Melihat Adegan di Dalam Film

667 Words
Kianara Aku yakin dia adalah lelaki yang sempat aku puji tadi saat di lift. Lelaki jutek yang tidak terlihat ramah sedikitpun. mungkin dia adalah salah satu orang penting di sini. Lantas, mengapa hatiku sakit? Apa yang kuharapkan dari lelaki yang tak kukenal ini? Ya, setidaknya dia bisa berkata, lebih hati-hati, ya? Atau, kamu nggak apa-apa? Ini malah dia mengataiku, walau ini memang salahku, tapi ucapannya sungguh terdengar menyakitkan. Untuk apa tampang rupawan tapi sikapnya nggak sesuai dengan tampangnya. Dasar sombong! Ya Allah ampuni aku karena mengeluh dan mengumpat di hari pertama bekerja. Kulihat Dio pun langsung bergegas membantuku, dan yang membuatku semakin panik adalah posisi kami saat ini sedang berada tepat di pintu masuk, dan ada beberapa orang yang sedang mengantri untuk masuk, terhambat karena keberadaan aku dan Dio. "Maaf Pak, kami akan segera menggantinya dengan yang baru," ucap Dio lagi. "Nggak perlu! Bereskan ini semua, dan pesan kopi dari luar aja!" Titah lelaki itu. Aku semakin ketakutan dan gemetaran, tidak bisakah dia berkata dengan baik sedikit saja? Tanpa harus mengandalkan emosi. "Baik Pak," jawab Dio patuh. Sama sepertiku, Dio pun juga terlihat gemetaran dan ketakutan. Sampai beberapa menit berlalu, kami sudah selesai membereskan semuanya, meski kopi-kopi tumpah itu masih menyisakan noda di lantai. "Mas, maafkan saya ya." Ucapku penuh penyesalan. Dio tampak kesal padaku, sebab dia tidak merespon apapun atas ucapan maafku, dia malah berjalan lebih cepat meninggalkanku di belakangnya. "Nyusahin." Satu kata itu, aku mendengarnya. Dan aku yakin itu adalah gerutuan Dio karena dia pasti sangat kesal padaku. "Mas, biar aku aja yang order kopinya, bilang aja di mana tempatnya." Aku berupaya menyamakan langkahku dengan Dio, lalu ingin menebus rasa bersalahku, dan memperbaiki keadaan kacau yang aku ciptakan di hari pertama. "Biar aku aja." Tegasnya tanpa ingin menoleh sedikitpun padaku. * Aku pasrah, aku diabaikan dan didiamkan bagai angin lalu, oleh Dio. Sejak aku melakukan kesalahan tadi, dia mendiamkanku bahkan tidak meminta bantuan apapun lagi padaku. Semua dia lakukan sendiri, dan akhirnya kini aku duduk termenung di ruangan kami, para office boy dan office girl. Aku tak menyangka ternyata dunia perkantoran sepelik ini. Aku melirik jam tanganku, berharap waktu cepat berlalu, bagaimana ini? Baru hari pertama saja, aku tak bisa menikmati pekerjaanku. "Kamu lagi kosong, kan?" Tiba-tiba ibu kepala ruangan, alias atasanku menghampiriku. Dengan sigap aku berdiri. "Iya Bu," sahutku cepat. "Naik ke lantai tujuh, bersihkan ruangan Pak Satria. Bawa semua alat bersih-bersih dasar. Ruangan beliau udah dibersihkan pagi tadi, tapi barusan sekretarisnya nelpon, butuh cleaning service," jelas wanita paruh baya itu padaku. "Baik Bu, tapi lebih tepatnya di mana ruangan Pak Satria?" Tanyaku, sambil menyiapkan alat-alat yang harus kubawa seperti serbet, pel, sapu dan cairan pembersih kaca. "Naik aja dulu ke sana, nanti di papan nama di depan ruangannya, ada tulisan nama beliau." Titahnya lagi. Aku mengangguk patuh, jika biasanya saat di rumah, aku kesal jika pekerjaan rumah tak kunjung selesai, maka kali ini aku senang. Senang karena aku merasa dibutuhkan. Dengan semangat aku berjalan meninggalkan ruangan, menuju lift. Mencari ruangan dengan tulisan papan nama Satria di lantai tujuh. Aku berbelok ke arah kanan, menyusuri sebuah lorong yang buntu karena hanya ada sebuah pintu di sana. Dan aku tak salah lagi, ini pasti ruangan yang dimaksud. Ada tulisan Satria Angkasa di ukiran papan nama itu. Satria Angkasa, M.B.A (Chief Executive Officer). "Oh pasti ini." Aku bergumam, lalu mengetuk pintu dengan perlahan. Satu kali… Dua kali… Tiga kali… Tidak ada jawaban yang aku dapatkan, sampai akhirnya aku memberanikan diri menarik handle pintu. Astaghfirullah ya Allah, ampuni hamba. Aku segera menutup kembali karena apa yang aku lihat barusan adalah adegan yang sangat tidak pantas. Seorang wanita sedang duduk di atas pangkuan seorang lelaki yang sedang bertelanjang d**a, dan mereka saling beradu bibir. Persis seperti apa yang pernah aku lihat di dalam film. Aku tahu ini salahku yang terlalu lancang dan berani membuka pintu sebelum dipersilakan masuk. Tapi sepertinya dua insan yang sedang dimabuk cinta itu sama sekali tidak menyadari kehadiranku. Ya sudah, menunggu di sini saja sampai mereka selesai. Entah kapan selesainya akupun tidak bisa menerka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD