siap-siap. Keluarga Arya akan datang besok pagi dan membuat persiapan bersama di sini."   Aku melirik kedua kakakku yang sejak tadi hanya diam. Tidak ada yang berniat membantuku, atau mungkin mereka sendiri juga sudah tau kalau semuanya akan gagal. Apalagi ketiga kakak iparku, sangat tidak mungkin dimintai bantuan, sekalipun mereka sangat dekat denganku.   Pupus sudah semuanya. Hanya kabur pilihan terakhir. Aku terbangun pagi sekali, bayangan kejadian kemarin masuk dalam tidurku. Tidak ingin menyesali kesempatan terakhir ini, aku abaikan saja. Pagi ini aku harus bersiap untuk melangkah lebih jauh lagi sebelum keluargaku menyadari ketidakberadaanku di rumah. Setelah membersihkan diri, aku merapikan isi ransel yang tadi sempat teracak. Memastikan semua barang yang sudah aku perjuangkan untuk membawanya, tidak ada yang tertinggal. Untuk sarapan, akan lebih baik saat perjalanan nanti. Saat ini masih terlalu pagi untuk itu. Resepsionis yang aku hadapi pagi ini beda dengan yang semalam. Ah ya, tidak mungkin shitnya terus. Kunci kamar kukembalikan tanpa banyak bertanya dan berlalu begitu saja. Membenarkan posisi tali ransel yang ada di bahuku. Mungkin tampilanku kali ini seperti anak pecinta alam yang akan hiking. Masih dengan menggunakan jasa taksi, aku meminta di antarkan ke tepian kota yang memang sangat sulit dijangkau. Tempat yang tidak akan terpikirkan sedikitpun oleh kedua orangtuaku. Tidak perlu pergi jauh-jauh yang hanya akan menghabiskan tabungan saja. Apalagi sampai menggunakan pesawat atau menaiki kapal menyebrang pulau. Hal itu malah akan mempermudah pelacakanku saja. Tempat yang kutuju saat ini sudah sangat pas. Satu jam perjalanan sudah membawaku hingga ke tempat yang bahkan menurutku lebih baik dari perkiraan sebelumnya. Aku menutup kedua mataku dan menarik nafas dalam-dalam, menghirup udara yang masih segar dengan merentangkan kedua tangan. Hm, disini cukup tenang dan sangat dingin. Semoga tempat ini bersahabat denganku. Dengan yakin kedua kakiku melangkah di tanah yang masih lembab karena embun. Beberapa anak dengan seragam putih merah mulai bermunculan. Tidak seperti bagaimana dulu aku akan berangkat sekolah yang sudah dinanti badan tegap di sebelah mobil. Anak-anak itu berjalan bersama teman-temannya, tertawa sambil bercerita. Sesekali berlarian. Udara dingin bahkan seperti tidak terasa oleh mereka. Tanpa sadar aku menghentikan langkahku, bahkan memutar tubuhku untuk tetap memperhatikan mereka hingga menghilang dari pandangan. Beberapa anak lain muncul lagi, dan sama seperti sebelumnya. Tidak ada yang diantarkan dengan mobil seperti yang pernah kualami. Aku menggelengkan kepalaku pelan. Kehidupan di luar tembok tinggi yang selama ini mengurungku ternyata lebih indah. Segala kemewahan yang aku terima disana bahkan tidak akan mampu menggantikan tawa riang anak-anak tadi. Hal pertama yang harus aku lakukan adalah mencari tempat tinggal. Tempat ini sepertinya sudah sangat tepat. Aku menyusuri jalanan yang tak bisa dilintasi mobil mewah. Hanya orang gila yang akan melakukannya. Bebatuan berantakan memenuhi jalan seluas dua meter itu. Sepertinya memang tidak pernah diaspal. Dan benar saja, orang gila itu muncul begitu saja di depanku. Sebegitu nekatnya dia mengendarai mobil marcedez benz-nya di jalanan ini. Aku bisa tau betul kalau dia sedang dalam acara pamer. Batinku tergelak saat ada batu yang menghantam mobilnya dan tak lama kemudian terjerat, tak bisa bergerak. Pria tengil yang mengendarainya keluar dan mencak-mencak kesal. Aku berlalu pura-pura tidak mengetahuinya. Biar saja dia menyelesaikannya sendiri karena itu juga ulahnya. Sudah tau jalanan seperti ini masih saja kesempatan menunjukkan kekayaannya. Dan enak saja dia menyuruh cewek sepertiku untuk membantunya. Aku menggelengkan kepala. Ada-ada saja manusia ini. Dan aku juga tidak menyangka kalau ada orang sebodoh dia di dunia ini dan lebih parahnya ada di tempat sederhana ini. Langkahku terhenti di depan sebuah rumah yang di depannya diberi tanda kalau mereka menerima anak kos. Bangunan dua lantai itu bentuknya terlihat seperti kamar-kamar, layaknya tempat kos pada umumnya. Semoga saja masih ada yang kosong.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD