Kekacauan di Hari Pertama

1294 Words
Aku masih belum berhenti tersenyum bahkan saat sudah keluar dari lift. Wajah abang-abang atau mas-mas itu masih terbayang di ingatanku. Sangat manis meski tak ada ramah-ramahnya. Ya Allah, apa aku jatuh cinta pada pandangan pertama? Semoga dia bukan suami orang, jadi jika perasaan ini berlanjut, aku tidak berdosa. Aku bahagia hari ini. Bahagia karena mungkin sebentar lagi, aku bukan lagi seorang pengangguran. Meski pekerjaanku nantinya tak akan jauh beda seperti di rumah. Tiba di lantai lima, aku seperti orang kebingungan. Lagi-lagi aku tak tahu arah tujuan. Harus belok ke kiri atau kanan. Tak ada satu orangpun yang melintas, yang bisa menjadi tempatku bertanya. "Kenapa nggak nanya sama cowok tadi aja ya? Duh…" akhirnya aku memilih ke kanan, aku terus berjalan menyusuri sebuah koridor sambil membaca satu persatu papan nama yang ada di setiap pintu, sebagai tanda nama-nama ruangan tersebut. Sampai ada satu ruangan yang aku yakini, adalah tempat di mana Tante Diana sedang menungguku. Tanpa ragu lagi, aku mengetuk pintu perlahan. Sampai terdengar suara dari dalam sana memerintahkanku untuk masuk. Aku membuka pintu, dugaanku tak salah. Ada Tante Diana di sana sedang duduk dengan anggun. "Nah ini dia keponakanku," ucapnya seraya memanggilku dengan gerakan tangan. "Selamat pagi," sapaku pada semua yang ada di sana. "Perkenalkan, saya Kianara Aurora, akrab disapa Kia." Aku berharap semoga perkenalan diriku tidak memalukan. "Silakan duduk," ucap seseoang yang aku yakini dia adalah orang penting yang akan menentukan aku diterima atau tidak. Beruntung dia bersikap ramah, tampak dari senyumnya yang belum memudar. Aku duduk di hadapannya, di sebelah Tante Diana, lalu meletakkan sebuah map yang sejak tadi ku bawa-bawa. "Ini CV saya, Bu." Aku menyerahkan map itu dengan sopan pada wanita di hadapanku. "Eum, baik saya cek dulu ya. Kia, sebelumnya udah pernah bekerja?" Tanya wanita itu lagi. "Belum, Bu," sahutku. "Kerja di rumahku, beres kok kerjaannya. Makanya jadi OG kayaknya cocok," ujar Tante Diana. Ku lihat sepertinya mereka akrab, lalu keduanya tertawa. Sejujurnya aku merasa sedikit terhina dan direndahkan. Tapi lagi-lagi aku harus bersabar, karena aku butuh mereka. Aku hanya menanggapi ucapan Tante Diana dengan senyum kaku dan memelas. "Kayaknya nggak perlu saya baca lagi deh CV kamu, soalnya udah direkomendasi dengan ibu manajer marketing," ucapnya lagi. Kali ini hatiku bergetar, jantungku dag dig dug, apa pertanda aku akan diterima? Semoga saja. "Jadi… saya?" "Ya, kamu diterima, bisa mulai bekerja hari ini. Sebentar ya saya panggilkan atasan langsung kamu, supaya kamu bisa dibimbing untuk kinerja awal." Dia memegang gagang telepon, seperti akan menghubungi seseorang. Alhamdulillah, aku diterima. Aku menoleh pada Tante Diana yang saat itu sedang melirikku dengan lirikan yang sulit aku mengerti. "Makasih Tante." Tentu aku takkan melupakan jasa wanita di sebelahku ini, tanpa dia, pasti aku takkan dengan mudah diterima bekerja di sini. Tenyata istilah yang pernah aku dengar itu benar, untuk mendapatkan pekerjaan, akan mulus jika ada kekuatan orang dalam. Tante Diana tampak tersenyum ketika mendengar ucapan terima kasih dariku, dia lalu mengarahkan wajahnya ke arahku. "Ucapan makasih aja nggak cukup, Kia. Selama ini kamu terlalu banyak ngucapin makasih. Aku nggak butuh itu, lakukan sesuatu yang lain yang bisa membuatku merasa beruntung, dan nggak sia-sia menghidupi kamu selama ini." Aku tak mengerti sama sekali atas ucapan Tante Diana saat ini, pada akhirnya aku mengangguk. "Iya Tante." * Aku resmi bekerja hari ini. Kini aku sedang berada di sebuah ruangan yang terletak di lantai satu. Ruangan yang lebih mirip seperti sebuah dapur di mana ada dua kitchen set dan lengkap dengan perlengkapan lainnya di sana seperti alat-alat makan dan alat bersih-bersih. Ya, akhirnya pekerjaanku takkan jauh-jauh dari benda-benda itu. Bukanlah sebuah laptop, map, atau berkas-berkas perusahaan yang menjadi alat kerjaku, melainkan sapu, pel, piring dan gelas. Aku mengeluh? Tentu tidak, aku bersyukur, sangat bersyukur saat ini. "Apa kamu mengerti?" Seorang wanita paruh baya, yang kuyakini usianya sudah lima puluhan itu bertanya padaku, setelah dia memberikan penjelasan panjang lebar. Berdasarkan cerita dan penjelasannya, dia adalah pegawai senior di perusahaan ini. Sudah dua puluh tahun dia mengabdi di sini sebagai kepala bagian kebersihan dan pelayanan. "Mengerti Bu," ucapku tegas. "Sekarang, siapkan sepuluh cup kopi panas, lima cangkir teh hangat, setengah jam lagi ada meeting dan pastikan selesai sebelum meeting di mulai!" Titahnya padaku. "Tapi maaf Bu, untuk pengoperasian mesin kopi itu, saya belum diajarkan." Bukannya aku menolak perintah yang dia berikan, hanya saja… aku tak mau melakukan kesalahan. "Sini saya ajarkan!" Di tengah-tengah tegangnya pembicaraan kami, ada seorang lelaki yang menimbrung. Dia berucap cukup lantang. Pandanganku langsung beralih ke arahnya. "Benarkah?" "Cepat!" Titah Bu Nur padaku. "Baik, Bu." Aku melangkah tanpa ragu, ke arah pantry yang di atasnya ada beberapa mesin penghasil kopi. Dan untuk menciptakan kopi yang nikmat, pasti dibutuhkan racikan yang pas. Dengan saksama aku mendengar dan memperhatikan instruksi lelaki ini. Dia mulai menuangkan bubuk kopi ke dalam mesin, beserta gulanya juga. "Sekarang, ambilkan sepuluh paper cup di dalam lemari itu!" Titahnya lagi. Memang sepertinya pekerjaan ini mudah. Tapi, percayalah, hal ini juga membutuhkan konsentrasi dan cepat tanggap. Aku yang biasanya mengerjakan pekerjaan rumah dengan santai, kali ini harus membuang jauh-jauh kata santai itu. "Kamu udah mengerti gimana takaran untuk sepuluh cup kopi? Biasanya kalau meeting pimpinan, cukup membutuhkan lima belas gelas aja, untuk dua jenis minuman, teh dan kopi. Tapi kalau meeting bersama jajaran karyawan penting lainnya, bisa sampai tiga puluh," jelas lelaki itu lagi. Aku mengangguk pelan. "Mas, kita ngobrol banyak dari tadi, ada baiknya kita kenalan dulu. Saya, Kianara Aurora, biasa dipanggil Kia." Aku mengajaknya berkenalan tanpa menyodorkan tangan untuk bersamalan. Aku cukup tahu diri untuk membatasi tidak bersentuhan dengan sengaja kepada yang bukan muhrim. "Saya Dio," ucapnya terlihat acuh tak acuh. Huh. Aku mengehela napas berat. Mengapa semua orang di kantor ini terkesan jutek? Apa standartnya memang seperti itu? "Kamu bawa kopinya, susun di nampan!" Titahnya lagi. Untung saja aku sudah berinisiatif mengambil nampan berukuran besar dari dalam lemari, "Iya Mas," jawabku. Langsung memindahkan semua paper cup tertutup berisi kopi itu ke atas nampan, satu persatu dan aku susun dengan serapi mungkin. "Ayo ke atas!" Ajak Dio, sedangkan dia membawa nampan yang di atasnya ada lima cangkir teh hangat. "Lantai berapa ya, Mas?" "Sepuluh," sahutnya. Aku mengikuti langkahnya, jarak ruangan kami dan lift tidak terlalu jauh. "Lebih cepat, Kia, sebelum bos-bos masuk ke ruangan meeting, ini semua harus udah tersusun di atas meja," ujar Dio. "Iya Mas." Bayangkan, aku sedang membawa sebuah nampan besar, di atasnya ada sepuluh cup kopi tersusun, dituntut untuk jalan lebih cepat. Ini hari pertamaku, ternyata tak semudah yang kubayangkan. Stop, aku nggak boleh ngeluh. "Ruangannya ada di ujung," ucapnya lagi setelah kami berada di lantai sepuluh. Jujur saja, aku agak gugup saat ini. Hal yang paling aku takutkan adalah melakukan kesalahan. "Kia, gawat! Sebagian pimpinan ada yang udah masuk ke ruang meeting. Lebih cepat, ya!" Dia semakin membuatku panik, sial sekali aku tertinggal jauh karena Dio melangkah lebih cepat. Tapi untungnya, aku sudah tahu di mana pintu meeting room itu. Kulihat Dio sudah masuk ke sana, aku menyusulnya dan sedikit kesulitan mendorong pintu karena kedua tanganku memegang nampan. Tapi saat ku kerahkan seluruh tenagaku untuk mendorong pintu yang terbuat dari kaca berwarna gelap itu dengan siku, tiba-tiba pintu itu terasa ringan mengakibatkan aku dan nampan yang sedang kupegang terjatuh, seluruh cup kopi berserakan di lantai bahkan ada yang tutupnya terbuka, tumpah berceceran di lantai. Dan jangan ditanya bagaimana keadaan blouse putih yang aku kenakan saat ini, banyak noda kopi di sana. Ya Allah, yang kutakutkan ternyata terjadi. Aku membuat kesalahan di hari pertama. Aku segera berjongkok, memungut semuanya dalam keadaan bingung. Aku mendongak sedikit untuk menatap siapa sosok, lelaki berjas yang sedang berdiri di hadapanku. "Dasar ceroboh! Meeting hampir di mulai, malah bikin kacau!" Dia mengumpatiku, hatiku sedih. Hatiku hancur, karena dia adalah lelaki tampan yang aku temui di lift tadi. "Maafkan kami Pak, maafkan dia anak baru. Baru bekerja hari ini," ucap Dio membelaku dan meminta maaf.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD