“Aku pikir mereka sekumpulan vampir hebat dengan kekuatan seperti Vian.” Kata Tiffa membela diri. Ia juga tidak tahu jika perbandingan kekuatan mereka tumpang tindih seperti ini.
Rivaille sendiri jadi tidak melakukan apa-apa selain berdiri dan menyaksikan para vampir yang tewas di depan matanya.
Tiffa saat ini tengah mencari dimana keberadaan McQueen. Tapi karena ramainya pasukan mereka menutupi jangkauan pandangan Tiffa.
Sampai tiba-tiba sebuah kiriman bola api mengarah ke arahnya. Rivaille bersumpah besarnya bola itu melebihi ukuran bola yang Tiffa buat kemarin.
“MATILAH KAU YOVANKA!” Teriak Louisa membahana.
Hawa panas yang berasal dari bola api itu sempat membakar beberapa vampir pasukannya sendiri. Rivaille bahkan juga bisa merasakan panasnya walaupun jarak mereka cukup jauh.
ZRASHH!
Dan? Bola api besar itu langsung lenyap setelah Tiffa mengayunkan pedangnya. Rivaille jadi gagal kagum dengan bola api tadi.
“Mantra bola api yang benar itu seperti ini.”
Tiffa melayang ke udara. Ia masih memegang pedangnya di tangan kanan sedangkan ia membuat bola api di tangan kirinya.
Louisa sampai menjatuhkan lututnya ketika melihat betapa dahsyatnya bola api milik Tiffa.
“Ya tuhan….”
Bola api itu tidaklah berwarna merah. Melainkan warna hitam pekat yang ukurannya hampir sebesar pesawat komersial.
Semua vampir yang tadinya bertarung pun tiba-tiba terhenti ketika melihat bola api besar di depan matanya.
Bahkan Eredith dan Elunial bisa melihat dari kejauhan. Rivaille lebih tidak bisa membayangkan betapa dahsyatnya bola itu jika menghantam tanah. Vian pun mundur ke belakang sambil menancapkan tombaknya di atas tanah.
“Berdirilah di belakangku.” Kata Vian pada Rivaille. Ia melipat kedua tangannya di depan d**a dan menunggu bola itu jatuh dengan santainya.
McQueen juga tidak kalah terperangahnya dengan Louisa. Dari yang Rivaille baca di buku, api memiliki tingkat kepanasan tertentu sesuai dengan warnanya.
Dan api hitam adalah api terpanas yang bahkan api itu hanya ada di neraka saja. Tapi yang menakjubkan api itu malah ada di atas telapak tangan Tiffa.
Dan ukurannya bahkan sebesar itu. Rivaille malah khawatir percikan api itu merambat sampai ke kastilnya.
“McQueen. Apakah kau pernah melihat bola api ini?” Tiffa bertanya dan hanya disambut oleh keheningan saja.
Angin sepoi yang berhembus seperti sedang membujuk api hitam itu untuk berkobar semakin besar.
“Kau lihat ini baik-baik, McQueen. Bola api ini adalah ciptaan bangsa Xandes… Keturunan Xandes semuanya mampu menguasai ini… Walaupun hanya sebesar buah pear saja.”
Dan informasi itu memperjelas semuanya. Bahwa McQueen hanya berbohong dan mengaku bahwa dia adalah keturunan Xandes.
Seluruh pasukan yang McQueen bawa pun berteriak histeris dan berlari sekuat yang mereka bisa dari sana.
Tapi sayangnya Tiffa tidak mengenal ampun. Ia pun melemparkan bola itu ke tengah-tengah pasukan.
BOOOOMMMM!
Suara ledakan itu memekakan telinga. Efek kejut dari ledakan itu sampai membuat beberapa tebing dan bukit longsor.
Api hitam yang dilemparkan Tiffa langsung pecah seperti balon berisi air yang ditusuk dengan jarum.
Semua yang tersentuh api itu langsung terbakar hangus tak tersisa. Bahkan tanah lembab yang ada bawah mereka juga tetap terbakar dan tidak apinya tak kunjung padam.
Tanah di lembah Rjukan langsung bergetar. Seperti ada gempa berskala sedang baru saja terjadi. Air danau yang tenang juga langsung bergemericik tidak karuan.
“Huh! Satu kali serangan saja langsung hangus. Apanya yang keturunan Xandes? Pusar perutnya?” Vian langsung mengomel.
Rivaille yang berdiri di belakang Vian hanya bisa menatap hasil pertempuran di depan matanya. Semuanya luluh lantak dan gelap sekali akibat pecahan api hitam itu.
“Cepat padamkan apinya!” Rivaille mulai khawatir.
“Biarkan saja. Apinya akan tetap menyala sampai dua hari ke depan. Sebaiknya kalian nikmati saja pemandangan lautan api ini.” Ucap Vian sintinG sekali.
Tiffa juga tidak banyak berkomentar. Ia mengganti pakaian perangnya dengan pakaiannya tadi lalu melirik Vian sebentar.
“Aku kan sudah bilang untuk sering berlatih.” Vian tersenyum sengaja dibuat semanis mungkin agar kakaknya tidak mengomel. Rivaille geli sekali melihatnya.
Setelah pertempuran yang tadinya dikira akan sengit oleh Tiffa ternyata meleset. Jika tahu akan jadi seperti itu, lebih baik ia istirahat di kamarnya dan minum teh.
Mereka bertiga lalu kembali ke kerajaan dan disambut tepuk tangan meriah oleh para pasukan yang bersiaga.
“Terima kasih, terima kasih.” Vian menikmati sambutan meriahnya dengan baik.
“Kau hebat sekali! Aku seperti sedang melihat Bijuudama Kyuubi dari Naruto!”
Tiffa tidak lagi paham dengan apa yang Elunial bicarakan. Ia pun pergi ke kamarnya dan berganti baju lalu pergi lagi keluar kamar.
“Hey! King Heddwyn! Ikut tidak?” Teriaknya memanggil Rivaille.
Ia dan Rivaille kemudian pergi entah kemana sedangkan Vian sudah tahu apa yang akan dilakukan Tiffa sekarang.
“Baiklah, kita berpesta malam ini.”
Dan Vian lagi-lagi memimpin acara perayaannya saja.
Disisi lain, masih di satu negara norwegia. Tiffa mengajak Rivaille untuk berjalan-jalan malam ini sekaligus mencari makan.
Di sebuah kota dengan ratusan ribu jiwa itu sangat ramai sekali. Sepertinya tengah ada festival yang kebetulan sekali. Mereka berdua pun berhenti di tengah-tengah kerumunan.
“Apa kau bisa mencium aroma menyegarkan ini?” Tanya Tiffa menghirup aroma sekuat yang ia bisa. Tapi Rivaille malah mengibaskan tangannya di depan hidung.
“Ini bau bawang. Dimana letak segarnya?” Celetuk Rivaille mulai pusing dengan aroma bawang putih yang tajam.
Tapi Tiffa malah tertawa dan menarik Rivaille agar menjauh dari kedai makanan manusia. Setelah Rivaille pindah tempat, akhirnya ia bisa mencium apa yang Tiffa cium.
“Apa kau akan mencari makan disini?” Tiffa melirik sambil tersenyum kecil.
“Tentu saja.”
Dan malam itu Rivaille sungguh diajari oleh Tiffa bagaimana cara menggigit manusia dengan baik dan benar.
Bahkan sampai pada teknik menghisap darah yang dimana Rivaille seperti sedang melihat nyamuk kelaparan yang menghisap darah kesana kemari. Menculik manusia kesana kemari.
Tidak hanya bosan dan jenuh menyaksikan Tiffa makan. Tapi ia ngeri melihat betapa rakusnya Tiffa saat berpuluh-puluh manusia yang dihisapnya tidak juga membuatnya kenyang.
“Kau tidak ingin mencobanya?” Tiffa malah menawarkan manusia pada Rivaille.
“Melihatmu saja aku sudah kenyang. Jangan khawatirkan aku.” Tiffa terkekeh.
Setelah dirasa cukup, mereka berdua lalu kembali ke lembah. Tapi karena merasa tidak enak mengabaikan Rivaille sejak tadi, Tiffa pun mengajaknya untuk bersantai di pinggir tebing.
“Apa kau tidak bosan dengan kehidupanmu, Tiffa?” Rivaille tiba-tiba bertanya.