Mas-Mas Ganteng

1281 Words
Aku sedang menyiapkan Curiculum Vitae terbaikku, untuk mencoba peruntungan lagi dengan melamar di sebuah perusahaan Air Mineral tempat Tante Diana bekerja. Sesuai sarannya, aku membuat semenarik mungkin, meski lamaran yang aku tujukan adalah bagian Office Girl. Tidak mengapa, semuanya butuh proses untuk sukses, bukan? Tak ada masalah bagiku meski harus memulai dari seorang Office Girl, yang penting hasilnya halal dan berkah. Setelah pertengkaran hebat dengan Dilla siang tadi, aku tak lagi keluar dari kamarku, sampai sore tiba. Bahkan dengan sengaja aku tak menyiapkan makan malam, apalagi Tante Diana sudah berpesan kalau dia akan pulang malam. Jika sudah begitu, aku hanya perlu menyeduh mi instan sebagai makan malamku. Urusan badan semakin mengembang? Tak aku pikirkan lagi. Oh ya, urusan bagaimana makan malam Dilla, kupikir juga bukan urusanku. Tengah asyik menatap layar laptop, sedang membuat CV terbaru, ponselku berdering. Aku menoleh malas pada layar ponsel yang aku letakkan di sebelah laptopku, nama Tante Diana kulihat di sana. Jangan bilang dia sedang on the way pulang dan akan makan malam di rumah. "Assalamualaikum, Tante." Aku menyambutnya sebaik mungkin meski was-was. "Kamu apakan si Dilla? Udah belagu, kamu sekarang? Hah?" Tak ada keramahan saat Tante Diana menyambutku, yang ada hanyalah amarah, bahkan dia tidak menjawab ucapan salamku. Suaranya nyalang dan nyaring terdengar di sana, hingga aku menjauhkan ponselku dari telinga. Benar dugaanku, anak tengil itu pasti mengadu pada mamanya. "Tante maaf, bukannya belagu atau apa, tapi aku cuma-" "Udahlah, kelakuanmu semakin lama semakin ngelunjak, siap-siap aja ya dalam beberapa hari ini. Kamu mulai bosan, tinggal di rumahku, iya?" Tante Diana terus mengomel tanpa mau mendengar penjelasanku, oh ya tentu jelas sekali dia pasti membela anaknya tanpa mau tahu bagaimana yang sebenarnya. Apapun itu, bagaimanapun kejadiannya, di rumah ini selalu aku yang menjadi tempat dilimpahkan kesalahan dan aku hanya bisa mengalah. "Nggak Tante, aku nggak bosan. Tadi itu, aku udah nyiapin semua yang Dilla mau, beneran. Tapi-" "Aku juga udah siapkan sesuatu untukmu, kamu mau bebas dariku, kan? Tunggu lah dalam beberapa hari ini!" Ucapnya, masih dengan suara yang lantang. Tanpa aku mengerti sedikitpun apa maksudnya? Membebaskanku darinya, itu artinya dia akan mengusirku? Ya Allah, ke mana aku harus pergi kalau Tante Diana beneran mengusirku? Sementara aku belum tentu diterima bekerja di manapun bahkan di perusahaan tempat Tante Diana bekerja. Sungguh aku khawatir Tante Diana mengurungkan niatnya untuk merekomendasikan aku pada HRD sebagai Office Girl. Aku menutup laptopku, mana bisa aku konsentrasi mengerjakan sesuatu di tengah kalutnya pikiranku saat ini. Aku keluar dari kamar, menuju kamar Dilla. Aku hanya ingin mengklarifikasi apa yang dia sampaikan pada mamanya hingga Tante Diana sepertinya sangat marah padaku. "Dilla!" Ku gedor pintu kamarnya bertubi-tubi, sungguh aku benar-benar sudah muak dengan semua ini. Selama ini, aku selalu mengalah pada gadis berusia delapan belas tahun itu. "Apa?!" Sentaknya, dengan tatapan permusuhan. Matanya membulat sempurna, mendelik ke arahku dengan kedua lengan yang dia lipat di d**a. "Kamu bilang apa ke mama? Sampai mamamu salah paham?" Aku tak mau kalah, aku berkecak pinggang menghadapinya. "Gue cuma bilang apa adanya, lo nggak ikhlas masakin gue." Seketika, panggilan Dilla ubah menjadi lo-gue. Sungguh anak ini seperti anak tak bermoral dan tidak tahu sopan santun. Aku menghela napas berat. Benar dugaanku, kan? Dia mengada-ngada dan sudah pasti melebih-lebihkan ceritanya. "Dari segi mana aku nggak ikhlas, Dilla?" Aku masih mencoba bersabar, meski sebenarnya ingin sekali ku terkam dia hidup-hidup. "Ya memang udah masakin, tapi lo nggak mau nyajikan." Dilla menutup kembali pintu kamarnya, setengah membanting. Andai dia adik kandungku sudah ku beri dia pelajaran tentang sopan santun berbicara dengan yang lebih tua. Aku mengalah, karena aku cukup sadar akan siapa diriku. Makan hati, aku hanya bisa memendam amarahku tanpa tahu harus membuang ke mana. Andai makan hati ini bisa menurunkan berat badanku, maka aku akan dengan senang hati menerimanya, tapi ternyata tidak. * Pagi ini, aku bangun lebih semangat, usai melaksanakan kewajiban subuhku sebagai umat muslim, aku selalu tak lupa memanjatkan do'a-do'a demi kebaikanku, dan tak lupa aku mendoakan mamaku yang telah lebih dulu meninggalkan aku. CV semalam sudah aku siapkan sebaik mungkin, berharap Tante Diana tidak mengurungkan niatnya gara-gara Dilla mengadu yang tidak-tidak. "Tante." Aku menyapa Tante Diana yang sedang menikmati sarapan yang aku siapkan. Dia membalas tatapanku dengan sorot mata tajamnya, lalu memandangku dari ujung rambut hingga kaki. "Apa lagi kamu nggak siap-siap? Mau kerja, enggak? Aku udah ngomong sama pimpinan HRD, di perusahaan memang lagi kekurangan dua orang Office Girl," jelasnya lalu meneguk jus jeruk. Mataku berbinar, tak kusangka Tante Diana masih berbaik hati. "Aku udah mandi kok Tante, tinggal ganti baju aja, sebentar ya." Aku bergegas menuju kamarku, mengganti pakaian rumahanku saat ini dengan sebuah blouse lengan panjang berwarna putih, serta celana kulot panjang super longgar berwarna hitam, dan yang pantas dikenakan untuk wanita berhijab. Warna pakaianku kini persis memperlihatkan seperti seseorang yang ingin melamar pekerjaan. Berhias wajah seadanya, aku turun ke bawah tak lupa memakai sling bag ku, dan membawa map berisi berkas-berkas penting milikku. "Ayo kita berangkat sekarang!" Ajak Tante Diana. Aku mengangguk senang. "Oke Tante." * Jantungku berdebar-debar, pertama kalinya aku menginjakkan kaki di lantai gedung salah satu perusahaan ternama di negeri ini. Air mineral adalah jenis produknya, dan produk perusahaan ini sudah tersebar luas di seluruh negeri ini, sampai ke pedesaan juga ke sebagian negara tetangga. Aku duduk di kursi yang tersedia di lobi, sambil menatap karyawan yang lalu lalang di sana. Yang menjadi pusat perhatianku adalah para pegawai wanita yang penampilannya cukup fashionable, bahkan ada yang berhijab sama sepertiku tapi tentu styleku tertinggal jauh dibanding mereka. Lamunanku terhenti, ketika ponsel di dalam tasku berbunyi nyaring. Nama Tante Diana terlihat di sana, dengan semangat, aku menyambutnya. "Ya Tante?" "Sekarang kamu naik ke lantai lima, cari aja ruangan HRD, kalau bingung, kamu bisa tanya-tanya sama siapapun yang ada di sana, jangan malas bertanya!" Titah Tante Diana, dan ya… kata-kata dan cara bicaranya masih terkesan judes. "Oke Tante," sahutku dengan semangat empat lima. Aku berjalan dan kini berdiri di tengah-tengah lobi, mencari-cari di mana lift berada. Ya, jujur saja aku bingung, dengan bangunan seluas ini, aku seperti anak hilang yang tersesat. Ku lirik ke kiri dan kanan, aku heran, gedung sebesar ini, mengapa tidak ada satpam tempat aku bertanya? Ada pegawai di bagian resepsionis, tapi aku enggan bertanya karena tampak dari wajah mereka tidak ada ramahnya sedikitpun. Dan, inilah kelemahanku, suka menilai orang lain dari luarnya saja. Pada akhirnya aku memutuskan untuk berjalan ke arah kanan lobi, mataku berbinar senang karena di sana ada lift dan kebetulan ada seseorang juga yang sepertinya akan menuju ke lantai atas. "Tunggu!" Ucapku. Katakanlah aku memang sedikit kampungan, selama ini aku tidak pernah masuk ke dalam lift sendirian, hingga memaksaku untuk menahan lelaki ini agar tidak meninggalkanku. "Saya juga mau ke atas, Mas," ucapku tersenyum ramah dan dengan santai aku melangkah masuk ke dalam lift itu. "Lantai berapa?" Tanya lelaki itu dengan ekspresi datar, padahal jika dia tersenyum sepertinya akan menambah kadar ketampanannya. "Lima, Mas." Tampak dia menekan tombol angka lima setelah aku menjawab. "Mas, kerja di sini juga?" Tanyaku sok bersikap ramah. Harusnya itu tak perlu kutanyakan sebab jelas sekali dia juga memakai pakaian ala kantoran, bedanya sepertinya dia tidak hanya memakai setelan kemeja saja, dia juga menenteng jas yang disampirkan di lengannya. "Iya," sahutnya singkat. "Silakan, lantai lima." Dia berucap setelah pintu lift terbuka. Aku mengangguk. "Makasih, Mas." Aku tersenyum senang, entah apa sebabnya. Walau senyumku tak berbalas sedikitpun, dari lelaki dingin itu. Mungkin karena mas-mas ganteng tadi memiliki ciri-ciri fisik idaman banyak wanita, termasuk aku juga menginginkan lelaki tipe seperti itu. Persisnya ala-ala oppa Korea di drama yang sering aku tonton. Harus ku akui, karyawan di sini memang cantik-cantik, dan ganteng, mungkin good looking adalah salah satu kriteria untuk masuk ke perusahaan ini, tapi yang aku temui barusan adalah di atas rata-rata.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD