Bab 44. Kerajaan Diserang

1029 Words
Dan pagi itu menjadi olahraga pembakar tenaga bagi keduanya. Vian yang masih ada di taman itu mendengus kasar saat merasakan kegilaan kakaknya pagi ini. Sengaja ia mengangkat kedua kakinya ke atas meja kecil di dekat sofa dan menikmati dinginnya embun pagi. Sunglass yang percuma. “Vian! Kenapa kau bawa keluar sofanya!” Vian langsung berdecak kesal setelah ketenangannya terusik oleh teriakan Eredith pagi ini. “Aku beli sofa lusuhmu ini!” Teriaknya kalap sambil melempar sunglass dan hancur berkeping-keping “Dasar berengsek!” Gumamnya emosi jiwa sendiri. Sore harinya, Rivaille dan Tiffa masih enggan mengenakan pakaian mereka setelah percintaan mereka. Rivaille sampai hampir kalah tempur karena menghadapi Tiffa yang bertenaga ribuan kuda. Dan tentunya itu semua sangat melelahkan. Mereka sengaja membuka jendela selebar mungkin agar angin bisa menyapu aroma khas percintaan mereka di seluruh penjuru kamar. “Aku akan mulai serius untuk berlatih besok.” Rivaille berkata sambil memainkan rambut indah Tiffa. “Aku sudah bosan mendengar janjimu. Kau telan saja semua janji palsumu itu.” Rivaille terkekeh kecil. Ie mengecup dahi Tiffa dengan lembut. “Aku serius.” Tiffa mendengus cuek tidak percaya dengan perkataan Rivaille. “Kau harus bisa menguasai kekuatanmu secara maksimal dalam waktu dekat. Setelah peperangan kemarin di Alereria, seluruh pasang mata mulai mengawasi Heddwyn saat ini.” Rivaille berguling ke samping lalu turun dari ranjang untuk memakai celana panjangnya. Ia sedang tidak ingin membahas Alereria karena itu adalah kesalahan fatalnya. “Aku tahu.” Tiffa tersenyum dan sengaja terlungkup di atas ranjang sambil memandangi punggung Rivaille dari belakang. “Aku tahu kau sudah menguasai apa yang aku ajarkan kemarin.” Rivaille menoleh dan tersenyum senang. Ia tidak tahu jika ternyata Tiffa memperhatikannya. “Kau menguntitku?” Tiffa menggeleng. “Tidak, tapi aku bisa merasakannya.” Rivaille kini jadi penasaran dengan jangkauan perasa Tiffa. Padahal ia berlatih di seberang danau dan itu jaraknya jauh sekali dari kastil. “Seberapa jauh kau bisa menggunakan indramu itu?” Tiffa tersenyum dan menarik tangan Rivaille. Ia menggambar bulat di tengah-tengah telapak tangan Rivaille dengan jari telunjuknya. “Aku punya jangkauan seperti ini. Dan aku juga bisa membuat jangkauanku semakin jauh dengan cara seperti ini.” Rivaille melihat Tiffa membuat bentuk oval di atas tangannya. Yang itu berarti indra itu bisa fleksibel. Sesuai dengan apa yang kita butuhkan. Pantas saja dia bisa menemukannya. “Kau memang penguntit professional.” Rivaille memuji sembil menarik hidung Tiffa sedikit gemas. Disaat mereka sibuk dengan kemesraan mereka. Tiba-tiba Tiffa bangkit dengan ekspresi yang tampak terkejut. Ia menghadap ke arah barat kastil yang dimana itu adalah arah pintu masuk ke dalam kastil. Rivaille tidak tahu apa yang terjadi pada Tiffa. “Ada apa? Apakah ada yang mengintip?” Tanyanya bingung. Tapi tiba-tiba Tiffa langsung berhambur panik mencari pakaiannya. “Cepat pakai pakaianmu dan bawa kedua adikmu kemari.” Tiffa tidak mengatakan apapun tapi Rivaille segera mengambil pakaiannya juga. “Mereka datang.” Gumam Tiffa terburu-buru mengenakan pakaiannya. Rivaille sungguh tidak tahu siapa yang datang. Tapi ia jadi panik karena Tiffa yang terburu-buru. Setelah berpakaian pun ia segera belari dan langsung melompat turun lewat jendela. “Vian!” Teriaknya nyaring. Rivaille pun segera mencari kedua adiknya seperti yang Tiffa perintahkan. Karena tampaknya akan ada tamu yang tidak diundang datang ke kerajaan mereka. Tiffa menunggu Vian menghampirinya setelah ia melihat adiknya itu tengah mengawasi dari dekat. Vian langsung menggelengkan kepalanya. “Buruk. Sekitar dua batalion bergerak menuju kemari.” Wajah tiffa langsung memucat. Ia tidak tahu kenapa bisa ada pasukan sebanyak itu datang ke Heddwyn. Jika benar karena peperangan dengan Alereria, seharusnya tidak sebanyak itu. “Aku sudah pastikan Alereria tidak bersekutu dengan kerajaan manapun kemarin.” Vian langsung berkata seakan tahu apa yang tengah dipikirkan kakaknya. “Apa kau mengenali pasukan ini?” Tiffa menggigit bibir bawahnya cemas setelah Vian menggeleng. “Ada apa ini?” Tiba-tiba ketiga bersaudara itu sudah berkumpul di hadapan Tiffa. Tapi karena ia sibuk memikirkan strategi, Vian langsung membawa ketiga bersaudara itu untuk menjauh dari Tiffa untuk sementara waktu. “Heddwyn saat ini tengah didatangi vampir asing. Sudah ada dua batalyon yang menunggu 5 mill dari depan gerbang.” Rivaille hampir menggigit lidahnya sendiri sedangkan Elunial sukses melongo sakit terkejutnya. “Apakah Alereria?” Eredith langsung bertanya. Vian menggeleng dan menampar pelan kedua pipi Elunial. “Bukan. Tapi mungkin ini kerajaan lain.” Tiba-tiba Rivaille segera berlari menuju barak pasukan. Vian sedikit lega karena Rivaille yang cepat tanggap setelah mengetahui situasinya. Matanya lalu beralih pada Tiffa. “Bagaimana? Apa ada jalan keluar?” Tanyanya pada sang kakak. Tapi Tiffa masih menggigiti bibirnya tidak tenang. “Eredith, kau yang urus untuk menyiapkan pasukan. Dan suruh Rivaille kemari sekarang.” Tiffa langsung memberi perintah. “Oh matilah kita!” Elunial malah memperkeruh suasana. Vian masih menunggu dengan tidak sabaran sekali tentang strategi yang akan kakaknya gunakan kali ini. Pasalnya sudah lama sekali mereka tidak lagi berperang. Ia takut kakaknya jadi canggung dan kehilangan jati dirinya sebagai dewi perang di masa lalu. Dan Rivaille pun langsung segera menghadap Tiffa sekarang. “Rivaille, aku akan menghancurkan ruang bawah tanah untuk menghabisi setengah pasukan.” “Hah? Ruang bawah tanah? Sejak kapan kita punya ruang bawah tanah?” Elunial yang memang tidak tahu ada ruang bawah tanah di Heddwyn semakin bingung dibuatnya. Vian langsung menatap kastil Heddwyn dengan seksama. Ia harus memperhitungkan efek dari serangan yang akan Tiffa keluarkan. Dari pengamatannya nanti, kemungkinan kastil bagian barat akan hancur beserta dengan gerbangnya. Itu juga tidak termasuk kesalahan teknis jika saja Tiffa harus memukul lagi. Rivaille sempat bimbang sesaat. Di ruang bawah tanah, ada proyeknya yang akan ikut terkubur jika Tiffa menghancurkan tanahnya. Tapi karena hatinya saat ini telah berlabuh, ia pun mengangguk setuju. “Tapi sebaiknya kita bertarung di bagian depan, Tiffa. Jika di depan gerbang, bisa-bisa kau merobohkan seluruh bangunan.” Kata Vian memberi saran. “Aku tahu. Siapkan seluruh pasukanmu untuk bersiap di depan gerbang dan jangan biarkan satu vampirpun lewat.” Rivaille mengangguk. Tiffa dan Vian lantas segera pergi ke barisan depan. Tapi Rivaille sempat menahan Tiffa agar ia bisa berbicara sebentar dengannya. “Aku akan menemanimu.” Melihat betapa seriusnya Rivaille membuat lidahnya kelu untuk mengatakan tidak. Tapi diamnya Tiffa dianggap ‘Ya’ oleh Rivaille. Mereka pun berlari ke arah yang berbeda.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD