Kehamilan Vania

1010 Words
"Oh seperti itu. Tapi seandainya nanti kamu ketemu lagi dengan mantanmu itu setelah menikah dengan Vania, apakah akan ada acara CLBK? Karena sepertinya kamu masih memendam rasa padanya," tanya suamiku lagi. "Hahaha, tidak lah Mas. Aku bukan orang yang suka memungut mantan. Apalagi sekarang dia pasti sudah tua kan, tak mungkin aku berpaling karena sudah ada Vania ini. Jangan khawatirkan masalah itu," katanya. "Iya ih. Mas Ridwan ini, ada ada aja deh yang di tanyakan. Kami ini sudah saling cinta. Dan pokoknya, aku ingin secepatnya menikah dengan Mas Adit, titik. Plisss ya Mas, Kak. Kalian sayang padaku kan?," rengek Vania. Entah mengapa ada perasaan tidak srek dalam hatiku merestui pernikahan mereka. Bukan karena aku masih memiliki rasa pada Rama, tapi aku merasa akan banyak hal buruk dibelakang dan Rama sedang memainkan drama untuk mencapai suatu tujuan. Tapi saat melihat Vania merengek seperti itu, aku tak akan tega, dan tak mungkin juga aku menceritakan masa laluku dengan Rama. "Aku sih terserah kamu saja deh Van. Yang pasti menikah adalah suatu keputusan besar dalam hidup, jadi harus dipikirkan matang matang. Kalau menurut kamu bagaimana Dek?" tanya suamiku. Aku yang masih menunduk sambil melamun, kaget ketika suamiku memegang tanganku. "Kamu nglamun atau ngantuk sih Dek? Bagaimana menurutmu dengan pernikahan mereka?" tanya suamiku lagi dengan lembut. "Eh maaf, iya Mas aku ngantuk sekali, hehehe. Kalau aku sih terserah Vania saja deh Mas." jawabku. Sepulangnya Vania nanti, aku akan menceritakan pada Mas Ridwan tentang hubunganku dulu dengan Rama. Agar dibelakang nanti tak ada ganjalan.  "Yeay. Berarti semua setuju kan. Tuh Yank semua setuju. Kapan nih kamu melamarku dan menikahiku?" Vania terlihat sangat bahagia. "Secepatnya, dan aku usahakan bulan ini kita pasti menikah Sayang," kata Adit pada Vania. "Oke lah. Lebih cepat lebih baik" tambah Vania. "Oh iya sampai lupa, tadi aku beli martabak telur kesukaanmu lho Van. Spesial pakai telur bebek, seperti permintaanmu. Sebentar ya ku ambilkan di motor," kata suamiku sambil keluar rumah. Memang Vania dan Gita, sangat suka sekali dengan martabak telur pakai telur bebek, padahal menurutku itu terlalu amis, aku tak suka. Mss Ridwan pun segera masuk membawa dua box martabak. "Nih satu buatmu, dan ini satu buat Kakakmu, pakai telor ayam biasa kan. Gita sini Nak, ini Ayah bawa makanan kesukaanmu!" teriak suamiku. Gita pun langsung menghambur keluar, dengan girang dia pun langsung berdiri di samping Vania. Kulirik sekilas, pandangan mata Rama, tak lepas dari Gita, sepertinya dia sangat tertarik sekali dengan Putriku ini. "Berapa umurmu anak cantik?" tanya Rama tiba tiba pada Gita. "Delapan tahun om," kata Gita sambil menampilkan deretan giginya yang rapi. "Apa benar Mas, Gita ini baru berusia delapan tahun? Kok sepertinya sudah berusia dua belas tahunan," Rama ganti bertanya pada suamiku. "Hehehe iya memang dia masih berusia delapan tahun sekarang. Badanya memang bongsor sepertiku, banyak sekali yang mengira dia memang usianya sudah belasan tahun." terang suamiku. Oooh sekarang aku tahu, kenapa dari tadi Rama terus saja memperhatikan Gita. Dia pasti mengira Gita adalah darah dagingnya, mangkanya dia bilang usia Gita dua belas tahun. Padahal dia tak tahu, Mama nya sendirilah yang membunuh darah dagingnya itu, saat dia menghilang tanpa kabar.  "Oh begitu ya Mas. Berapa jumlah anaknya Mas? Apa Gita ini punya kakak atau adik?" tanyanya lagi, benar benar masih mencari informasi dia. "Baru satu ini Mas. Gita ini anak pertama kami, sekarang sedang program anak kedua. Doakan saja ya, hahaha," jawab suamiku yang dibalas anggukan oleh Rama. Vania dan Gita pun membuka box martabak telur mereka, jajanan yang masih hangat itu mengeluarkan aroma sedap tersendiri. "Hoek hoek hoek," Vania sepertinya ingin muntah dan langsung lari kebelakang. Aku pun mengikutinya dari belakang. Dia masuk kamar mandi, dan seperti ingin muntah, namun tak bisa. Karena tak di tutup aku pun masuk kedalam dan memijat lehernya. Ada perasaan tak enak dan was was disini, kenapa dia mual saat mencium aroma martabak kesukaanya itu, apa jangan jangan dia hamil?. "Kamu kenapa sih Van,?" tanyaku sambil masih memijit lehernya. "Nggak tau nih Kak, rasanya mual dan pingin muntah karena bau martabak itu. Tolong jauhin makanan itu deh Kak. Mual banget aku karenanya," "Itukan makanan kesukaanmu, biasanya kamu kan langsung melahap habis saat masih hangat begitu. Kamu kenapa sih sebenarnya? Jangan jangan kamu hamil ya?" "Apa apaan sih Kak, ngomong sembarangan deh. Aku hanya masuk angin saja kok." katanya sewot, sambil ingin pergi menjauh dariku. "Tunggu, mau kemana kamu? Jawab jujur dulu pertanyaanku, kamu hamil apa tidak?" kataku sambil memegang kedua lengannya. "Aku cuma masuk angin Kak. Cuma masuk angin biasa, telat makan saja tadi," katanya sambil menunduk, membuatku semakin tak percaya pada ucapanya. "Jawab dengan jujur pertanyaanku. Kamu sudah pernah melakukan perbuatan haram itu kah? Jawab pertanyaanku Van!" kali ini aku tak bisa membendung air mataku. Vania hanya menjawab pertanyaanku dengan anggukan. "Kenapa kamu lakukan itu Van. Bukankah aku sudah sering sekali mengingatkanmu, jangan pernah melakukan perbuatan itu sebelum menikah. Apakah kamu tahu kalau kamu saat ini hamil? Dan dengan siapa kamu melakukan itu?" tanyaku masih mencecarnya. "Maaf Kak. Maaf kan aku, sudah membuat Kakak dan Mas Ridwan kecewa. Aku sudah kebablasan Kak. Aku melakukannya hanya dengan Adit Kak. Tadi pagi aku baru tahu kalau aku hamil, dan karena itulah aku meminta Adit untuk segera menikahiku sebelum perutku semakin membesar," katanya sambil memelukku. Astaghfirullahaladzim, seperti mengulang masa lalu, aku pun mengalami hal seperti ini dengan Rama dahulu. Tak ada waktu untuk menyesali semua yang telah terjadi. Sekarang yang pasti, Rama harus bertanggung jawab dengan kehamilan Vania ini. Aku kembali mengajak Vania ke ruang tamu. Dan menyuruh Gita membawa martabak telor itu masuk. Mas Ridwan dan Rama terlihat heran, karena melihatku dan Vania yang masih menangis.  "Aku minta kamu secepatnya membawa orang tuamu kesini, dan melangsungkan pernikahan ini. Kalau bisa besok keluargamu sudah harus datang kemari meminang adikku," kataku sedikit ketus pada Adit alias Rama itu. "Kenapa kamu jadi ketus seperti itu sih Dek sama Adit? Janganlah terlalu terburu buru." kata suamiku. "Pernikahan ini harus dilaksanakan secepatnya Mas, karena sekarang Vania itu sedang hamil!" kataku sambil menangis. Mas Ridwan langsung menoleh kearahku, dan sepertinya dia sangat kaget. Vania yang di rawatnya dari kecil dengan penuh kasih sayang itu, telah menghianati kepercayaannya. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD