Part 4

2337 Words
“Iya. Nanti aku beliin. Aku ke sini juga kerja, kan, bukan mau jalan-jalan. Kalau sempat aku beliin .... Ya di sana kamu kan bisa belanja juga. Belanja online juga bisa.” Mawar hanya melipat tangannya di d**a, sengaja memberi jarak dengan Kris agar tubuh mereka tidak bersentuhan sedikit pun. Dia masih kesal karena merasa dijadikan seperti boneka, diperlakukan semaunya Kris saja. Hatinya yang panas, mendidih saat baru saja mereka sampai di kota Batam, ponsel Kris sudah berdering. Siapa lagi kalau bukan si Nyonya Besar. Nita sepertinya sengaja menunjukkan eksistensinya di depan Mawar, dengan merengek meminta ini dan itu pada Kris, dan Kris dengan nada lembut akan mengiyakan permintaan Nita itu. Nita tidak tau saja Kris memang terlalu royal. Khas lelaki tidak pernah kekurangan uang sedari kecil. Apa pun yang diminta, pasti akan dia berikan, tentu saja kecuali kesetiaan. Pokoknya yang berbau materi, yang bisa dibeli, akan dia belikan. Dulu saja saat mereka baru berpacaran, Mawar langsung diberi kartu debit dan kredit. Lalu Nita berharap dia cemburu saat Kris membelikannya sesuatu di kota Batam ini? Bermimpi. “Oke. Bye.” Akhirnya, batin Mawar. Meski dia lega karena percakapan Kris dan Nita di ponsel akhirnya selesai. Meski begitu dia masih memasang wajah ketusnya. “Di sini memangnya jualan tas branded itu di mana? Ada tempat khusus?” tanya Kris pada supir yang menjempur mereka. “Ya banyak, Pak. Di toko-toko banyak kok yang branded. Mau yang asli sampai kw berapa juga ada di Batam ini.” “Kalau yang bagus di mana?” “Wah, saya juga kurang tau, Pak. Soalnya di sini bagus semua, rasanya. Saya nggak pernah belanja, sih, cuma setau saya setiap toko pasti nyediain yang ori punya.” “Oh, kalau misalkan saya titip uang ke kamu, kamu belikan tasnya, bisa?” Mawar tidak tahan untuk tertawa. Dia merasa geli karena pikirannya ternyata melenceng. Dia pikir Kris akan membelikan pesanan Nita seorang diri, agar kesannya lebih special, ternyata Kris menyuruh orang asing. “Kenapa kamu?” tanya Kris. Mawar semakin memiringkan tubuhnya condong ke arah luar jendela lalu mengangkat kedua bahunya pertanda malas menjawab. “Eh, kamu apaan sih!” geram Mawar saat Kris memepet tubuhnya, merebahkan kepalanya di atas kepala Mawar. Posisi duduk pria itu sudah begitu rapat dengannya, membuat Mawar merasa sesak. “Kris, badan kamu itu berat, tau nggak!” Mawar berusaha mendorong Kris. “Biasanya juga kamu nggak keberatan.” “Ya tapi ini di mobil. Kalau nanti pintunya kebuka, gimana? Aku udah mepet banget ini, ke pintu!” “Pintunya kuat, Sayang. Nggak usah berlebihanlah.” “Berlebihan apa coba? Berat badan kamu tuh berlebihan! Kurus tapi berat, banyak dosa kamu!” Bukannya marah, Kris malah tertawa, membuat Mawar semakin kesal. Sudah malas berdebat, dia membiarkan saja saat tangan Kris menarik tangan kirinya, memain-mainkan jemarinya di telapak tangan Mawar padahal itu membuat Mawar merasa geli. Berusaha mengalihkan perhatian, Mawar memandangi gedung-gedung yang mereka lewati. Membayangkan indahnya jika ia bepergian ke kota lain sendirian, hal yang tidak pernah ia lakukan karena selama ini ia terlalu dipingit. Baik oleh orang tua, juga oleh Kris, suaminya. “Sudah sampai, Pak, Bu,” ucap si supir sopan. “Udah, geser, aku mau buka pintu nih,” ucap Mawar pada Kris. Pria itu tidak bergerak. Mawar menoleh ke samping hendak memarahi Kris, tetapi bibirnya tak jadi berucap saat melihat mata Kris tertutup rapat. Pria itu tertidur dengan mulut sedikit membuka. Membuat Mawar merasa lucu. Keterpanaan Mawar sirna begitu ia dikagetkan suara pintu mobil yang menutup. Supir mereka sudah keluar dan membuka pintu belakang, mengeluarkan koper. “Kris, udah sampe nih,” ucap Mawar sambil memukul paha Kris. “Ck ...” Kris menggumam seperti mengigau, menggeliatkan tubuhnya sebentar lalu kembali menimpakan berat tubuhnya pada Mawar. “Malah tidur! Kris, bangun dong. Udah sampai hotel, nih,” ucap Mawar lagi sambil mencubit paha Kris. “Duh, Ibu, bangunin Bapak suaranya lembut banget, Bu. Gimana Bapak mau bangun, yang ada malah tambah nyenyak,” canda si supir. “Masak suara saya dibilang lembut sih, Pak? Memangnya orang sini suaranya gimana? Bentak-bentak gitu?” tanya Mawar polos. “Ya ... lebih kuatlah dari suara Ibu. Apalagi kalau mau bangunin orang.” Suara kekehan Kris terdengar. Mawar menoleh dan mendapati mata Kris masih terpejam, tetapi bibir pria itu sudah tersenyum lebar. “Istri saya memang gitu, Pak, orangnya,” ucap Kris yang sudah menegakkan tubuhnya. Dia menekan pangkal hidungnya dengan ibu jadi dan telunjuknya. “Wah, Bapak beruntung berarti. Jarang perempuan sekarang yang selembut Ibu.” “Lembut dari Hongkong!” sungut Mawar karena merasa pujian-pujian itu malah merendahkannya. Ia keluar dari mobil dan langsung memasuki lobi. Saat melihat tempat duduk yang kosong, ia segera mengambil tempat. Ia marah. Marah pada kenyataan kalau sampai sekarang, hanya Kris yang bisa menerima sikap kekanakannya, kecuali orang tuanya tentu saja. Sudah berulang kali orang-orang mengatakan padanya kalau ia terlalu manja. Mereka mengeluh, merasa sudah tidak sepantasnya Mawar dengan usianya yang tidak lagi remaja bersikap seperti itu. Mawar sudah berusaha berubah, tetapi karakternya yang sudah terbentuk, jadi meski terkadang ia berusaha bersikap dewasa, ada masa-masa ia kembali menjadi dirinya sendiri, si Mawar yang manja. Kris berjalan ke resepsionis. Koper mereka yang hanya satu buah sudah dibawakan oleh bell boy. Setelah mendapatkan slot kamar, Kris menghampiri Mawar. Sebelum pria itu sampai, Mawar sudah berdiri dan berjalan menuju lift. “Sore ini kita ke mana?” tanya Kris. Mawar mengangkat bahunya. Pertanyaan bodoh, batinnya. Aku belum pernah ke Batam, mana kutau tempat apa yang harus dikunjungi. “Kita seminggu di sini berdua. Kalau kamu seringan angkat bahu begitu, nggak pernah mau bicara sama aku, ya udah kita nggak usah capek basa basi. Di kamar aja terus. Aku tau aktivitas apa yang nggak perlu suara.” Mendengar itu, Mawar langsung menoleh dan membelalakkan matanya, mengirim teguran 'ada orang lain di sini' pada Kris yang langsung mengecup bibirnya. “Makanya jangan merusak suasana,” ucap Kris. Ia melingkarkan tangan di bahu Mawar, menarik Mawar agar menempel ke tubuhnya. “Ya kamu tuh resek. Nyebelin.” Kris hanya kembali terkekeh. *** Hari ini Kris ada rapat. Seperti biasa Mawar tidak diizinkan pergi ke mana pun tanpa pendamping. Akhirnya, dia hanya menghabiskan waktunya dengan berbaring sembari memainkan ponsel, dan tertidur beberapa kali. Kris memang licik. Mawar tidak diberi kesempatan untuk keluar kamar karena pria itu suka menelepon ke telepon hotel, hanya untuk memastikan Mawar masih di kamar. Dipikir Mawar, apa gunanya dia ikut kalau hanya untuk terkurung di kamar. lebih baik di rumahnya, ada asisten rumah tangga yang bisa diajaknya bercengkrama. “Udah jam sebelas,” gumam Mawar. Ia memegang kepalanya yang terasa sakit efek terlalu lama tidur. Kamar itu kosong. Kris belum kembali. Pria itu pasti bersenang-senang sampai lupa pulang. Lupa kalau dia tidak sedang bepergian sendiri, tetapi ada istrinya yang sendirian di kamar hotel. Tidak bisa mentolerir, Mawar mengambil ponselnya dan menghubungi Kris. Tidak diangkat. Lain kali kalau mau senang-senang nggak usah ngajak. Mending besok aku pulang. Setelah mengirim pesan singkat itu, Mawar menonaktifkan ponselnya. Sadar ia belum mandi, Mawar turun dari ranjang dan masuk ke dalam kamar mandi. Dia mengisi bathup dengan air hangat lalu merendam tubuhnya. Masih terlalu malas untuk mandi dengan posisi berdiri. Lagi pula berendam membuat tubuhnya lebih segar, yang membuat kantuknya kembali datang, dan ia tertidur. “Mawar!” Suara teriakan itu begitu jelas membuat Mawar tersentak. Dia kaget. Saat tidak mendengar suara lain lagi, dia menerka-nerka nyata atau tidakkah suara tadi. Mungkin aku terlalu sering memikirkan Kris sampai tidur pun aku masih terganggu dengan suaranya, batin Mawar. Pintu kamar mandi terbuka, menampilkan Kris yang mencondongkan tubuh atasnya, sedang tubuh bawahnya bersandar di balik dinding sebelah pintu kamar mandi. Pandangan mata pria itu menjelaskan sesuatu bahwa pria itu mabuk. “Kamu mandi?” tanya Kris sambil memejamkan matanya, lalu kembali menatap Mawar intens. “I ... iya. Kenapa?” “Ini jam berapa?” “Nggak tau. Di sini nggak ada jam.” Kris terkekeh pelan. Ia masuk ke dalam kamar mandi sambil berusaha melepaskan pakaiannya. Lalu, ingatan Mawar kembali, kalau ia sedang marah pada Kris karena pria itu meninggalkannya sendirian di kamar begitu lama. “Ngapain kamu? Aku udah selesai mandi!” ucap Mawar ketus. Dia harus beranjak dari bathup atau Kris akan mengajaknya bercinta di sana. Dia sedang tidak ingin melakukannya. Tidak di bathup, tidak di ranjang, tidak di mana pun. Dia masih marah. “Sekali aja ...” Kris mengangkat tangannya, mengacungkan jari telunjuknya ke atas. “Sekali aja kamu berhenti jaga jarak dari aku, bisa?” tanyanya dengan kening berkerut. Mawar membuang pandangannya. “Toh waktu aku menjauh, masih banyak perempuan lain yang mendekat. Jadi nggak masalah kan, buat kamu?” ucapnya. Dia menyibukkan dirinya dengan melilitkan handuk ke tubuhnya. “Perempuan lain? Aku bahas kamu! Bukan perempuan lain, istriku!” geram Kris. Mendengar suara Kris yang seperti itu, seperti biasa, ketakutan menguasai Mawar. Kondisi mereka sekarang berbeda. Dulu dia sangat mempercayai Kris, karena meski pria itu terkenal kasar dan angkuh, dia adalah kekasih yang royal dan terlihat mencintai Mawar. Sekarang saat hubungan mereka merenggang, juga bahwa pria itu memiliki wanita lain dalam hidupnya bahkan ada anak di antara mereka, dia sadar bahwa arti dirinya di dalam hidup Kris tidak begitu besar lagi. Sewaktu-waktu bisa saja Kris khilaf karena sudah terlalu emosi. Situasi sedang tidak menguntungkan, mereka hanya berdua di kota asing. “Udah malam. Bagusnya kita tidur. Besok kamu masih ada kerjaan kan? Kita tidur aja.” “Lari lagi, heh?” Kris menangkap tangan Mawar lalu menariknya kuat hingga tubuh Mawar terhempas menghantam tubuh pria itu. “Memangnya kamu nggak capek lari terus, padahal kamu tau kalau tempat kamu Cuma satu?” “Siapa yang lari? Ini aku jalan, pelan-pelan, mau ke ranjang. Mabuk kamu tuh!” geram Mawar berusaha melepaskan diri. “Makanya jangan mabuk, biar pikiran kamu nggak melantur!” “Kamu yang melantur!” teriak Kris, membuat Mawar memejamkan matanya kuat. Dia sudah berhenti berusaha melepaskan cengkraman tangan Kris, takut pria itu semakin marah. “Setiap hari kata-kata kamu selalu ngawur! Selalu mancing emosi aku padahal kamu tau aku bukan orang yang sabar!” “Ya ...” Mawar berusaha keras untuk tidak menangis terisak-isak, meski bulir bening itu tetap menetes begitu saja. “Ya kamu makanya jangan nahan aku, dong, kalau tau aku begini. Aku ngawur, kekanakan, mandul, apa lagi? Ya, kamu pilih aja perempuan yang nggak suka mancing emosi kamu. Selesai, kan?” ucap Mawar dengan suara pelan. Selain karena dadanya yang sudah terlalu sesak karena ingin menangis kencang, ia juga menjaga intonasinya agar tidak terdengar nyolot. Berusaha untuk tidak menjadi pihak yang salah. “Siapa yang bilang kamu mandul? Masalah itu harusnya nggak diungkit lagi karena aku udah punya anak! Aku pernah minta kamu hamil? Enggak! Nuduh kamu mandul pun enggak! Kamu yang selalu cari masalah, Sayang. Kamu yang selalu buat semuanya ribet.” “Ya ... kamu cari aja perempuan yang nggak ribet!” Mawar kaget saat Kris menghempaskan tangannya yang tadi pria itu cengkram. “Aku bisa melakukan itu. Amat sangat bisa. tapi harus tetap ada kamu di antara mereka. Kalau kamu pikir dengan adanya mereka, aku akan melepaskan kamu, kamu salah. Nggak akan semudah itu lepas dari aku, setelah kamu tidak mengambil kesempatan itu. Dulu kita pernah hampir bercerai, lalu kamu sendiri yang membatalkannya. Dulu kita batal bercerai karena uang, dan sekarang uangku sudah bertambah banyak. Bertahanlah untuk itu, kalau memang kamu sudah terlalu muak dengan aku!” “Aku udah nggak matre lagi!” geram Mawar. Sebenarnya dia membenarkan ucapan Kris, bahwa ia wanita mata duitan, karena selama ini dia selalu memanfaatkan Kris untuk menjamin kenyamanan hidupnya. Tapi bukan berarti dia tidak berperasaan. Dia pernah menaruh kepercayaan dengan memberikan hatinya seratus persen pada pria itu, tapi Kris yang perlahan memudarkan kepercayaannya, hingga sekarang, saat hatinya masih terukit nama Kris, Mawar sudah berkeras bahwa tidak boleh melibatkan perasaan dalam hubungan mereka. “Oh ya? Lalu sekarang kamu wanita yang seperti apa? Heum?” tanya Kris memajukan tubuhnya, membuat Mawar tertekan oleh aura pria itu. “Yang jelas bukan seperti wanita yang tadi kamu jumpai di klub malam!” geram Mawar sambil melirik kerah kemeja Kris yang bernoda merah. Dia sudah berusaha keras tidak mengungkitnya dari tadi, tetapi akhirnya terucapkan juga. “Aku nggak ketemu siapa-siapa di sana. Aku Cuma bahas kerjaan!” Kris berkeras. “Halah, kerjaan apa yang dibahas di tempat penuh manusia b******k begitu? Mau ngomong aja suka nggak kedengeran!” “Itu bagian dari kerjaan, Mawar! Kamu tau dari dulu aku memang suka ke tempat hiburan dengan klien. Itu bagian dari cara kerja kami!” “Ya udahlah, nggak usah dibahas. Kerjaan kamu memang begitu, pakai hiburan plus-plus juga termasuk bagian dari pekerjaan kan? Termasuk dalam bonus pemulus kerja sama? Kenapa nggak kamu tinggalin aja aku di rumah? Kan udah ada perempuan dari kerjaan itu?!” “Perempuan mana? Ha? Perempuan mana?!” “Yang tadi cium-cium leher kamu, lah!” Tidak sadar, Mawar sudah meninggikan suaranya. Dia sudah terlalu muak dengan Kris yang bertingkah seolah dia tidak bersalah. “Cium leher aku?” Kris mengerutkan keningnya lalu berusaha melihat lehernya. Dengan langkah tergopoh ia menghampiri cermin di atas wastafel. “Sialan!” geramnya. Mawar melipat tangannya di d**a lagi, merasa menang karena Kris sudah sadar dengan bukti tak terelakkan itu. “Tadi ...” Kris sudah membalikkan tubuhnya menghadap Mawar. Satu tangannya berkacak di pinggang dan satu lagi memegang kepalanya. Matanya terpejam seolah ia merasa kesakitan. “Tadi memang ada perempuannya. Biasalah ... kan memang begitu. Cuma ... aku memang nggak ada make perempuan itu. Aku ... aku masih cukup sadar kalau aku lagi sama kamu. Tujuan aku bawa kamu ke sini juga buat teman aku, buat muasin aku, jadi nggak mungkinlah aku make perempuan begitu.” Oh, jadi aku dibawa memang untuk memuaskan dia? Dasar b******k! Maki Mawar dalam hati. “Terus kalau nggak ada aku, kamu pake, gitu? Kamu tuh udah tambah tua tapi nggak mikir efeknya suka gonta ganti perempuan itu apa! Kamu bisa aja tertular penyakit, terus nularin penyakit itu ke aku, ke Nita juga. Kamu juga udah punya anak, sekarang! Kamu nggak mikir kalau anak kamu bakalan malu punya ayah yang suka main perempuan? Ha?!” “Di antara semua yang kamu sebutkan, aku Cuma mau tanya, kenapa kamu bicara seolah udah mengijinkan aku sering main perempuan asal aman?” Mawar merasa terancam saat Kris melangkah mendekat dengan begitu perlahan, seolah sengaja menunjukkan kekuasaannya. Mawar tidak menjawab. Ia memilih melangkah keluar kamar mandi, meski pada akhirnya ia sadar ia tidak akan bisa pergi. “Aku ... aku Cuma udah bosan!” teriak Mawar sambil mengibaskan tangannya. Takut Kris akan melakukan sesuatu sehingga ia perlu membela diri. “Bosan apa?” “Ya ... bosan melarang kamu main perempuan! Memangnya bosan apa lagi?” “kamu nggak pernah larang, Sayang. Kamu nggak pernah sungguh-sungguh waktu melarang aku.” Lagi, Kris melangkah mendekati Mawar. “Pernah!” tangkis Mawar. “Kamu aja yang nggak pernah mau dengar.” “Kalau begitu, larang aku sekarang, akan kudengarkan. Tapi jangan melangkah menjauh, karena itu Cuma buat aku kehilangan kewarasan. Jangan salahkan aku atas hal-hal yang kemarin kamu tolerir, Sayang. Dan jangan pernah jadikan Nita dan anaknya untuk merajuk karena kamu yang sudah memberikan izin. Jangan jadikan itu alasan untuk pergi, karena kamu tau imbasnya seperti apa, untuk kita semua.” Selesai mengatakan itu, Kris menarik Mawar lalu memeluknya erat. Sangat erat sampai Mawar merasa sesak. Dia merasa ngeri dengan Kris yang sedang seperti ini. Sangat jarang Kris melawan amarahnya. Biasanya pria itu akan diam saja, atau meninggalkannya dan datang lagi saat emosinya mereda.   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD