Menyembunyikan Hubungan

1026 Words
Satria Pikiranku akhir-akhir ini benar-benar kacau dan kalut, apalagi kesehatan mama semakin menurun. Entah seperti sedang memanfaatkan situasi karena penyakitnya, mama meminta satu hal padaku. Satu hal yang membuat pikiranku kacau tak tentu arah sejak hari itu sampai saat ini. Mama ingin aku menikah. Oke, aku juga menginginkan membangun pernikahan dan rumah tangga harmonis dan bahagia, tapi aku sudah memiliki pilihan sendiri. Aku mencintai seseorang, dan ingin menjadikannya ibu dari anak-anakku. Apalagi, mama menegaskan, bahwa besok malam adalah jadwal makan malam bersama keluarga wanita yang akan dijodohkan denganku. Aku tak tahu selera mama yang seperti apa. Dan, memangnya sekarang ini jaman apa? Masih dijodohkan segala. Ku abaikan sejenak masalah tentang perjodohan sialan itu. Aku kembali fokus pada wanita yang kini sedang bergelayut manja di atas pangkuanku, adalah wanita yang tak pernah bisa membuatku marah sedikitpun, aku tak pernah bisa menolak segala apapun bentuk permintaannya. Aku mencintainya. Dia Luna sekretarisku, bisa dikatakan kami juga masih terikat hubungan keluarga. Dia anaknya Tante Andin, sepupu mamaku. Keseharian yang sudah kami jalani sebagai bos dan sekretaris lebih dari tiga tahun, berhasil menumbuhkan benih-benih cinta diantara kami. Aku tak peduli, meski dia adalah bagian dari keluarga. Ku rasa, sah-sah saja jika kami menikah. Tapi aku tahu mama dan papaku pasti takkan setuju. Apalagi, selama ini, di hadapan keluarga besar, aku selalu bersikap seperti seorang kakak padanya. Dia cantik, parasnya sempurna. Bisa dikatakan dia adalah wujud bidadari dunia yang pernah aku temui. Luna selalu bisa menenangkanku dengan cara yang cukup menyenangkan seperti ini. Mencumbuku sampai aku benar-benar merasa on, tapi sayang kami hanya bisa b******u sebab aku tak berani melakukan lebih. Aku takkan merusaknya sampai kami benar-benar sah suatu saat nanti. Entahlah, kurasa semua itu hanya mimpi. "Kenapa sih Mas?" Dia tiba-tiba melepas tautan bibirnya dariku, mungkin dia menyadari perlakuanku tak seperti biasanya. Hanya dia yang begitu bersemangat dalam peraduan bibir kami kali ini, aku hanya membalas sekadar saja, tidak menyerangnya bertubi-tubi seperti biasa. "Ada masalah? Kerjaan? Kan semuanya udah selesai, Mas." Keluh Luna, memasang tampang cemberut. "Atau kamu marah karena aku tumpahin kopi tadi?" Tanya Luna sekali lagi. Aku tersenyum gemas melihatnya. Ku acak-acak rambut panjangnya. Wajahnya cemberut, tapi jangan salah. Itu sama sekali tidak mengurangi kadar kecantikannya. "Enggak sayang," sahutku. Kali ini aku yang memajukan bibirku, menangkup kedua pipinya mengecupnya dengan mesra, penuh cinta dan gairah membara. Luna yang sempat marah karena aku tak membalasnya sedikitpun, kini kembali b*******h membalas ciumanku. Selama ini, tidak ada yang tahu tentang office romance yang kami jalani. Kami memang hanya bertemu di kantor saja, atau sesekali kami keluar kota bersama sambil melakukan perjalanan bisnis, dari situlah cinta semakin bersemi dan aku terus memupuknya hingga semakin berkembang seperti sekarang ini. "Tetap aja, kamu nggak kayak biasanya, Mas." Luna mendorong bahuku, dia turun dati pangkuanku sambil membenahi blousenya yang sedikit berantakan karena ulahku. "Aku mau cerita sesuatu ke kamu." Aku pun ikut berdiri, berjalan mengikutinya ke arah ruangan pribadiku. Tok tok tok terdengar suara ketukan pintu. "Siapa ya?" Luna bergumam. "Oh itu pasti cleaning service yang aku telpon tadi." Aku menghela napas berat, sepertinya Luna tidak mendengar perkataanku. "Cepat pakai baju, Mas. Atau kamu ngumpet dulu gih di kamar!" Titahnya. Aku menurut, patuh dan berjalan menuju ruangan kecil yang ada di ruangan kerjaku ini, dan segera memakai kemejaku. "Permisi Bu." Kudengar suara seorang perempuan di luar sana. "Iya, tolong bersihkan tumpahan kopi ini!" Titah Luna, aku tertawa kecil mendengar suara Luna, suara dan nada bicaranya selalu terdengar angkuh pada orang yang belum dikenalnya. Tapi sebenarnya, Luna memiliki hati yang baik. "Baik Bu," sahut wanita itu. Setelah memakai kemejaku kembali dengan rapi, aku keluar dari ruang pribadiku. "Luna, apa jadwal saya setelah ini?" Tanyaku pada Luna yang sedang duduk di kursi kerjanya. Karena ada orang lain di sekitar kami, aku tentu harus berakting sebaik dan seprofesional mungkin. "Kosong, Pak," sahut Luna, dia adalah lawan akting yang sempurna. Kami sudah sepakat takkan menunjukkan kemesraan kami di hadapan siapapun. Sebisa mungkin kamu menyembunyikan hubungan kami agar semuanya berjalan dengan lancar. "Oke, ayo kita makan siang!" Titahku dengan nada bossy. Sekilas, aku melirik wanita berhijab yang sedang mengepel lantai bekas tumpahan kopi itu. Sebentar, wajahnya cukup tidak asing. Oh ternyata dia, si pembuat kekacauan. "Tapi Pak, masih ada office girl di sini, apa nggak masalah kita tinggal ruangannya?" Tanya Luna. "Nggak apa-apa. Kalau dia macam-macam, kan ada cctv di setiap sudut," jawabku dengan nada angkuh. Kulihat wanita itu melirik kesal ke arahku. "Kamu orang baru ya?" Tak tahan, akhirnya aku bersuara dan menayakan tentang dirinya. Dia mengangguk takut-takut. "Iya Pak," jawabnya pelan. "Kerja yang becus kalau mau bertahan di sini!" Aku mengingatkan. "Saya tau Pak, tenang aja saya nggak akan mencuri dan berbuat aneh-aneh di sini," ucapnya dengan tegas. Sepertinya dia tersindir dengan kata-kataku tadi. Ah peduli apa, dia yang bekerja di sini, tentu dia yang membutuhkan pekerjaan, bukan? "Bagus. Ayo Luna, saya lapar." Ajakku sekali lagi pada si cantik kesayanganku. "Siap, Pak!" Luna tersenyum tipis ke arahku, hampir saja kurangkul pinggangnya. Tapi sekali lagi aku sadar ada orang asing di sekitar kami. * Kianara Oh, jadi namanya Satria Angkasa? Ternyata dia petinggi di perusahaan ini. Pantas saja lagaknya sombong dan angkuh begitu. Dan tadi itu apa? Mereka berciuman dan b******u hebat, tapi ketika ada aku, seakan tak ada hubungan apapun diantara mereka. Hm, sungguh akting yang bagus. Kenapa mereka nggak jadi artis pemain sinetron saja. Apa mereka sedang menyembunyikan sesuatu? Atau jangan-jangan mereka sedang berselingkuh dan sebenarnya Satria sudah punya istri. Bukan tidak mungkin, itu semua bisa saja. Tiba-tiba aku bergidik jijik pada mereka berdua. Astaghfirullah… Setelah lima belas menit, aku berada di ruangan ini, aku memastikan pekerjaanku benar-benar sudah selesai. Tak ada lagi noda tumpahan kopi di lantai granit ruangan ini. Sudah bersih dan wangi, aku memutuskan untuk cepat-cepat meninggalkan ruangan ini. Apalagi, si bos sombong itu baru saja seperti menuduhku akan mencuri atau berbuat yang tidak pantas di ruangannya. Enak saja! Aku keluar dari ruangan, sambil menggerutu kesal. Tak lupa kuangkut semua alat-alat perang alias alat bersih-bersihku. Ku hentikan langkahku sejenak, ponselku bergetar. Satu pesan dari Tante Diana. Pulang kerja, kita pergi ke butik ya! tunggu aku di parkiran mobil. Pesan singkat darinya itu membuatku berkerut kening. Ada apa gerangan? Dia mengajakku ke butik? Nggak salah?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD