Istri yang Tak Becus Memasak

1168 Words
Dor! Dor! Dor! Aw! Aw! Priska kembali berjongkok di depan kompor gas, saat ia tak sanggup lagi menghadapi ganasnya minyak goreng yang sejak tadi mengeluarkan suara letusan terus menerus. Sudah yang kesekian kalinya kulit tubuh Priska menjadi sasaran cipratan minyak goreng yang berasal dari wajan. Wajan yang tengah digunakan untuk menggoreng ayam. Tak ayal, kulit tangannya pun terlihat kemerahan di beberapa bagian. Bahkan ada juga yang sempat mengenai kulit pipinya. “Bu, apa kalau goreng ati ampela meletus terus begini?” tanya Priska masih dalam posisi berjongkok. “Kamu apa nggak pernah lihat suamimu goreng ayam?” “Kebetulan nggak pernah, Bu.” “Astaga. Pantesan. Kamu ini, Pris, bener-bener ya? Masa tiga tahun menikah, lihat suami goreng ayam saja tidak pernah.” Wanda kembali mengomel. Omelan yang lagi-lagi Priska terima seharian ini. Padahal pulang bekerja tadi, ia sudah berencana untuk membaringkan tubuhnya di kasur yang empuk dan berencana akan bangun jika matahari telah tenggelam. Nyatanya, smapai rumah justru ia dikejutkan dengan kedatang ibu mertuanya yang memang Priska akui cerewetnya nomer satu. Priska hanya bisa meringis. Jangankan goreng ayam, melihat suaminya masak yang lain saja, Priska belum pernah. Setiap kali wanita itu mau makan, makanan sudah tersedia sepenuhnya di atas meja makan. Baik saat hendak sarapan maupun makan malam. Karena siangnya, Priska selalu makan di restoran yang dikelolanya. “Soalnya, tiap mau makan, makanan udah ada di atas meja, Bu,” balas Priska pada akhirnya. “Ya ampun, Priska itu ati ampela kamu gosong!” Pekikan Wanda membuat Priska buru-buru bangkit dan mendapati ati ampela yang tadi digorengnya sudah berubah warna menjadi hitam. “Kayaknya mulai hari ini, kamu perlu kursus memasak ke Ibu deh. Ibu putuskan untuk menginap di rumah kamu sampai kamu pintar masak!” putus Wanda. “Priska, cepat matikan kompornya!” pekik Wanda saat wajan kecil yang nangkring di atas kompor yang ada di depannya, sudah berasap tebal. Wanita paruh baya itu lantas terbatuk-batuk dan memilih berjalan meninggalkan dapur. Priska buru-buru mematikan kompor. Namun, sayangnya, ia pun tak tahu bagaimana cara mematikannya. Seingatnya, tadi yang menyalakan kompor juga adalah Wanda bukan dirinya. “Bu, ini bagaimana mematikannya?” tanya Priska yang dilanda kepanikan. Apalagi asap dia atas wajan makin tebal. Seorang pria yang baru saja memasuki rumah dengan model gaya rambut terbaru, seketika mencium bau aneh. “Bau apa ini?” tanyanya. Pria itu lalu berjalan mencari asal bau gosong yang menyapa indra penciumannya hingga ia tahu bahwa bau itu berasal dari dapur rumahnya. Pria yang baru saja mencapai dapur itu, buru-buru menghampiri Priska dan mematikan kompor gas dengan cepat. “Kamu ngapain di dapur, sih? Kan udah aku wanti-wanti memasak!” omel pria yang tak lain adalah Andi, suami Priska. Nada bicaranya spontan meninggi. Dulu, setelah Priska resmi menyandang status sebagai seorang istri, wanita itu sempat mencoba memasak dan alhasil justru ia malah menghancurkan dapur. Jadilah mereka memesan makanan siap saji. Lalu setelahnya pun berlanjut seperti itu, sampai suaminya kena PHK dan akhirnya bertugas sebagai koki di rumah yang telah ia beli dengan uangnya ini. Priska juga tak menyangka bahwa sejatinya suaminya itu pintar memasak. “Aku hanya mau belajar masak, Mas,” cicit Priska. “Yang ada, kamu justru ngancurin dapur kita, Priska!” omel Andi sembari matanya yang menatap satu persatu peralatan masak di dapurnya. “Maaf, Mas,” ucap Priska yang merasa bersalah. Ia tahu bahwa suaminya itu tak menyukai dapurnya ia sentuh, seolah dapur ini adalah area pribadi suaminya. Andi lalu menolehkan wajahnya ke arah Priska, ingin mengomeli istrinya sekali lagi. Namun, ia justru terkejut melihat keadaan istrinya. Ada beberapa luka kemerahan di kulit tubuh istrinya bahkan di bagian pipi. “Ya ampun, kulit kamu, Pris. Ayo ikut, Mas.” Andi langsung menarik tangan Priska untuk pergi meninggalkan dapur. *** “Duduk. Aku ambil obat dulu,” perintah Andi pada istrinya. Pria itu buru-buru membuka kotak P3K yang tertempel di dinding, tak jauh dari tempat ia meninggalkan Priska barusan lantas tak membutuhkan waktu yang lama untuk kembali ke hadapan istrinya. Andi duduk tepat di depan istrinya dan mulai menempelkan jari telunjuknya yang sudah dilumuri obat pada luka kemerahan pada bagian pipi istrinya. “Nggak cuman dapur yang kamu hancurin, sekarang kamu mau hancurin kulit mulus kamu juga?” Andi nampaknya belum ingin berhenti mengomeli istrinya. Priska sudah ingin membuka mulutnya. Akan tetapi, suaranya tertahan saat lebih dulu suara Wanda yang terdengar. “Itulah, gara-gara istri kamu itu nggak pernah nginjekin kaki di dapur, Di,” seru Wanda yang tiba-tiba datang menimbrung. Kali ini, justru Andi langsung terdiam saat ibu kandungnya itu yang membuka suara. “Lumrahnya kan seorang istri itu di dapur. Kamu yang justru bekerja di luar. Ini bukannya malah kebalik?” Andi masih terdiam. Priska mengamati wajah suaminya itu. Sudah lama Priska menyadari jika di hadapan ibu mertuanya, suaminya tak berani angkat bicara, seolah tak bisa membantah setiap ucapannya. Padahal, banyak ucapan ibu mertuanya itu yang menyakiti hati Priska. “Mas, aku cari asisten rumah tangga aja ya?” “Jangan. Aku masih bisa mengerjakan pekerjaan rumah, Pris. Sayang banget sama uang kamu. ART di zaman sekarang, bayarannya lumayan loh,” sahut Andi. “Tapi----“ “Makanya, ibu putusin buat tinggal di sini dan ngajarin istri kamu masak.” Andi langsung menatap tepat di manik mata istrinya. “Iya, Mas. Aku mau belajar masak. Setidaknya aku ini nggak bodoh-bodoh amat jadi istri,” seru Priska yang kalimat terakhirnya sarat akan sindiran pada diri sendiri. “Maaf, ya. Aku yang udah coba ngelamar kerjaan sana sini justru belum membuahkan hasil sampai sekarang dan jadi menyerah gitu aja.” Andi memperlihatkan wajah bersalahnya. “Bukan salah Mas Andi, kok.” Priska memegang pipi suaminya dan mengusapnya lembut. Sampai detik ini, Priska masih bersyukur memiliki suami seperti Andi. Sekali lagi, segala kekurangan Priska, pria di depannya ini tak pernah memprotesnya. Jarang kan, nemu suami macam Andi? “Ya, bukan salah kamu, Di. Istri kamu itu kan orangtuanya kaya, entah kenapa kok nggak mau gitu, bantu suaminya dapet kerjaan.” Wanda kembali mengungkit hal itu. Telinga Priska rasanya sampai panas. Sebenarnya, bukan Priska tak mau. Akan tetapi, masalahnya, pernikahan Priska bersama Andi dulu tak disetujui oleh kedua orangtuanya hingga sampai sekarang hubungan Priska dengan kedua orangtuanya pun masih renggang. Jarang sekali ia menjalin komunikasi. Apalagi, dulu Priska berjanji jika ia diizinkan menikah dengan Andi, maka ia tak akan meminta bantuan appau lagi pada ayah dan ibunya, meski sebelum ia menikah hotel yang dikelolanya sekarang memang sudah diamanatkan kepadanya. “Sudah makan?” tanya Andi. Priska menggelengkan kepala. “Aku siapin makan malam dulu ya. Kamu masuklah ke kamar. Tunggu aku sampai panggil kamu. Oke?” Andi memberikan senyum terbaiknya pada sang istri. Priska menganggukan kepala dengan patuh pada ucapan lemah lembut Andi. Wanita itu lantas bangkit dan berjalan menuju ke kamarnya sampai hilang dalam pandangan mata. “Andi?” Tatapan Andi kini beralih pada ibu kandungnya. Ia lantas tersenyum. “Sepertinya bulan depan, kamu nggak bakal lagi kerja di rumah ini, Di.” “Semoga, Bu.” “Dan setelah itu, kita lanjutkan plan B?” Andi menganggukan kepala. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD