Part 2

1860 Words
Seperti janjinya, Mawar tidak menghadiri undangan yang diberikan Yuda, juga tidak ke mana pun. Dia hanya di rumah, membolak-balik katalog tas yang diberikan tetangganya. Melihat tas-tas itu, Mawar tergiur ingin membeli. Membuatnya sadar sudah terlalu lama ia menjauh dari pusat perbelanjaan. Sebenarnya bisa saja dia pergi ke kota dengan atau tanpa Kris. Jaraknya tidak terlalu jauh. Hanya saja, Mawar memang lebih sering merasa malas meninggalkan rumah. Tempat tinggalnya yang sekarang ini memang benar-benar menyajikan kedamaian layaknya rumah, membuat Mawar tidak pernah terpikir untuk pergi ke tempat lain lagi. “Bik, kalau tas ini bagus nggak?” Mawar bertanya pada Dini, asisten rumah tangganya yang sedang memijiti punggungnya. “Bagus kok, Buk. Apalagi warnanya merah. Ibu kan memang cocok pakai warna merah.” “Bukan buat aku. Buat Bibik. Cuma tiga ratus nih harganya, beli buat Bibik bertiga, masih belum sampai sejuta. Anggap hadiah, Bik. Mau nggak?” “Ya kalau dikasih sih, mau lah, Mbak.” “Beneran, ya? Aku pesan, ya?” “Tapi apa nggak apa-apa, Bu? Nanti kalau Bapak marah, gimana?” “Ck, suami saya tuh badannya doang tatoan, mukanya aja seram, aslinya baik, kok. Uangnya tuh banyak. Lagi pula aku belinya nggak pakai uang dia, kok. Pakai uang aku. Tabunganku.” “Uang kamu kan dari aku juga.” Mawar menutup katalognya secara refleks. Menoleh dan tersenyum seperti anak kecil yang sedang dipergoki berbuat nakal. “Kok aku nggak dengar suara kamu datang? Biasanya teriak-teriak,” ucap Mawar, meletakkan katalognya, menghampiri Kris untuk memeluk suaminya. Dia benci aroma tubuh suaminya yang didominasi parfum, yang ditebak Mawar merupakan ajaran dari Nita. “Kalau lagi ada salah begini, kamu manis banget. Kenapa nggak tiap hari aja?” Bibir Mawar mengerucut merajuk. Saat tangan Kris mengacak rambutnya, ia menarik kepalanya menjauh. Melepaskan rangulan tangan Kris di pinggangnya. Kembali duduk di sofa, membelakangi Dini sambil menepuk pundaknya, meminta dipijat lagi. “Astaga!” teriak Mawar saat Kris mengangkat tubuhnya, memindahkannya ke bagian ujung sofa. “Geser, Mbak. Kamu pindah ke sana.” Kris menunjuk arah belakang Mawar sedang ia sendiri membaringkan tubuhnya di sofa dengan kepala di atas pangkuan Mawar. Mawar sebenarnya kesal, tapi tidak mungkin juga ia menuruti keinginan hatinya untuk menggeser kepala itu ke tempat lain. “Aku lagi pijit, loh!” gerutu Mawar. “Ya emangnya kenapa? Kan masih dipijit juga. Aku nggak nyuruh Mbak Dini berhenti, kan? Cuma suruh geser doang!” “Kamu tuh ...” Kehabisan kata-kata, Mawar memilih diam dan menikmati pijitan Dini yang sudah berkurang nikmatnya. Mungkin pengaruh hatinya yang sedang kesal, mungkin juga karena Dini yang memang merasa canggung harus menjadi orang ketiga di kebersamaan majikannya. Kris memejamkan matanya, tampaknya hendak tidur. Lalu, dia memutar tubuhnya hingga telungkup, wajahnya kini berada di tengah lipatan kaki Mawar yang bersila. Geli, sudah pasti, risih juga, tapi bukan Kris namanya yang mau mendengarkan keluhan orang lain. Melihat potongan rambut Kris yang panjang di bagian belakang, Mawar merasa terbujuk untuk memainkannya. Dia memang sangat suka kalau rambut Kris agak dipanjangkan, membuatnya bisa memainkan rambut itu saat mereka bercengkrama, atau menjambaknya saat mereka bercinta. Dulu sekali, keposesifan Kris rasanya manis. Sekarang Mawar sudah berusia dua puluh delapan tahun dan Kris tiga puluh. Sudah terlalu tua-menurut Mawar-untuk terlalu terbawa perasaan dalam kehidupan rumah tangga. Jika memang Kris tidak bisa menjadi 'hanya' miliknya, maka Mawar hanya bisa belajar ikhlas. Saat tidak bersama, perasaan cemburu itu tidak begitu terasa, tapi saat Kris pulang, meski mati-matian ingin membenci, tetap saja denyutan sakit hati itu terkadang terasa saat Kris membuai Mawar dengan sikapnya lalu kembali memperlihatkan kenyataan kalau Kris sekarang secara resmi menjadi milik dua wanita, meski yang satunya lagi masih berstatus simpanan. Simpanan terang-terangan, lebih tepatnya, karena wanita itu tinggal serumah dengan Kris, dibawa ke setiap acara, dan juga melahirkan anak untuk pria itu. Tangan yang sudah gatal ingin memainkan rambut yang mengeras karena pomade itu, Mawar kepalkan. Tidak boleh terlihat lemah. Tidak boleh terbujuk. Dia harus konsisten menjadi istri yang tidak butuh suami, hanya uangnya. “Bu, pijitnya sudah? Saya harus siapkan makan siang. Kan ada Bapak, masaknya nggak bisa sedikit.” Mawar mengangguk. Saat Dini sudah meninggalkan mereka berdua, Mawar menyenderkan tubuhnya ke punggung sofa, merebahkan kepalanya, memejamkan mata. *** Asisten rumah tangga Mawar, ketiganya tidak ada yang berani berhadapan dalam waktu yang lama dengan Kris. Perawakan Kris yang terlihat seperti pria jahat, wajahnya yang jarang terlihat ramah, dan keengganannya berbicara, membuat orang-orang seringkali enggan mencoba beramah tamah dengannya. Kecuali, tentu saja, para wanita yang paham meski menyeramkan, Kris tetap seorang pria yang memiliki kebutuhan. Melihat Kris keluar kamar dengan wajah masamnya, seperti biasa, Inah si asisten rumah tangga paling senior memberanitkan diri menyapa. “Selamat sore, Pak.” Kris tidak membalas sapaan, hanya menganggukkan kepalanya, tetap melanjutkan langkahnya. Inah menarik napas panjang, merasa lega karena Kris hanya memaluinya. Wanita tua itu bahkan tidak berani melihat mata Kris yang selalu menyorot tajam seolah ingin mengintimidasi lawan bicaranya. Sudah menjadi pertanyaan bersama di antara para asisten rumah tangga mengenai bersatunya wanita lembut seperti Mawar dengan pria arogan seperti Kris. Bagi mereka, Mawar itu sangat mampu menemukan pria yang lekalau sampbih baik lagi. Perlahan mereka baru tau kalau meski b******n, Kris masih paham mana wanita yang patut dipertahankan, mana yang hanya perlu dinikmati lalu ditinggalkan. “Siapkan kolam, saya sama Mawar mau berenang. Jangan ada sampahnya. Saya nggak suka.” Inah yang tadi sudah melangkah menuju dapur, kaget dengan ucapan itu. Saat ia membalikkan badan, majikan prianya sudah hampir sampai di depan pintu kamar. “Untung aku nggak punya penyakit jantung!” sungutnya dengan suara yang pelan sekali. Tentu saja tidak mau pria muda tapi menyeramkan itu marah. *** “Aduh!” teriak Mawar, langsung mengibas-kibaskan tangannya berusaha untuk tetap terapung saat merasa tubuhnya tenggelam. Pikirannya masih tidak fokus, lalu saat ia mulai mendengar suara tawa, barulah perlahan dia sadar kalau dia sedang dikerjai Kris. Mawar berusaha tenang, membiarkan tubuhnya tenggelam lalu mulai berenang ke tepi kolam renang. Belum sampai di tepi, tangan Kris kembali menyeretnya ke tengah, memeluknya erat sehingga Mawar tidak bisa melepaskan diri. Kris tertawa saat mereka telah sampai di tengah koman, dan mengapung, membuat Mawar memukuli lengan pria itu. “Bercanda kamu nggak lucu!” teriak Mawar. Tidak berniat meredakan emosi Mawar, Kris malah memagut bibir yang bergetar itu. Tangannya mencengkram paha Mawar, menuntun istrinya melingkarkan kaki, memeluk pinggangnya. Seperti biasa, Kris selalu gigih mendapatkan yang ia mau. Saat Mawar memundurkan kepalanya, menghindari ciuman pria itu, Kris memajukan tubuhnya, menciumi apa yang bibirnya bisa dapatkan. “Percuma aja kamu ngelawan, ujungnya sama aja,” ucap Kris penuh percaya diri. “Pemaksa!” gerutu Mawar, mulai berhenti melawan karena situasi memang tidak menguntungkan baginya. Daripada semakin banyak air yang ia telah, ia memasrahkan diri dicumbui Kris. Pada akhirnya, setelah pria itu puas, dia akan berhenti sendiri, batin Mawar. Selesai bermain air, Kris mengajak Mawar makan siang. Mawar yang masih kesal memilih berjalan duluan. Hidup mereka memang tidak pernah cocok. Wanita yang pantas bersanding dengan Kris ya yang senakal Nita. Yang sanggup bercinta di tempat umum, bermesraan di depan siapa saja, dan berpakaian minim kapan saja. Kris suka sekali pamer kalau ia habis bersetubuh sedangkan Mawar malah merasa malu. Seperti sekarang ini, Kris mengajaknya melakukan itu di kolam renang. Asisten rumah tangga bisa saja melihat mereka, apalagi Kris tidak menutup pintu penghubung ruang dalam dengan area kolam renang. “Aduh!” Karena kesal, Mawar berjalan dengan langkah cepat sehingga matanya tidak menyadari kalau di depannya, lantai satu tingkat lebih tinggi. Tubuhnya terjatuh, handuk yang membungkus tubuhnya melorot, membuat Mawar dengan segera menangkap handuk itu agar setidaknya masih menutupi dadanya. “Makanya pelan-pelan. Jalan udah kayak dikejar setan!” omel Kris, menarik Mawar lalu menggendongnya seperti menggendong anak kecil. “Iya, dikejar setan. Setannya kamu!” sungut Mawar, memilih menempelkan wajahnya di bahu Kris. Kris menggendongnya tanpa membenarkan posisi handuknya, belum lagi kakinya yang mengangkang memeluk Kris agar tidak terjatuh, sudah pasti akan sangat memalukan jika asisten rumah tangga mereka melihatnya. “Jangan lancang sama suami,” ucap Kris, mendudukkan Mawar di kursi meja makan. Setelah di dudukkan, Mawar segera berdiri. Dia membenarkan posisi handuknya. Kris memang benar-benar tukang pamer, pantang tidak memperjelas kalau mereka baru saja melakukan sesuatu termasuk pada asisten rumah tangga mereka. Padahal tidak sampai sepuluh menit untuk ke kamar dan memakai baju, tapi Kris melarang Mawar dengan alasan pria itu sudah terlalu lapar. Lagi pula, kalau Kris memang ingin bercinta, kan bisa di kamar saja. Tadi dia menggendong Mawar dari sofa ke kamar, lalu dengan iseng menggendong dan menceburkannya ke kolam renang. Kan sinting! *** Sabtu dan Minggu, hanya dua hari tapi terasa lama sekali bagi Mawar. Dia sudah tidak sabar menunggu Kris pergi dari rumahnya. Mereka sedang duduk santai di sofa, sama-sama sibuk dengan ponsel masing-masing. Mawar sibuk chat dengan teman dunia maya-nya, sedang Kris sibuk ber-chat ria dengan Nita. Mawar tau karena tadi saat berdiri hendak mengambil minum ke dapur dan kembali lagi ke sofa, ia melihat sekilas tampilan layar Kris. Nita itu pintar. Dia itu sempurna. Tubuh sexy, wajah cantik, Rahim subur, suara menggoda, gerak tubuh menggairahkan. Perpaduan sempurna untuk seorang wanita. Dia juga humoris dan enak diajak bicara-sepertinya. Mawar sering mendapati Kris berbicara dengan Nita di ponsel, dan tampaknya Kris sangat senang melakukannya. Sekarang ini pun wajah Kris terlihat santai, dan senyum beberapa kali tersampir di wajah pria itu. Sedangkan denganku, dia lebih sering berbuat jahat! Keluh Mawar dalam hati. Padahal semua lebih mudah kalau mereka bercerai saja. Dasar pria egois, batin Mawar, melepas tidak mau, setia tidak mampu. Meski ia mungkin memang tidak subur, pasti ada di luar sana pria yang sudah menduda dengan beberapa anak sehingga mau menjadikannya istri meski tidak akan ada anak di antara mereka. Pria yang lebih bisa menjaga sikap, hati, dan tubuhnya. Mawar bertekad menunggu Kris bosan, tapi pria itu sepertinya memang tidak akan bosan. Mungkin Nita tidak pernah menuntut status hukum sebagai istri dari Kris sehingga pria itu tidak menceraikan Mawar. Pasalnya, Mawar selalu berkata jika tidak masalah ia bukan menjadi wanita Kris satu-satunya, tapi harus menjadi istri satu-satunya. Kris menikahi wanita lain maka Mawar siap melakukan apa saja untuk berpisah, termasuk dibuang dari keluarga, menjadi gembel, atau bahkan kehilangan nyawanya. Katanya, dimadu itu status paling hina yang tidak bisa ditanggungnya. “Selasa aku ke Batam.” Mawar menoleh. Karena setelah mengumumkan itu Kris kembali menekuni makan siangnya, tidak terlihat seperti akan berbicara lagi, juga membutuhkan jawaban, Mawar hanya mengangguk pelan lalu melanjutkan makannya. “Aihh,” ringisnya ketika beberapa potong lauk diletakkan di piringnya. “Makan yang banyak, biar nggak kurus kayak sekarang.” Mawar menggerak-gerakkan mulutnya kesal tapi tidak membantah. Malas berdebat. Kris itu selalu benar, jadi orang lain sudah pasti selalu salah. Kurus? Yang benar saja. Mawar menyukai tubuhnya yang sekarang. Serba pas. Kalau ia tambah gendut, paling Kris nantinya akan mengeluh kalau badannya berat sehingga membuat pinggang Kris sakit saat menggendongnya. Lagi pula, sejak kapan Kris menyukai perempuan gendut? Tidak pernah. Daftar wanita yang pernah menjalin hubungan dengan Kris semuanya bertubuh minim lemak, meski sebagian dari mereka bengkak di bagian-bagian yang tentunya semakin membuat tubuh mereka terlihat menggoda. “Jangan lupa packing bajunya untuk seminggu.” “Seminggu? Lama banget.” “Berangkat Selasa, selesai kerja Kamis. Nanggung, dilanjut aja sampai Minggu.” Mawar hanya ber'oh' tanpa suara. “Eh, tapi ... kok bilangnya ke aku? Ke Nita, dong,” ucapnya lagi. “Aku berangkat dari sini.” “Hah?! Kamu nggak pulang? Kok gitu?” “Jangan jelas banget nggak sukanya aku di sini!” Kris menjepit hidung Mawar kuat, membuat wanita itu mengaduh lalu menepis tangan Kris kasar. “Makin lama kamu makin kasar sama aku. Aku nggak suka.” Mendengar itu, Mawar menghentikan sungutannya. Meski membenci Kris, bertekad untuk tidak terbawa perasaan apa pun yang terjadi, hati Mawar merasa tercubit ditegur halus seperti itu. Apa mungkin Kris selama ini sebagai seorang istri Mawar memiliki banyak kekurangan? Apa mungkin itulah kenapa Nita yang dipilih Kris menjadi wanita simpanan resminya? Karena wanita itu bisa menyenangkan Kris lebih baik? Apa mungkin Mawar memang tidak pantas menjadi seorang istri? “Malah melamun! Makan!”Kris kembali menambah isi piring Mawar. Dan sepanjang sisa hari itu Mawar lebihpendiam, sibuk dengan pikirannya sendiri.   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD