Part 3

1869 Words
Akhirnya hari Selasa pun tiba. Mawar yang semakin kesal dengan Kris setelah pria itu menyerahkan tugas mengemas pakaian untuk keluar kotanya pada asisten rumah tangga, menyambut pagi itu dengan ceria. Kris akan pergi dan dia akan kembali terbebas. Malam harinya Mawar menyimpulkan satu hal, bahwa alasan paling masuk akal Kris memperpanjang waktunya di Batam pasti karena dunia malamnya. Mungkin Kris sedang bosan dengan Nita sehingga dia menghabiskan waktu untuk bersenang-senang. Lagi pula wanita nakal kalau sudah memiliki anak kan memang berkurang nilai jualnya. Sudah jadi ibu-ibu, ejek Mawar dalam hati. “Kok belum mandi?” tanya Kris yang baru saja selesai olahraga dari ruang fitness. Pria itu hanya mengenakan kaus dalam tanpa lengan kebesaran dengan handuk melingkar di lehernya. Rambutnya ia ikat di belakang, yang hanya mampu menjangkau sedikit bagian rambutnya saja, sedangkan sisanya menjuntai berantakan. Mawar yang sedang duduk melamun di sofa yang terletak di depan jendela langsung melebarkan bibirnya, jenis senyum yang tidak bisa ia tahan saat ia sedang berpikiran licik. “Kamu mau mandi, 'kan? Aku siapin air hangat, ya?” Mawar turun dari kursi, langsung melangkah ke arah kamar mandi. Saat sudah menginjak lantai kamar mandi, Mawar menyadari kebodohannya. Kris tidak berkata ia ingin berendam, bisa saja pria itu malah ingin mandi biasa saja. Mawar membalikkan tubuhnya dan spontan memundurkan tubuh bagian atasnya saat melihat sosok Kris tepat di hadapannya. “Kamu!” geram Mawar hendak marah, tapi saat mengingat ini adalah hari terakhir suaminya tercinta itu di rumah, senyumnya kembali terbit. Dalam hati ia merapal, harus sabar, kalau tidak semuanya bisa runyam. Bukan Kris namanya kalau tidak bisa merusak hari seseorang. “Kamu mau berendam atau enggak? Tadi lupa nanya,” ucap Mawar lembut. Alih-alih menjawab, Kris malah menutup pintu kamar mandi, dan menguncinya. Membuat alarm di kepala Mawar langsung bekerja. “Loh, kok?” tanya Mawar gugup. “Kamu bisa terlambat loh. Dari sini ke bandara itu lama. Kamu ...” Semua kata-kata Mawar tidak ada artinya karena seperti biasa, Kris selalu melakukan apa yang ia mau. *** “Pakai ini.” Kris mengeluarkan satu gaun dari lemari dan menghempaskannya di ranjang. Mawar yang sedang mengeringkan rambutnya melirik pakaian itu lalu mengerucutkan bibirnya. Selera berbusana Kris untuk dirinya sendiri memang bagus, tetapi untuk wanita, jelek sekali. Berarti selama ini Nita berpenampilan menarik, itu karena seleranya sendiri, tidak pernah dipilihkan pakaian oleh Kris, batin Mawar. Atau Kris memang tidak peduli apa yang simpanannya itu kenakan karena bagi Kris yang penting itu adalah momen di mana Nita tidak mengenakan apa pun sama sekali? Dasar m***m! “Udah, nggak usah kering-kering banget. Ganti baju.” Kris mencabut colokan hiar dryer lalu menarik Mawar agar berdiri. “Kalau kamu mau pergi ya pergi aja. Kalau ngantar ke depan kan pakai handuk aja juga bisa!” sungut Mawar. “Kamu ikut ke bandara,” jawab Kris santai, mulai mengenakan pakaiannya. Mulut Mawar ternganga, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Sebenarnya apa yang Kris inginkan? Diantar ke bandara? Luar bisa! Mawar menahan keinginannya untuk menjambak rambut Kris dan memukuli kepala pria itu, agar otaknya kembali normal. Rasanya orang waras tidak akan berbuat semenyebalkan Kris. Mengenakan pakaian yang Kris pilihkan, merias wajah malas-malasan, dan menghabiskan waktu di jalanan menuju bandara dalam diam, adalah bentuk perlawanan dari Mawar. Sadar diri kalau melawan secara terang-terangan, ia akan kalah. Kris mengerti bagaimana melumpuhkan seseorang sampai seseorang itu akhirnya harus melakukan apa yang Kris mau dengan cara yang lebih menyebalkan. Mawar mengenangnya. Dulu, sewaktu ia marah besar pada Kris, mereka memang hampir bercerai. Dia sudah amat sangat muak, saat itu. Kris dengan sisi flamboyannya, tidak lagi bisa Mawar tolerir. Dia membuat skandal dengan sekretarisnya sendiri. Dengan muak, Mawar melabrak sekretaris itu, berbuat anarkis dengan melakukan serangan fisik di kantor, yang membuat adegan pelabrakan itu menjadi tontonan semua orang. Kris tentu saja menahannya, menariknya, mengultimaltum untuk menghentikan amukannya. Sepulang dari kantor itu, Kris berjanji akan menyudahi hubungannya dengan si sekretaris itu, memecatnya, dan tidak akan pernah menemuinya lagi. Hanya orang bodoh yang percaya, dan berita pertengkaran Mawar dengan selingkuhan Kris sudah terlanjur sampai ke keluarganya. Mawar bertambah malu. Dia sengaja memancing amarah Kris dengan terus melawan pria itu. Menahan rasa takutnya saat Kris mengamuk karena tau pria itu tidak akan pernah menyiksanya secara fisik. Saat itu ia masih percaya meski b******n, Kris sangat membutuhkannya. Luar biasanya, saat itu Kris mengabulkan permintaan berpisah yang Mawar layangkan. Pria itu menarik semua sahamnya, juga menyudari semua kerjasamanya dengan perusahaan keluarga Mawar. Sialnya, hal itu membuat citra perusahaan keluarga merosot drastis. Keluarga Mawar hampir pasti akan jatuh bangkrut. Lalu, saat itu, wanita yang paling Mawar sayangi di dunia ini jatuh sakit. Bukan karena tidak siap miskin karena ibu Mawar bukan wanita mata duitan, tetapi karena ibu Mawar tidak sanggup melihat suaminya pontang-panting berusaha mempertahankan eksistensi perusahaan. Tidak disalahkan, tapi Mawar merasa bersalah. Dia tidak ingin keluarganya tersiksa. Dia tidak rela melihat ibunya merana karena sisi sentimentilnya. Berjanji pada diri sendiri bahwa ia hanya perlu bertahan sebentar lagi, malam itu Mawar membujuk Kris untuk berbaikan. Flashback Kris masuk ke dalam kamar dengan langkah sempoyongan. Dia minum, itu sudah pasti. Sedang tidak stress saja dia suka minum, apalagi saat Mawar membuat masalah seperti ini. Mawar menggigit bibirnya, menguatkan diri untuk mengalah, meski dia tidak merasa salah. Dia butuh menjadi istri Kris beberapa bulan lagi, setidaknya sampai papanya memiliki tabungan yang cukup untuk membeli kebun. Kata kerabat Mawar, kebun lebih menjanjikan dibanding usaha. “Kamu udah pulang?” Mawar menghampiri Kris, memeluk pria itu meski tidak mendapat balasan. Mawar tau, Kris pasti marah besar padanya. Marah karena ia berani setegas itu meminta cerai. “Kamu mau mandi? Aku siapin. Atau, kamu mau s**u? Kepalanya sakit nggak?” Kris menatapnya dengan mata memicing, seolah mempertanyakan sikapnya yang berubah begitu cepat. Merasa salah tingkah, Mawar melepas pelukannya lalu menuntun Kris untuk duduk. “Aku buatin kamu s**u, ya. Kamu ... mandi aja dulu.” Mawar keluar kamar, segera ke dapur dengan perasaan yang tidak karuan. Sungguh ia sangat mata duitan, rela menekan semua kata hati dan pikirannya demi keamanan finansial untuk keluarganya. Kris dan tabiatnya memang tidak akan pernah berubah. Pria itu sadar banyak wanita yang menginginkannya, berusaha mendapatkannya dengan cara nista, dan ia menikmatinya. Mawar memasuki kamar sambil membawa gelas berisi s**u hangat. Kris sudah duduk di ranjang dengan punggung beralaskan bantal. Menatap Mawar dengan pandangan kosong. Memaksa bibirnya tersenyum, Mawar mendekati Kris. Menyodorkan gelas s**u pada Kris, tapi pria itu diam saja. “Susunya diminum, nanti kalau udah dingin nggak enak,” ucap Mawar mengambil tangan Kris dan meletakkan gelas itu di tangannya. Dengarn segera, Mawar memutari ranjang dan menaikinya. Menarik selimur sampai ke atas d**a lalu memejamkan matanya. Setelah agak lama suasana masih sangat hening, Mawar membuka matanya sebelah, mengintip Kris. Pria itu masih duduk dengan tangan menggenggam gelas s**u yang belum berkurang sedikit pun. “Kok susunya nggak diminum? Aku udah capek-capek buatin loh, ke dapur malam-malam begini,” keluh Mawar. Dia mengubah posisi mengikuti Kris, duduk bersandar di punggung ranjang. “Kenapa kamu ngelakuin ini?” tanya Kris tanpa menoleh. “Ngelakuin apa? Kamu minum, ya aku kasih s**u biar berkurang sakit kepalanya. Kalau kamu nggak mau, biar aku aja yang minum. Mubazir, tau!” Mawar hendak mengambil, tetapi tangan Kris menggenggam gelas s**u itu erat. Pria itu kemudian menoleh dengan pandangan marahnya, tatapan mata yang selalu Mawar hindari, apalagi saat dia sedang bersiasat seperti ini. “Oh, kamu mau minum. Ya udah, kirain tadi nggak mau.” Mawar kembali ke posisi hendak tidur. Memaksa diri tetap berbaring telentang karena posisi memunggungi hanya akan merusak rencananya, bisa jadi diartikan Kris sebagai kelanjutan permintaan cerainya. “Jangan berbuat baik setelah kita akan bercerai, Mawar. Itu Cuma buat aku jadi bingung.” “Kamu ngomong apa sih? Ngawur. Mending kamu minum susunya sampai habis, terus tidur. Udah malam. besok kamu harus kerja.” “Kenapa kamu perhatian? Bukannya kamu udah nggak peduli sama aku?” Mawar merasa sesak di dadanya karena ucapan Kris seakan menyerangnya, menempatkan kesalahan pada dirinya, padahal yang membuat Mawar mengambil tindakan tegas kemarin itu Kris sendiri. Dia yang suka main perempuan. Dia yang suka tidak dewasa dalam menanggapi masalah. Dia yang suka mengandalkan uang kalau mereka sudah bertengkar, meski memang salah Mawar juga mau termakan ancaman Kris. Tetap saja, harusnya kan Kris yang salah. “Aku tuh serba salah sama kamu. Peduli salah, enggak juga salah. Aku terus yang salah, kamu yang selalu benar. Ini ceritanya kamu yang minum aku yang mabuk karena disalahin terus.” “Aku bukan nyalahin! Memang kamu yang minta cerai dan aku udah bilang oke! Kamu begini, sama aja kamu ngerjain aku!” Ciut karena dibentak, Mawar tidak lagi membantah. Itu tidak akan berhasil. Kris yang sedang marah dilawan dengan amarah, masalah tidak akan selesai. Mawar mendudukkan dirinya, mengambil gelas s**u itu meski agak kesulitan karena Kris masih menahannya. “Kamu minum ya? Susunya udah dingin.” Meski tatapannya masih menuntut penjelasan, Kris membuka mulutnya saat Mawar menyuapkan s**u itu. Setelah isi gelas habis, Mawar meletakkan gelas itu di nakas. “Udah, tidur. Yuk!” seru Mawar menarik tangan Kris agar pria itu menuruti permintaannya. Kris membaringkan tubuhnya, berbaring miring dengan pandangan yang masih terkunci di mata Mawar. “Sebentar lagi kita cerai,” ucap Kris pelan, lebih seperti mengumumkan daripada berkata untuk membahas. “Kamu ngomong apa sih? Nggak baik ngomong cerai malam-malam. Mending tidur. Selamat malam.” Mawar mengecup bibir Kris, memeluk, lalu ia memejamkan matanya. “Jadi kita bahasnya besok pagi?” Kris masih bersuara. Mawar mempererat pelukannya lalu menggeram manja. “Nggak dibahas pagi, siang, sore, malam. Nggak usah dibahas lagi.” “Aku sudah melayangkan persetujuan.” “Tinggal dicabut. Udah, ah, udah malam. Kamu nggak bosan apa, dari tadi ngomong terus?” “Kamu yang buat aku bingung! Kamu ....” Ucapan Kris tidak selesai. Bingung harus bagaimana lagi membungkam suaminya, Mawar mengecupi bibir Kris terus menerus sampai akhirnya kecupan itu berubah jadi lumatan. Malam itu, Mawar kembali menumbalkan dirinya demi kehidupan yang nyaman untuk dirinya dan keluarganya. Mengingat itu, senyuman miris tersungging di bibir Mawar. Sekarang, ia menyadari kalau semuanya memang salahnya. Kalau ia tidak terlena dengan kekayaan orang tuanya dia tidak akan manja. Kalau ia tidak manja, saat orang tuanya bangkrut dia akan baik-baik saja. Kalau ia bisa mandiri, saat orang tuanya bangkrut dia akan bekerja, bukan sibuk mencari pria kaya yang royal terhadap uangnya. Kalau ia bisa tegas, saat tau Kris bukan pria baik, ia akan meninggalkan pria itu. Intinya, semua memang salahnya. Ketidak beraniannya mengambil langkah, membuatnya tertahan pada kondisi yang dibencinya. Sedihnya, meski berkata benci, terkadang ada rasa nyaman yang menyusup ke dalam hatinya akan kehidupannya yang sekarang. Mungkin karena sudah terlalu sering sakit hati, semua jadi biasa saja. Sudah kebal. Salahnya juga tidak bisa hamil, dan dengan gilanya malah mentolerir kalau Kris menjadikan salah satu wanitanya untuk melahirkan anak pria itu. Dia juga yang memberi ide pertukaran posisi, wanita itu pindah ke rumah Kris, dan dia pindah ke tempat lain. Dia lelah menjadi istri, ingin menikmati indahnya dunia para simpanan. Kehidupan di mana tidak ada beban pikiran. Didatangi untuk bersenang-senang, tetap mendapat uang setiap bulan, dan bisa menjalani hidup dengan leluasa. Awalnya berhasil. Hanya saja belakangan ini Kris sudah mulai resek. Dia membuat Mawar merasa seperti simpanan siaga, siap diganggu kapan saja. Datang lebih sering, lebih lama, lebih banyak membuat kesal. Akhirnya, mereka sampai di bandara. Mawar ikut turun dan berjalan di sebelah Kris. Terlanjur mengantar ke bandara sekalian saja ia mengantarkan pria itu sampai ke ruangan check in. “Hati-hati di sana,” ucap Mawar saat Kris sedang menunjukkan tiket di ponselnya pada petugas. “Silakan, Pak, Bu,” ucap petugas itu. Mawar merasa petugas itu salah, hendak meralat, Kris sudah menariknya melalui rangkulan erat di pinggangnya. “Aku kan ngantar sampai sini aja. Aku mana boleh masuk. Aku kan nggak ikut,” ucap Mawar kesal. “Kamu ikut, Sayang. Kita berangkat sama-sama.” “A ... apa?” “Pak, Bu, maaf, tolong jangan menghalangi yang lain ya,” ucap petugas bandara itu dengan nada dan wajah ramahnya. “Kamu tuh ....” Kehabisan kata-kata, Mawar menghentakkan kakinya dan melangkah dengan cepat. Seminggu! Itu artinya selama seminggu dia akan terkurung bersama Kris! Sialan!   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD