B A B • 8

1042 Words
Arslan begitu antusias menangkap bola yang dilempar oleh papanya. Tidak bisa melakukan permainan sederhana ini dengan baik, bocah berusia 5 tahun itu lebih sering berlari mengejar bola dengan kekehannya yang tanpa beban. “Sebentar, ya, Nak.” Sang papa pergi, dengan membawa HP di tangannya. Arslan menendang-nendang bola, bermain sendiri. Menjadikan dunia seolah milik sendiri tanpa ada yang mengganggu. Tidak ada teman, tidak ada penjaga. Halaman depan rumahnya terlalu luas untuk anak pendek itu. Hingga tiba pada sebuah tendangan, bola itu menggelinding menghampiri pintu gerbang depan. Ia berlari penuh semangat mendekati bola tersebut. Saat Arslan merunduk, bola lain dengan warna cerah menarik matanya dari luar gerbang rumahnya yang menjulang tinggi. Ingin meminta bantuan sang papa untuk mengambilkan, tetapi pria dewasa itu tidak berada dalam jangkauan matanya. Maka, Arslan menarik-narik gerbang yang tiba-tiba saja terasa mudah terbuka oleh lengan kurusnya. Dia semakin bersemangat menghampiri bola cerah itu. Ketika menunduk hendak memungut, sesuatu menyergap tubuh kecilnya dari belakang. Menutup separuh wajahnya sehingga menghalangi suara keluar, dan pasokan oksigen masuk dalam dadanya, juga sebuah tekanan berat di depan mulutnya sehingga Arslan tidak bisa berteriak, kecuali hanya mengeluarkan dengung kecil. Seluruh anggota tubuh Arslan bergerak otomatis melakukan pemberontakan. Menendang sembarangan, menjerit tertahan, atau menggelengkan kepala, tetapi tidak ada yang berhasil. Ia sangat mudah diangkat oleh orang asing itu, menuju mobil hitam yang terparkir samping rumahnya. Arslan dilempar tanpa perhitungan masuk ke belakang mobil. Bocah yang wajahnya sudah basah oleh tangis itu mencoba berteriak, tetapi berakhir dengan pukulan keras mendarat di kepalanya. “DIAM!” Arslan luruh, ketakutan di sudut mobil. Ia sedikit mengangkat kepalanya, melirik pria berpakaian serba hitam dari ujung kaki hingga rambut menyisakan tiga lubang di bagian tersebut. Ia sesak. Tekanan dalam hatinya perlahan muncul saat pintu belakang mobil dibanting keras, ketika mobil mulai bergerak. Ia terisak dalam diam, menekan semua pekikannya dalam hati, melirik depan rumahnya yang mulai dijauhi. Mata Arslan berkabut oleh air mata yang tidak pernah berhenti turun. Hingga, mobil berhenti. Arslan semakin meringkuk dan memeluk lututnya sendiri sebagai pertahanan terakhir dari anak kecil berusia 5 tahun. Namun, itu tidak memberikan pertolongan sedikitpun. Pria bertubuh kekar itu dengan mudah memanggul Arslan dengan mudah di pundaknya, membawa masuk ke sebuah rumah kumuh tak terawat. Tidak jauh berbeda saat diletakkan di mobil tadi, Arslan hanya dijatuhkan begitu saja hingga bocah itu merasakan kesakitan di seluruh tubuh. Namun, ia tidak bisa berlama-lama meratapi sakitnya. Arslan mengesot mundur menjauhi dua pria yang berpakaian serupa tersebut : kaus hitam, celana hitam, dan penutup wajah yang menyisakan kedua matanya saja. d**a bocah itu naik-turun dengan cepat saat rasa takut itu mulai menjalari tubuhnya secara perlahan. Memberikan gemetar dan hawa dingin yang kentara. Ia melirik sekitar mencari perlindungan, tetapi tidak ada yang bisa membantu Arslan atau tempat untuk menjauh, ketika salah satu dari pria bertopeng kain hitam itu mengambil sebatang kayu seukuran jemari orang dewasa. Arslan terus mundur, menghindar meski tidak bisa; menggeleng beberapa kali sebagai permohonan penolakan bersama air mata dan isakan yang tidak berhenti keluar. Sementara pria itu kian maju perlahan, dengan matanya yang memicing tajam. Mengangkat tinggi-tinggi kayu di tangannya, lalu secepat kilat diayunkan turun ke bawah. Arslan tersentak dan bangun seketika. Napasnya memburu dengan cepat, bahkan ia sendiri sampai kewalahan mengaturnya. Arslan memejamkan mata erat, kemudian memijit pangkal hidungnya. Mencoba menghilangkan sensasi kejutan yang membuat jantungnya berdebar kencang. Mimpi ini sudah hilang sejak dulu, setelah ia susah payah terapi bertahun-tahun. Namun, muncul lagi setelah kejadian tadi pagi. Saat Arslan bertemu Alisha. Sial. Arslan meneguk ludah dengan kasar. Ia butuh pelampiasan, dan tidak ragu menyapu isi meja kerja yang berdekatan dengan tempat tidur dengan satu gerakan lengan. Padahal pertemuannya dengan Alisha tadi hanya beberapa detik. Bahkan kurang 30 detik, karena Arslan langsung lari masuk ke mobil, tetapi efeknya masih ada hingga sekarang. Bahkan, ia mungkin perlu konsultasi dengan psikiater lagi agar tidak mimpi buruk seperti sekarang. Seolah semua hasil terapi kemarin tidak berguna begitu saja, karena mau tidak mau, Arslan harus memulainya dari awal lagi. “Kamu bangun, Arslan?” Suara jernih dari balik tembok terdengar, memancing kesal Arslan untuk semakin memuncak. Ia memicingkan pandangan ke arah tembok pemisah mereka. “Kamu diam!” Arslan menyentak perempuan itu dengan suaranya yang tegas dan keras. Lalu, hening, sesuai permintaan Arslan. Ia bergerak turun dari tempat tidur ke kursi kerjanya. Meraih tas yang tadi jatuh dari atas meja, hanya untuk mengeluarkan sebungkus rokok. Sembari menyelipkan benda sepanjang 9 senti itu di bibir, Arslan melirik jam dinding. Pukul 2 dini hari. Pemantik api diambilnya dari laci meja, menyalakan rokok hingga berasap. Menghisap asap dari batang rokok hingga pipinya kempot, lalu mengembuskannya dengan kasar ke udara. “Kamu ngapain keluar rumah tadi?” tanya Arslan dengan pandangan lurus ke depan. Ia menunggu jawaban sembari menenangkan diri dengan rokok. Mengulang kegiatan hisap-keluarkan beberapa kali. “Aku mau ke pasar. Kan sesuai peraturan, kamu nggak boleh keluar sebelum waktu kamu. Ah, ya, kamu juga langgar aturan nomor 1. Kamu nggak pulang semalam," jelas Alisha. “Apa kamu pikir aku peduli sama aturan omong kosong kamu itu sekarang?” Arslan mengisap rokok kuat-kuat, lalu mengembuskan asap ke arah tembok, yang malah kembali ke wajahnya sendiri. Ujung rokok dijentik oleh ujung jari, sehingga sisa pembakaran jatuh ke atas meja. “Ya itu karma buat kamu sendiri karena melanggar aturan. Coba inget-inget kemarin. Hidup kamu nyaman sentosa selama patuhi aturan.” Sial. Arslan mendengkus kesal, dan melampiaskannya dengan isapan rokok yang bertambah kuat, sehingga mulutnya penuh dengan asap. Setelah merasa cukup, ia baru membuka mulut, membiarkan asap pekat itu berbaur dengan udara sendiri. “Jadi, sekarang apa?” tanya Arslan setelah beberapa menit saling diam. Dia menoleh sinis ke arah tembok. “Kamu mau buat aku miskin sekarang?” “Nggak.” Alisha menjawab cepat. “Aku pikir yang kamu alami sekarang jauh lebih buruk dari hukuman yang aku janjikan.” FUCK! Arslan mematikan rokoknya secara kasar di atas meja. “Jadi, Arslan, mulai sekarang, patuhi aturan. Karena hukumannya bakalan balik ke kamu sendiri.” Perempuan itu diam sejenak. “Kamu mau aku kenalin ke temen aku yang psikiater?” Alisha sepertinya terlalu peduli dengan suaminya, tetapi malah terdengar seolah mengejek di telinga Arslan. “Nggak perlu!” Arslan berdiri dengan kasar menimbulkan derit kursi nyaring. Ia membanting tubuhnya di atas tempat tidur dengan posisi telentang. Arslan ragu bisa tidur hingga pagi sekarang. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD